Hai, aku Kero! |
Hai, para pejalan!
Perkenalkan, aku Kero, punya sayap tapi belum bisa terbang. Aku sama seperti anak jaman sekarang yang selalu ingin dibilang
kekinian. Bukan lebay, tidak tahu diri, atau hanya meninggikan gengsi. Aku
pikir semua jaman juga ada kekiniannya masing-masing. Semua orang suka atau
tidak suka pasti pernah merasakan kekinian di jamannya. Walau hanya sekali
saja.
Belum genap dua bulan aku
diadopsi oleh @kisahkasih_. Ya, dialah Mamihku sekarang. Aku tuliskan ceritaku
ini karena si Mamih selalu bilang, “Tahu
kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu
takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari.”
Kata-kata yang itu dia kutip dari bukunya Pramudya Ananta Toer, penulis
idolanya Mamih.
Awalnya aku sama seperti kalian.
Senang sekali menulis dengan kata-kata yang unik atau temannya Mamih bilang itu
alay, sampai susah dibaca. Tapi Mamih bilang, “Tidak apa kamu ingin berbeda,
tapi jangan lupa berbagi dengan yang lainnya jauh lebih berharga. Kalau
tulisanmu hanya bisa kamu baca sendiri, buat apa?”
Aku bukan hanya benda kecil yang
Mamih adopsi. Tapi menemaninya berjalan kemana saja asal membuatnya bahagia.
Jika kamu tersenyum, masalahmu berkurang satu. Jika kamu bisa membuat orang
lain tersenyum, bahagiamu berlipat ganda. Hanya itu alasanku akan terus
bersamanya, apa pun yang terjadi. Dan aku pun akan mengikuti langkahnya,
dimana pun dia berada.
Sebagai anak yang baik, aku juga
harus bisa jadi teman jalan yang baik buat Mamih. Jangan sampai merepotkan
apalagi membebani. Dan harus siap dengan apa pun yang terjadi. Perjalanan itu
bukan kemana kita pergi. Tapi manfaat apa yang bisa kita bawa pulang nanti.
Perjalananku yang pertama dengan
Mamih ke wisata baru di daerah Purwokerto. Namanya Taman Miniatur Dunia atau
bahasa bekennya Small World. Aku
senang sekali Mamih mengajakku ke sini. Bagaimana tidak? Dengan tubuhku yang
hanya 11 cm, tempat ini sangatlah cocok untukku. Namanya juga taman miniatur,
bangunan yang ada di sini berukuran lebih kecil dari aslinya. Mungkin kalau
Mamih ke tempat aslinya, rasanya seperti aku berada di taman ini.
Foto sama bunga sakura terasa pulang kampung. |
Di taman ini, kita bisa melihat
miniatur bangunan yang menjadi ciri khas dari berbagai negara. Ada Menara
Eiffel, Menara Pisa, Piramid, Kincir Angin dari Belanda dengan bunga tulipnya,
dan masih banyak lagi. Tidak hanya bangunan dari negara lain, dari Indonesia
pun ada seperti Monas. Cukup dengan lima belas ribu, kami sudah bisa keliling
dunia dengan mudahnya. Tanpa harus mengurus pasport ataupun visa. Apalagi
bawa-bawa koper segede lemari.
Tiket masuk Taman Miniatur Dunia |
Di antara bunga tulip dari Belanda yang penuh warna. |
Letaknya yang di kaki Gunung
Slamet, tepatnya di Jl. Raya Barat Baturaden Desa Ketenger, seharusnya membuat
taman ini berhawa sejuk. Tapi sewaktu aku dan Mamih ke sana, matahari sedang
menunjukkan dirinya yang luar biasa. Menjadikan badanku sumber mata air
keringat. Sebenarnya ada penyewaan payung, tapi, si Mamih malahan ngomel. Dia
bilang, “Kalau kamu ngga kepanasan apalagi hitam, tandanya kamu ngga pernah
jalan-jalan.” Lalu, aku membayangkan badanku kuning-kuning menghitam. Mungkin
semacam, emmmm... . Hey, kalian jangan coba-coba ikut membayangkan!
Bagian atas Taj Mahal. |
Dengan badan yang penuh peluh dan
kepala puyeng gleyeng-gleyeng, aku harus tetap tersenyum sebagai model foto
Mamih. Sudah aku bilang kan taman ini sangat cocok buatku. Selain bagus untuk
berswafoto, taman ini juga menambah wawasanku tentang dunia. Temannya Mamih
berujar, “Yah, biasa aja. Cuma begini doang.” Tapi Mamihku selalu berbeda
dengan yang lainnya. Dia tau caranya bersenang-senang dimana pun tempatnya. Dia
juga tahu kapan harus mengeluh agar tidak menjadi angkuh.
Di antara puing-puing Menara Eiffel. |
Tidak hanya ke Taman Miniatur
Dunia, kami juga ke Agro Wisata Lembah Asri Desa Serang. Atau teman-teman Mamih
biasa menyebutnya Kebun Strawberry. Waktu berangkat Mamih bilangnya mau ke
Kampung Kurcaci. Ternyata malahan kelabasan sampai Kebun Strawberry. Iya sih,
tempatnya deketan cuma berjarak 1 km dan masih sama-sama di Jl. Raya Brobahan
Serang Purbalingga.
Kebun Strawberry. |
Sama dengan Taman Miniatur Dunia,
Kebun Strawberry ataupun Kampung Kurcaci juga berada di kaki Gunung Slamet.
Kalian tahu kan kalau Gunung Slamet itu membawahi 5 kabupaten yaitu, Kabupaten
Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Mamih cerita kalau dia
sudah pernah ke semua kabupaten di kaki Gunung Slamet itu. Brebes dengan kebun teh Kaligua, Tegal dengan Guci, dan Pemalang yang main ke rumah teman Mamih. Tapi
waktu itu aku belum lahir, jadi aku hanya tahu dari cerita Mamih saja.
Matahari menyapa malu-malu, angin
pun menyambut lembut ketika aku sampai di Kebun Strawberry. Di kebun ini,
pengunjung bisa memetik strawberry sendiri atau beli yang sudah dikemas rapi.
Si Mamih lagi pelit, aku sama sekali tidak dibelikan strawberry satupun. Ya,
kalau pun tidak makan strawberry minimal main flying fox atau gelantungan di play
ground gitu. Aku kan pengin menguji kemampuan sayapku. Bisa kah aku terbang
tinggi?
Warna-warni di Kebun Strawberry |
Walau di Kebun Strawberry hanya
foto saja, aku tetap bahagia. Si Mamih dan temannya buru-buru membawaku ke
Kampung Kurcaci. Karena memang kesana tujuannya. Aku cuma bisa melongo begitu
masuk Kampung Kurcaci. Bagaimana tidak, aku yang hanya 11 cm masuk ke hutan
dengan pohon yang tingginya mungkin sampai 11 meter bahkan lebih.
Kecilnya aku di Kampung Kurcaci. |
Aku bukan lagi merasa kecil bak
kurcaci. Tapi terasa seperti butiran debu di Kampung Kurcaci ini. Tenang saja
kalau badanmu berlumuran debu, di tempat ini kalian bisa membersihkan paru-parumu
dari polusi udara. Segernya itu loh, sampai masuk ke hati bikin nyesss.
Yang seru di kampung ini ada
Rumah Kurcaci. Banyak pengunjuk yang berswafoto di tempat ini karena memang
Rumah Kurcaci ini maskotnya. Kalau suatu hari nanti aku bikin rumah, aku namai
Rumah Kero. Kalian yang mau foto harus-kudu-wajib fotonya sama aku. Aku pintar
bergaya kok, kan Mamih yang ajarin. Hehehe.
Rumah Kurcaci di Kampung Kurcaci |
Selain rumah itu, di Kampung
Kurcaci banyak wahana permainan. Ada Sekolah Alam dengan permainan
tradisionalnya seperti congklak, egrang, dan sunda manda. Sekolah ini juga
punya perpustakaan, namanya Perpustakaan Kurcaci. Mau bersantai ria? Ada rumah
pohon, ayunan, dan banyak tempat duduk.
Dan Mamih juga mengajakku ke
salah satu air terjun/curug yang dekat dengan Kampung Kurcaci. Cukup jalan kaki
15 menit sudah sampai. Namanya Curug Lawang. Walau pohonnya tidak setinggi di
Kampung Kurcaci, kesegaran airnya yang bening terasa di kakiku. Airnya dingin
kaya air es, aku nyaris menggigil waktu Mamih nyeburin aku ke dalam air.
Segarnya air di Curug Lawang. |
Setelah satu bulan aku bersama
Mamih, akhirnya aku diajak ke pantai juga. Wohoo! Senangnya, akhirnya main air. Tidak hanya satu pantai, Mamih mengajakku ke tiga pantai di Cilacap.
Sebenarnya di Cilacap ada puluhan pantai yang tersebar dari Segara Anakan
sampai Pantai Jetis.
Bahkan Mamih sudah pernah ke
pantai-pantai di Pulau Nusakambangan yang terpencil. Seperti, Pantai Kalikencana dan Rancah Babakan. Aku ke pantai yang deket-deket dulu deh. Belum
berani menyeberang ke Pulau Nusakambangan naik kapal, takut kapalnya goyang
terus tenggelam. Kan, aku tidak bisa berenang.
Dimana ini, hayooo? |
Diawali dari Pantai Teluk Penyu,
pantai yang paling dekat dengan pusat kota Cilacap. Yang membuat unik pantai
ini ada banyak sekali terdam. Si Mamih mengajakku berjalan sampai ujung terdam.
Aku hanya bisa menutup mata. Semakin ke ujung, angin semakin kencang dengan
dentingan ombak yang memekakan telinga. Tapi di ujung malahan banyak orang
memancing dengan tenangnya. Aduh, aku sih ngga berani, mending balik badan aja
deh.
Terdam di Teluk Penyu yang bolong-bolong. |
Di pantai ini, banyak kapal yang
mengantar pengunjung ke Pulau Nusakambangan. Kata Mamih, di Pulau Nusakambangan
pantainya berpasir putih. Tidak seperti di sini yang pasirnya hitam. Karena aku
belum berani, ya sudah di sini saja juga seru kok. Banyak yang jualan jajanan
dan seafood. Dari mendoan yang segede
piring, es kelapa muda, ikan asin, sampai cumi-cumi saus tiram ada semua.
Pantai ke dua yang kami kunjungi adalah
Pantai Kamulyan. Dulu waktu Mamih masih SMA, pantai ini disebut Pantai
Kalimantan. Karena memang letak pantai ini yang berada di ujung Jalan
Kalimantan. Baru sekitar dua tahun ini dibangun tulisan KAMULYAN di area
parkirnya.
Bukan aku kok yang buang sampah sembarangan. |
Entah memang sedang musimnya atau
pada dasarnya pantai ini kotor. Banyak sekali sampah ranting pohon dan plastik
berserakan. Aku melihat ada beberapa orang yang membakar sampah ranting
pohonnya. Sisa-sisa pembakaran dikumpulkan lalu dijual sebagai arang. Sedangkan
sampah plastiknya dibiarkan berserakan.
Orang yang sedang membuat arang dari sampah ranting pohon. |
Layak atau tidak untuk dikunjungi
itu tergantung pribadi masing-masing. Mau melihatnya dari sudut mana. Aku sih
dimana-mana tetap saja jadi korban objek jepretannya Mamih. Apalagi saat ke
Pantai Kamulyan, Mamih mengajak temannya yang tengah gundah gulana. Hasilnya, fotoku
hanya berlatar huruf K-A-M-U tanpa L-Y-A-N. Menulis nama “kamu” di pasir pantai
sudah biasa. Ke sini dong, biar kalian bisa foto sama “kamu”. Hehehe.
Foto sama KAMU, iya kamuuu... |
Pantai selanjutnya adalah Pantai
Sodong yang letaknya di Desa Karang Benda, Adipala, Cilacap. Aku pikir pantai
pasti ada di dataran rendah. Tapi lain dengan Pantai Sodong ini, tempatnya di
tepi gunung. Bukan gunung berapi sih, sebenarnya hanya bukit tapi masyarakat
setempat menyebutnya Gunung Selok. Dan kalau kita naik ke atas Gunung Selok
ini, kita akan melihat pemandangan Pantai Sodong dengan pohon-pohon cemaranya
dari ketinggian.
Setelah puas berswafoto ria di
atas, baru kami menuju Pantai Sodong. Banyaknya pohon cemara membuat Mamih dan
teman-temannya memasang ayunan. Belum sempat terpasang dengan baik, datanglah
dua orang tak diundang. Kejadian itu membuat Mamih dan teman-temannya jengkel. Tapi
emang dasar Mamih selalu punya cara beda. Jengkelnya pun beda, kaya tulisan dia
di sini.
Ngumpet di antara pohon cemara, daripada kena semprot Mamih yang lagi jengkel. |
Dari semua tempat yang kami
kunjungi, punya kesan yang berbeda-beda. Terlebih Mamih selalu mengajariku
memandangnya dari sudut yang berbeda. Katanya, “Tempat yang bagus itu bukan
tentang pemandangannya. Tapi manusia yang hidup, menghidupi, dan dihidupi
karenanya.” Aku setuju dengan Mamih.
Saat berjalan, nikmati prosesnya
dan ambil hikmahnya. Tidak sedikit orang yang piknik justru malahan menambah
panik. Kenapa demikian? Karena jalannya hanya terdorong gengsi semata. Hanya
untuk menyandang predikat bahagia. Atau memang dasarnya kamu orang yang selalu
mengeluh dimana pun tempatnya. Semua kembali lagi ke hati masing-masing.
Salam,
Kero, anak Mamih.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang
diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa
Tengah @VisitJawaTengah
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar