“Sugeng rawuh wonten Kampung Kurcaci, Mba,” “Selamat datang di
Taman Kurcaci, Mba,” begitu kata penjaga loket tiket di Kampung Kurcaci sambil
tersenyum.
Pintu masuk Kampung Kurcaci |
Sejak kapan kamu belajar
berbicara? Aku, tidak ingat kapan pastinya. Orang pertama yang mengajarkan aku
berbicara tentu ibuku. Bahkan ketika pertama kali aku menyusu padanya, ibu
sudah mengajakku berbicara. Dari sekedar mengoceh belaka sampai bertutur indah
didengar. Aku beruntung hidup di keluarga yang mengajarkan tata krama dalam
berbicara. Dimana saat ini kesopanan dalam berbicara mulai luntur di kalangan
anak muda.
Bahasa Jawa memiliki ketentuannya
sendiri, tergantung siapa yang diajak berbicara. Ngoko untuk berbicara dengan yang seumuran atau lebih muda. Dan krama digunakan bila berbicara dengan
orang yang lebih tua atau dihormati. Aku terbiasa menggunakan ngoko bila berbicara dengan
teman-temanku. Memang tidak semua teman mau menanggapinya dengan ngoko juga. Ada beberapa di antara
mereka yang merasa risih berbicara dengan bahasa Jawa. Terlebih logat kami ngapak, yang dinilai tidak gaul dan
terkesan ndeso.
Sewaktu menjadi petugas Sensus
Pertanian 2013, aku sering kali berhadapan dengan koresponden yang sudah kakek-kakek.
Keahlianku berbicara dengan krama sangat
berguna. Ada beberapa diantara mereka yang tidak lancar atau tidak bisa
berbahasa Indonesia. Memang krama saya
belum lancar. Terkadang masih bingung jadi keblabasan ngoko. “Minimal kamu berani mencoba,”
kata korespondenku waktu itu yang ketua kelompok tani di desaku. Walau kita
anak muda, tidak ada salahnya mengerti krama.
Tidak semua orang yang kita ajak bicara seumuran kan?
Sudah seharusnya bahasa Jawa
dipelihara agar tetap terjaga kelestariannya. Bagaimana caranya? Tentunya
dengan memperbanyak praktek bukan sekedar teori saja. Seperti yang dilakukan teman-teman
di Kampung Kurcaci. Tempat dimana kita tidak hanya menikmati alam, sekedar
menghirup udara segar. Tapi juga merawat bahasa dan membuat kita kembali
mengenali diri sendiri.
Kampung Kurcaci. |
Kampung Kurcaci ini terbilang
objek wisata baru. Awalnya sekolah alam untuk anak-anak daerah sekitar. Kehadirannya
semakin disadari karena fotonya beredar di internet.
Aku pun tahu karena seorang teman mention
ke akun instagram-ku. Tampilan yang instagramable membuat tempat ini
diminati pengunjung. Apalagi tempatnya yang mudah dijangkau dan tarifnya yang
terjangkau.
Berada di kaki Gunung Slamet, tepatnya
Jalan Raya Brobahan, Serang, Purbalingga. Jalan yang ditempuh tidak begitu susah.
Khas daerah pegunungan yang menanjak dan berliku. Dengan udara yang segar
karena sedikit polusi. Suasana seperti itu sudah terasa sebelum lokasi. Kalau
kalian dari kota Purbalingga, Kampung Kurcaci ini 1 km sebelum kebun
strawberry. Ada banner besar bertuliskan Kampung Kurcaci, masuk jalan setapak
sedikit. Tempatnya berada di belakang rumah warga. Dari jalan raya terlihat rumah-rumah
penduduk seperti biasa.
Tempat parkir dan warung makan |
Begitu masuk tempat parkir, mulai
terdengar suara air yang mengalir dan terlihat pohon-pohon tinggi menjulang. Cukup
membayar parkir dua ribu per motor dan tiket masuk lima ribu per orang.
Pengunjung sudah bisa menikmati kesegaran Kampung Kurcaci. Tempat dimana
karbondioksida di paru-parumu terkuras habis. Prasangka buruk pun bisa ikut
terkikis. Membuat senyummu semakin manis. Namanya memang Kampung Kurcaci, tapi
jangan harap bisa menemukan kurcaci atau manusia berperawakan mini. Kalau tidak
ada kurcacinya, mengapa namanya Kampung Kurcaci?
Banner di depan loket |
“Karena disini kita berada diantara pepohonan raksasa yang membuat kita
menjadi kecil bagai kurcaci. Sebuah pelajaran dari alam, bahwa meskipun
sebelumnya kita manusia besar dengan segala kekuasaannya, namun seiring
perpindahan ruang dan waktu, kita bisa saja menjadi makhluk mungil dengan
segala keterbatasannya. Maka mari hidup saling menghormati, sehat dan bahagia
dengan bersyukur dan berbagi.”
Rimbunnya pohon damar di Kampung Kurcaci. |
Begitu kutipan yang tertulis di
sebuah banner tepat di depan loket masuk dan informasi. Saat masuk ke Kampung
Kurcaci, memang badan ini terasa kecil. Bagaimana tidak, pohon-pohon di Kampung
Kurcaci tingginya bisa mencapai 10 meter. Dengan itu, hendaknya kita bisa
menjadi pribadi yang teduh tanpa meninggi penuh angkuh. Memangnya apa yang
pantas manusia angkuhkan? Bukankah hidup hanya sekedar tempat persinggahan.
Di samping banner tadi juga
tertulis, “Anda memasuki kawasan
berbahasa jawa krama.” Memang ini bukan peraturan yang harus dipatuhi. Bila
melanggar akan diberi sanksi. Tapi aku melihatnya sebagai sebuah inovasi. Dari
tutur kata yang santun dapat meningkatkan kualitas diri. Bukankah jati diri
sesungguhnya akan terlihat dari caramu berkomunikasi? Maka, jagalah ucapan agar
tidak terjadi salah persepsi.
Dengan banner-banner di depan
loket ini, aku bisa melihat bahwa Kampung Kurcaci berkomitmen menjadi tempat
pembelajar. Benar saja, tepat di belakang banner ada Perpustakaan Kurcaci dan
Sekolah Alam. Perpustakaannya memang kecil, bukunya pun masih sedikit. Sebagai
pecinta buku, mungkin suatu hari nanti aku bawakan beberapa bila datang
kembali. Buatku buku memang membuka wawasan serta pemahaman. Orang yang sedikit
membaca sama dengan petasan. Banyak bicaranya sedikit yang dikatakan. Membacalah
yang banyak. Bila yang kau baca salah, pemahamanmu akan melunturkannya.
Perpustakaan Kurcaci, yuk kita sumbang buku di sini. |
Waktu aku kesana, sedang tidak
ada kegiatan di Sekolah Alam. Tapi banyak pengunjung yang membawa anak kecil,
bermain di area permainan. Sekedar bermain congklak, sunda manda, egrang, atau
yang lainnya. Semuanya permainan tradisional, tidak ada game kekinian menggunakan gagdet.
Aku sebagai generasi 90-an yang bahagia masa kecilnya, tentu ini jadi tempat
mengenang masa lalu. Masa dimana bisa tertawa tanpa banyak benalu.
Main sunda manda, salah satu permainan tradisional yang ada di Kampung Kurcaci. |
“Aaaaaaaa!!!” aku tersentak kaget
mencari sumber teriakan, ketika sedang membaca buku di sebuah hammock. Ternyata ada seorang pengunjung
yang sedang terayun diikat dengan satu tali. Giant Swing, namanya. Sejujurnya, aku ngilu melihatnya. Karena dulu
waktu kecil pernah melihat teman jatuh dari ayunan, tangannya patah. Giant Swing ini tentu beda dengan
ayunan. Ada tali pengaman dan pendamping profesional dari pihak Kampung
Kurcaci. Tapi tetap saja, jantungku ikut berdetak cepat melihatnya.
Membaca buku sambil duduk di hammock. |
Trauma dengan ayunan bukan
berarti aku takut ketinggian. Diantara pohon-pohon tinggi di Kampung Kurcaci,
dibangun beberapa rumah pohon. Ingatanku pun kembali ke masa kecil, lagi. Waktu
aku kecil, yang aku buat bukan rumah pohon sungguhan. Hanya papan kayu yang
disusun antara batang pohon. Cukup menjadi tempat sembunyi dari Ibu yang
menyuruh makan atau mandi.
Rumah pohon di Kampung Kurcaci. |
Sekarang pun bisa menjadi
persembunyian dari keriuhan yang terjadi. Melepas beban dari segala kebisingan.
Orang seringnya menatap gemerlap yang di atas. Lupa kalau sesekali harus
menunduk ke bawah. Merenungi yang telah terjadi. Mengambil hikmahnya, untuk
bangkit lagi. Atau hanya sekedar berbagi keluh dengan kawan sambil ngopi.
Tidak hanya rumah pohon, di
Kampung Kurcaci juga ada Rumah Kurcaci. Spot foto yang instagramable ini menjadi daya tarik tersendiri. Tampilan rumah ini
mirip rumah di film The Hobbit. Untuk
mendapatkan kenangan di rumah kurcaci, pengunjung pun rela mengantri. Lagi-lagi
tempat ini mengajarkan sesuatu, walau masih berupa banner himbauan dengan
kata-kata lucu.
Rumah Kurcaci |
Beberapa kali aku datang ke
tempat swafoto mendadak tenar harus mengantri. Hanya untuk jepretan sekali. Ada
tempat yang menggunakan sistem nomor urut. Agar yang mau foto bisa teratur,
tidak berebut. Di Rumah Kurcaci ini justru kita diajarkan untuk saling tolong.
Mengajak berkomunikasi dengan pengunjung lain. Tidak ada yang tahu kan, berawal
minta tolong difotokan berakhir pertemanan atau pelaminan. #eaaaaa.
Jangan lupa saling tolong atau bisa juga foto bareng. |
Rumah Kurcaci tidak ada ruangan
di dalamnya. Hanya tampilan depan rumah yang dipasang digundukan tanah. Kalau
ingin bersantai tiduran menikmati segarnya suasana hutan, pengunjung bisa
leyeh-leyeh dengan hammock atau tenda
yang ada di kawasan Camping Ground.
Di Kampung Kurcaci ini bukan
hanya ada hutan dengan pohon menjulang tinggi. Tapi juga ada air terjun/curug
yang berada tidak jauh dari kawasan hutan. Cukup jalan 15 menit dan membayar
dua ribu rupiah, pengunjung bisa menikmati Curug Lawang.
Pintu masuk ke Curug Lawang. |
Jalan menanjaknya sudah ditata
sederhana dengan bambu agar pengunjung tidak terpeleset saat jalan licin. Walau
jalannya sepi dan menyeberangi kali kecil, tidak usah takut. Karena sebelum
pintu masuk ada seorang kakek yang akan memberimu salam. Si kakek akan dengan ramah
menyambutmu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kamu tanyakan.
Kali kecil sebelum Curug Lawang. |
Jalan menuju Curug Lawang. |
Di tempat ini, ada seorang kakek yang akan memberimu salam. |
Curug Lawang ada dua aliran yang
sejajar. Mungkin itu alasan, kenapa air terjun ini dinamai lawang
(pintu dalam bahasa Jawa), karena bentuknya yang seperti tiang pintu. Entah
mitos atau hanya khayalan belaka. Bukankah sudah menjadi tata krama, ketika
masuk pintu seharusnya memberi salam pembuka. Curug Lawang ini airnya begitu
jernih dan dingin. Alirannya juga tidak deras. Lumayan menjadi pelepas lelah
setelah berjalan. Pengunjung bisa bermain air dan duduk-duduk di bebatuan.
Penunjuk arah ke Curug Lawang. |
Salah satu aliran Curug Lawang. |
Tak terasa waktu cepat sekali
berlalu. Masih jam tiga sore, kabut mulai datang dari setiap penjuru.
Mengingatkan sudah waktunya pulang. Belum sampai area parkir, hujan sudah
buru-buru datang. Hati berkata tetap harus beranjak sekarang. Mau hujan sebesar
apapun tetap harus diterjang. Yakin, kalau di perjalanan pulang nanti di bawah
masih terang. Padahal belum sempat ke Curug Tarung. Tak apalah, semoga di
kesempatan lain bisa berkunjung.
Seorang tukang parkir dengan ramahnya
menghampiriku, “Saya bantu sampai ke jalan raya ya, Mba. Jalannya licin, takut
Mba jatuh.” Rintikan hujan membasahi area parkir yang masih tanah liat,
membuatnya agak becek. Tukang parkir itu membawakan motorku sampai jalan raya.
“Hati-hati di jalan ya, Mba. Jangan bosan datang lagi ke sini,” katanya sambil
tersenyum.
Di perjalanan pulang aku baru
menyadari sesuatu. Siapapun yang mengelola Kampung Kurcaci, mereka sadar akan
potensi daerahnya. Aku yakin dari tukang
parkir sampai kakek di Curug Lawang dibina dengan baik. Bukan hanya sekedar
ladang untuk mencari uang. Yang penting untung, cepat kenyang. Satu dua hari
mudah hilang. Tapi mereka sadar untuk tetap bersinergi, membangun sistem demi kelangsungan
anak cucu nanti.
Tiga atau dua tahun belakangan
memang tempat wisata baru banyak bermunculan. Dari tempat terpencil yang belum
banyak diketahui orang. Sampai yang hanya sekedar papan kayu ditata pun ada.
Kadang hati ini tertawa melihat fenomena tempat mendadak hits di media sosial. Tidak salah, karena bisa memberi dampak
positif. Pertumbuhan ekonomi warga setempat semakin meningkat dari tempat
wisata itu.
Lalu, apakah hits saja cukup? Tentu tidak. Harus ada pengelolaan yang baik, daya
tarik yang unik, dan inovasi berkelanjutan. Sering kali ada saja oknum menarik
pungli demi kepentingan sendiri. Fasilitas yang tidak dirawat dan dibiarkan
mangkrak. Tidak berinovasi dengan penambahan fasilitas atau wahana. Pengunjung
bisa saja berbondong-bondong datang awalnya. Lalu terasa sia-sia pada akhirnya.
Bila mereka tidak datang kembali membawa kesan bahagia.
Berwisata boleh saja menikmati keindahan
alam atau bermain wahana. Lebih dari itu, ada baiknya rasa juga ikut serta.
Bukan hendak menggurui, merasa paling mengerti. Percayalah, tempat yang indah
bukan soal enak dipandang mata. Tapi tentang manusia yang hidup, menghidupi,
dan dihidupi karenanya. Membuat rasa aman dan nyaman kepada setiap yang datang.
Setelah pergi, membawa rasa ingin kembali.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang
diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa
Tengah @VisitJawaTengah (www.twitter.com/visitjawatengah)
Keren mbak, bukan cuma ajang wisata tp jg ada pelajaran yg bs diambil. Eh serius itu harus ngobrolnya pake bhs jawa krama?
ReplyDeletetidak wajib pake krama, mba. cuma tidak salah juga kita sambil belajar kan. hehe
DeleteSuka membaca ceritanya, mengalir tuntas
ReplyDeleteterima kasih, kak. :)
Delete