Monday, October 24, 2016

Jelajah Jawa Tengah Dari Kaki Gunung Sampai Pantai Bersama Mamih



Hai, aku Kero!

Hai, para pejalan!

Perkenalkan, aku Kero, punya sayap tapi belum bisa terbang. Aku sama seperti anak jaman sekarang yang selalu ingin dibilang kekinian. Bukan lebay, tidak tahu diri, atau hanya meninggikan gengsi. Aku pikir semua jaman juga ada kekiniannya masing-masing. Semua orang suka atau tidak suka pasti pernah merasakan kekinian di jamannya. Walau hanya sekali saja.

Belum genap dua bulan aku diadopsi oleh @kisahkasih_. Ya, dialah Mamihku sekarang. Aku tuliskan ceritaku ini karena si Mamih selalu bilang, “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari.” Kata-kata yang itu dia kutip dari bukunya Pramudya Ananta Toer, penulis idolanya Mamih.

Awalnya aku sama seperti kalian. Senang sekali menulis dengan kata-kata yang unik atau temannya Mamih bilang itu alay, sampai susah dibaca. Tapi Mamih bilang, “Tidak apa kamu ingin berbeda, tapi jangan lupa berbagi dengan yang lainnya jauh lebih berharga. Kalau tulisanmu hanya bisa kamu baca sendiri, buat apa?”

Aku bukan hanya benda kecil yang Mamih adopsi. Tapi menemaninya berjalan kemana saja asal membuatnya bahagia. Jika kamu tersenyum, masalahmu berkurang satu. Jika kamu bisa membuat orang lain tersenyum, bahagiamu berlipat ganda. Hanya itu alasanku akan terus bersamanya, apa pun yang terjadi. Dan aku pun akan mengikuti langkahnya, dimana pun dia berada.

Sebagai anak yang baik, aku juga harus bisa jadi teman jalan yang baik buat Mamih. Jangan sampai merepotkan apalagi membebani. Dan harus siap dengan apa pun yang terjadi. Perjalanan itu bukan kemana kita pergi. Tapi manfaat apa yang bisa kita bawa pulang nanti.

Perjalananku yang pertama dengan Mamih ke wisata baru di daerah Purwokerto. Namanya Taman Miniatur Dunia atau bahasa bekennya Small World. Aku senang sekali Mamih mengajakku ke sini. Bagaimana tidak? Dengan tubuhku yang hanya 11 cm, tempat ini sangatlah cocok untukku. Namanya juga taman miniatur, bangunan yang ada di sini berukuran lebih kecil dari aslinya. Mungkin kalau Mamih ke tempat aslinya, rasanya seperti aku berada di taman ini.

Foto sama bunga sakura terasa pulang kampung.
Di taman ini, kita bisa melihat miniatur bangunan yang menjadi ciri khas dari berbagai negara. Ada Menara Eiffel, Menara Pisa, Piramid, Kincir Angin dari Belanda dengan bunga tulipnya, dan masih banyak lagi. Tidak hanya bangunan dari negara lain, dari Indonesia pun ada seperti Monas. Cukup dengan lima belas ribu, kami sudah bisa keliling dunia dengan mudahnya. Tanpa harus mengurus pasport ataupun visa. Apalagi bawa-bawa koper segede lemari.

Tiket masuk Taman Miniatur Dunia
Di antara bunga tulip dari Belanda yang penuh warna.
Letaknya yang di kaki Gunung Slamet, tepatnya di Jl. Raya Barat Baturaden Desa Ketenger, seharusnya membuat taman ini berhawa sejuk. Tapi sewaktu aku dan Mamih ke sana, matahari sedang menunjukkan dirinya yang luar biasa. Menjadikan badanku sumber mata air keringat. Sebenarnya ada penyewaan payung, tapi, si Mamih malahan ngomel. Dia bilang, “Kalau kamu ngga kepanasan apalagi hitam, tandanya kamu ngga pernah jalan-jalan.” Lalu, aku membayangkan badanku kuning-kuning menghitam. Mungkin semacam, emmmm... . Hey, kalian jangan coba-coba ikut membayangkan!

Bagian atas Taj Mahal.
Dengan badan yang penuh peluh dan kepala puyeng gleyeng-gleyeng, aku harus tetap tersenyum sebagai model foto Mamih. Sudah aku bilang kan taman ini sangat cocok buatku. Selain bagus untuk berswafoto, taman ini juga menambah wawasanku tentang dunia. Temannya Mamih berujar, “Yah, biasa aja. Cuma begini doang.” Tapi Mamihku selalu berbeda dengan yang lainnya. Dia tau caranya bersenang-senang dimana pun tempatnya. Dia juga tahu kapan harus mengeluh agar tidak menjadi angkuh.

Di antara puing-puing Menara Eiffel.
Tidak hanya ke Taman Miniatur Dunia, kami juga ke Agro Wisata Lembah Asri Desa Serang. Atau teman-teman Mamih biasa menyebutnya Kebun Strawberry. Waktu berangkat Mamih bilangnya mau ke Kampung Kurcaci. Ternyata malahan kelabasan sampai Kebun Strawberry. Iya sih, tempatnya deketan cuma berjarak 1 km dan masih sama-sama di Jl. Raya Brobahan Serang Purbalingga.

Kebun Strawberry.
Sama dengan Taman Miniatur Dunia, Kebun Strawberry ataupun Kampung Kurcaci juga berada di kaki Gunung Slamet. Kalian tahu kan kalau Gunung Slamet itu membawahi 5 kabupaten yaitu, Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Mamih cerita kalau dia sudah pernah ke semua kabupaten di kaki Gunung Slamet itu. Brebes dengan kebun teh Kaligua, Tegal dengan Guci, dan Pemalang yang main ke rumah teman Mamih. Tapi waktu itu aku belum lahir, jadi aku hanya tahu dari cerita Mamih saja.

Matahari menyapa malu-malu, angin pun menyambut lembut ketika aku sampai di Kebun Strawberry. Di kebun ini, pengunjung bisa memetik strawberry sendiri atau beli yang sudah dikemas rapi. Si Mamih lagi pelit, aku sama sekali tidak dibelikan strawberry satupun. Ya, kalau pun tidak makan strawberry minimal main flying fox atau gelantungan di play ground gitu. Aku kan pengin menguji kemampuan sayapku. Bisa kah aku terbang tinggi?

Warna-warni di Kebun Strawberry
Walau di Kebun Strawberry hanya foto saja, aku tetap bahagia. Si Mamih dan temannya buru-buru membawaku ke Kampung Kurcaci. Karena memang kesana tujuannya. Aku cuma bisa melongo begitu masuk Kampung Kurcaci. Bagaimana tidak, aku yang hanya 11 cm masuk ke hutan dengan pohon yang tingginya mungkin sampai 11 meter bahkan lebih.

Kecilnya aku di Kampung Kurcaci.
Aku bukan lagi merasa kecil bak kurcaci. Tapi terasa seperti butiran debu di Kampung Kurcaci ini. Tenang saja kalau badanmu berlumuran debu, di tempat ini kalian bisa membersihkan paru-parumu dari polusi udara. Segernya itu loh, sampai masuk ke hati bikin nyesss.

Yang seru di kampung ini ada Rumah Kurcaci. Banyak pengunjuk yang berswafoto di tempat ini karena memang Rumah Kurcaci ini maskotnya. Kalau suatu hari nanti aku bikin rumah, aku namai Rumah Kero. Kalian yang mau foto harus-kudu-wajib fotonya sama aku. Aku pintar bergaya kok, kan Mamih yang ajarin. Hehehe. 

Rumah Kurcaci di Kampung Kurcaci
Selain rumah itu, di Kampung Kurcaci banyak wahana permainan. Ada Sekolah Alam dengan permainan tradisionalnya seperti congklak, egrang, dan sunda manda. Sekolah ini juga punya perpustakaan, namanya Perpustakaan Kurcaci. Mau bersantai ria? Ada rumah pohon, ayunan, dan banyak tempat duduk.

Dan Mamih juga mengajakku ke salah satu air terjun/curug yang dekat dengan Kampung Kurcaci. Cukup jalan kaki 15 menit sudah sampai. Namanya Curug Lawang. Walau pohonnya tidak setinggi di Kampung Kurcaci, kesegaran airnya yang bening terasa di kakiku. Airnya dingin kaya air es, aku nyaris menggigil waktu Mamih nyeburin aku ke dalam air.

Segarnya air di Curug Lawang.
Setelah satu bulan aku bersama Mamih, akhirnya aku diajak ke pantai juga. Wohoo! Senangnya, akhirnya main air. Tidak hanya satu pantai, Mamih mengajakku ke tiga pantai di Cilacap. Sebenarnya di Cilacap ada puluhan pantai yang tersebar dari Segara Anakan sampai Pantai Jetis.

Bahkan Mamih sudah pernah ke pantai-pantai di Pulau Nusakambangan yang terpencil. Seperti, Pantai Kalikencana dan Rancah Babakan. Aku ke pantai yang deket-deket dulu deh. Belum berani menyeberang ke Pulau Nusakambangan naik kapal, takut kapalnya goyang terus tenggelam. Kan, aku tidak bisa berenang.

Dimana ini, hayooo?
Diawali dari Pantai Teluk Penyu, pantai yang paling dekat dengan pusat kota Cilacap. Yang membuat unik pantai ini ada banyak sekali terdam. Si Mamih mengajakku berjalan sampai ujung terdam. Aku hanya bisa menutup mata. Semakin ke ujung, angin semakin kencang dengan dentingan ombak yang memekakan telinga. Tapi di ujung malahan banyak orang memancing dengan tenangnya. Aduh, aku sih ngga berani, mending balik badan aja deh.

Terdam di Teluk Penyu yang bolong-bolong.
Di pantai ini, banyak kapal yang mengantar pengunjung ke Pulau Nusakambangan. Kata Mamih, di Pulau Nusakambangan pantainya berpasir putih. Tidak seperti di sini yang pasirnya hitam. Karena aku belum berani, ya sudah di sini saja juga seru kok. Banyak yang jualan jajanan dan seafood. Dari mendoan yang segede piring, es kelapa muda, ikan asin, sampai cumi-cumi saus tiram ada semua.

Pantai ke dua yang kami kunjungi adalah Pantai Kamulyan. Dulu waktu Mamih masih SMA, pantai ini disebut Pantai Kalimantan. Karena memang letak pantai ini yang berada di ujung Jalan Kalimantan. Baru sekitar dua tahun ini dibangun tulisan KAMULYAN di area parkirnya.

Bukan aku kok yang buang sampah sembarangan.
Entah memang sedang musimnya atau pada dasarnya pantai ini kotor. Banyak sekali sampah ranting pohon dan plastik berserakan. Aku melihat ada beberapa orang yang membakar sampah ranting pohonnya. Sisa-sisa pembakaran dikumpulkan lalu dijual sebagai arang. Sedangkan sampah plastiknya dibiarkan berserakan.

Orang yang sedang membuat arang dari sampah ranting pohon.
Layak atau tidak untuk dikunjungi itu tergantung pribadi masing-masing. Mau melihatnya dari sudut mana. Aku sih dimana-mana tetap saja jadi korban objek jepretannya Mamih. Apalagi saat ke Pantai Kamulyan, Mamih mengajak temannya yang tengah gundah gulana. Hasilnya, fotoku hanya berlatar huruf K-A-M-U tanpa L-Y-A-N. Menulis nama “kamu” di pasir pantai sudah biasa. Ke sini dong, biar kalian bisa foto sama “kamu”. Hehehe.

Foto sama KAMU, iya kamuuu...
Pantai selanjutnya adalah Pantai Sodong yang letaknya di Desa Karang Benda, Adipala, Cilacap. Aku pikir pantai pasti ada di dataran rendah. Tapi lain dengan Pantai Sodong ini, tempatnya di tepi gunung. Bukan gunung berapi sih, sebenarnya hanya bukit tapi masyarakat setempat menyebutnya Gunung Selok. Dan kalau kita naik ke atas Gunung Selok ini, kita akan melihat pemandangan Pantai Sodong dengan pohon-pohon cemaranya dari ketinggian.

Setelah puas berswafoto ria di atas, baru kami menuju Pantai Sodong. Banyaknya pohon cemara membuat Mamih dan teman-temannya memasang ayunan. Belum sempat terpasang dengan baik, datanglah dua orang tak diundang. Kejadian itu membuat Mamih dan teman-temannya jengkel. Tapi emang dasar Mamih selalu punya cara beda. Jengkelnya pun beda, kaya tulisan dia di sini.

Ngumpet di antara pohon cemara, daripada kena semprot Mamih yang lagi jengkel.
Dari semua tempat yang kami kunjungi, punya kesan yang berbeda-beda. Terlebih Mamih selalu mengajariku memandangnya dari sudut yang berbeda. Katanya, “Tempat yang bagus itu bukan tentang pemandangannya. Tapi manusia yang hidup, menghidupi, dan dihidupi karenanya.” Aku setuju dengan Mamih.

Saat berjalan, nikmati prosesnya dan ambil hikmahnya. Tidak sedikit orang yang piknik justru malahan menambah panik. Kenapa demikian? Karena jalannya hanya terdorong gengsi semata. Hanya untuk menyandang predikat bahagia. Atau memang dasarnya kamu orang yang selalu mengeluh dimana pun tempatnya. Semua kembali lagi ke hati masing-masing.

Salam,
Kero, anak Mamih.

  
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts