Tuesday, October 4, 2016

Mari Menikmati Wisata Retribusi, Wahananya Banyak Menyenangkan Hati



Namanya wisata retribusi. Pengunjung bisa menikmati wahana karcis di sana-sini. Nikmatnya luar biasa, fasilitasnya tidak ada apa-apa. Hanya pohon hijau yang bawahnya berceceran sampah. Pengelolanya ramah sampai pengunjung pulang dengan penuh kesan. Kesan mendalam sampai tidak mau datang lagi.

Berkali-kali sebenarnya aku ke tempat ini. Hanya sekedar naik sepeda pagi-pagi. Atau bersama teman dari masa kecil, luar kota, sampai yang baru bertatap muka. Menghabiskan berbagai kenangan dari matahari terbit sampai tenggelam. Dalam keadaan pengunjung ramai ataupun sepi. Lah, wong tempatnya tetangga desa.

Tapi baru kemarin ini, merasakan hangatnya wahana retribusi. Kami bertujuh, hanya aku yang anak lokal. Sisanya teman dari luar kota. Bersama-sama berangkat dari rumahku sekitar jam sembilan pagi. Hari masih panjang walau langit mulai mendung tanda akan datangnya hujan.

Laju motor terhenti sejenak di toko yang tersebar di seluruh Indonesia. “Selamat pagi, Kak. Selamat datang di Martmaret,” sapa kasir berpakaian biru. Kami membeli bekal amunisi agar bisa disantap nanti di lokasi. Sudah ada bayangan akan masak-memasak di pinggir pantai. Merasakan semilir angin dengan segelas mie.

Semua siap perjalanan dilanjut. Di gerbang masuk, jalan kami terhenti dengan palang besi. Loket seharga Rp. 4.000,00/orang ini bukan wahana retribusi. Keberadaannya sudah ada sejak aku masih balita. Bahkan saat hutannya waktu itu pernah gundul, loket ini tetap tegak berdiri.

Aku masih ingat, beberapa bulan lalu tempat ini pernah melejit. Riuh sekali, fotonya tersebar dimana-mana. Aku pun ikut serta larut dalam hingar-bingar itu. Kemarin sebenarnya aku pun malas diajak ke sini. Sudah tahu hari minggu, pasti akan penuh sesak sama seperti waktu itu. Meriah sekali sampai tempat parkir tumpah-ruwah ke jalanan.

Sekarang, wow, sepi.

Ada, hanya tidak semeriah waktu itu. Hingar-bingarnya tetap terasa membekas di relung jiwa. Di tempat yang sama, wujudnya berbeda. Tempat ini sungguh menerapkan hukum permintaan penawaran dengan baiknya. Aku seperti terhempas lagi ke dalam ruang kelas penuh modul fotocopy. Dimana barang yang ditawarkan sedikit, menimbulkan harga jual yang semakin naik. Sama dengan tempat ini, yang ditawarkan itu-itu saja tapi pungutannya dimana-mana.

Dulu waktu sedang ramai-ramainya, tidak ada loket Rp. 2.500,00/orang. Sekarang gubug mungil kecil itu ikut berdiri. Menghentikan siapa saja yang mau naik mendaki. Bukit yang tidak begitu tinggi, ditumbuhi pohon yang begitu rindang menjulang. Hanya butuh waktu jalan kaki 15 menit dari parkiran. Kami sudah sampai di tempat yang dulu penuh kemeriahan. Tidak perlu lagi aku tulis seperti apa meriahnya. Sudah pernah aku jabarkan di tulisan sebelum ini.

Bedanya sekarang hanya kami yang memeriahkan. Puas berswafoto tanpa rebutan. Siapa juga yang mau memperebutkan, sebuah papan bertulis warna-warni di tepian bukit. Sementara tetangga sebelah terus berinovasi. Membuat wahana terbarukan, menyeret pengunjung terus tanpa henti. Di tempat ini, bertambah kemeriahannya dalam kesepian.

Keriaan kami di tepi bukit harus disudahi. Air bah mulai tumpah dari anak-anak langit. Tidak mungkin kami tetap di tempat ini. Tempat yang begitu mewah ini sampai tidak ada sekotak gubug reot beratapkan klaras satupun. Jalan ke parkiran begitu cepat diburu air bah yang mulai mengguyur.
“Parkirnya berapa, Mas? Empat motor,” tanya temanku.
“Total dua belas ribu, Mba,” jawab tukang parkir yang berdiri sempoyongan.
“Biasanya satu motor dua ribu, Mas?” tanyaku.
“Ngga, Mba. Sekarang tiga ribu.”
Oke, tidak sewajarnya aku pertanyakan uang seribu itu. Apalagi di wisata retribusi yang begitu megah ini.

Turun dari bukit, laju motor terarah ke pantai di bawah bukit. Pantai yang sebenarnya dari tepian bukit tadi sudah terlihat. Dari tempat tadi berswafoto tidak bisa langsung turun. Harus naik motor, melewati pemukiman sepetak desa. Lagi, laju motor harus terhenti. Masuk wahana retribusi selanjutnya dihitung tiap roda. Cukup lima ribu tiap dua roda yang berputar. Kalau tidak membayar, rodanya tidak bisa berputar. Petualangan terhenti, wahana retribusi selanjutnya tidak bisa dinikmati.

Bibir pantainya terbentang luas. Banyak jalan menembus lebatnya pepohonan. Kami menepi di sebuah warung yang sepi. Tidak ada penjual, tidak ada pembeli. Memarkirkan motor di teras warung agar terhindar dari air bah yang terus turun. Kami petualang yang tidak ada kapoknya menaklukan badai yang menghadang. Jangan kan air bah, wahana retribusi juga tetap kami hadapi.

Ombak yang memecahkan telinga, membuat kami pilah-pilih memasang ayunan. Ayunan yang sebenarnya banyak terpasang di tepian pantai. Bedanya ayunan yang kami bawa begitu rapat dan kuat. Sangat jelek, kalau ada pantat yang menduduki tidak bisa kentut. Tidak seperti ayunan yang sudah terpasang, mereka bolong dan rapuh. Jangankan kentut, siapa pun yang menaikinya akan tertawa karena bisa mendarat dengan sempurna.

Di saat kami santai dengan kesibukan masing-masing. Ada yang memasang ayunan dan menyiapkan masakan. Datang sebuah bebek dengan dua angonnya. Menawarkan wahana retribusi lagi. Inilah puncak wahana yang ada di wisata retribusi ini. Aku jamin kalian akan sangat gembira bila menikmati wahana yang satu ini. Kami semua diajak tertawa terbahak-bahak tanpa henti.
Si angon gondrong bilang, “Mba, bayar sewa tempat duduk?”
Kami yang sedang menyiapkan masakan tentu tersentak terbahak-bahak. Riuh sekali sampai kami semua menimpali, “Sewa tempat duduk apa, ya?”, “Ini kan warung tutup, bukan tempat duduk!”, “Apa maksudnya coba?”, “Kami juga bawa ayunan sendiri!”, “Emang bayar berapa?”
Si angon tua berkata, “Tiga puluh ribu, Mba?”
“Wooowww!” sontak kami langsung bersorak sorai bergembira. “Atas dasar apa ya sampai TIGA PULUH RIBU!”
“Dua orang sepuluh ribu, Mba.”
“KAMI BERTUJUH, MAS. MASA YANG SATU NGGA DIITUNG. KASIAN TAU!!!”
“Satu tempat duduk kan dua orang, Mba. Yang satu berdiri aja.”
“MANA TEMPAT DUDUKNYA SIH, MAS!”
“Lah, itu ada satu yang lagi duduk. Makanya kalian bayar biar yang berdiri bisa duduk semua. Ini kami sudah dapat ijin dari koramil sini buat menjalankan wahana ini loh, Mba,” keluh si angon tua dengan bangganya.
“YA, UDAH KAMI BAYAR. TAPI HABIS INI ADA WAHANA LAGI APA NGGA!?”
“Tentu ngga, Mba. Ini puncaknya. Nanti kalau ada yang nawarin lebih murah dari kami, tolak saja, Mba. Kami ini sudah yang paling berkelas. Penguasa tempat ini. Mba juga dapat minum supaya ngga lelah. Karena tertawa juga menguras energi loh, Mba.”

Si angon tua memberi kami tiga piagam, sebagai tanda sah beserta minuman yang di gadang-gadang dari pihak sponsor. Selesai urusan, para angon pergi menggiring bebeknya. Berharap masih ada lahan lain yang bisa dipanen. Yang seharusnya mereka sadari setelah pergi, mereka sedikit pun tidak mendapatkan apa-apa. Karena kamilah juaranya, pengunjung lain mana ada yang mau menang. Mereka berbondong-bondong menyatakan kalah. Lebih baik ke tetangga sebelah.

Mereka benar, yang tadi itu adalah puncak wahananya. Setelah itu, hujan tidak turun lagi. Langit berganti lebam membiru. Dentuman ombak tidak terdengar lagi. Semua terasa sunyi, kami larut dalam kesedihan. Membakar kompor kecil dengan segelas kopi dan mie instan. Menangis lirih dalam ayunan yang tidak boleh duduk dikentuti. Karena lebih nyaman untuk ditiduri dengan angin sepoi-sepoi yang menusuk hati.

Kami berharap pengelola menambah wahana baru lagi. Dimana pengunjung seperti kami yang membawa pulang sampah harus diberi sanksi. Sampah di wisata retribusi ini harus dilestarikan layaknya edelweis. Siapapun yang melestarikan sampah akan dapat penghargaan. Yang membawa pulang harus dipidanakan. Dijamin pengunjung akan berbondong-bondong ingin datang lagi. Spot swafoto semakin banyak. Lahan uang bertambah sampai tercecer ke tetangga sebelah.
Piagam retribusi paling berkelas.

Ayunan kami yang jelek, tidak bolong itu.

Gedong warung yang tidak ada penjual dan pembelinya.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts