Sunday, October 2, 2016

Refleksi Diri Di Kampung Kurcaci



“Sugeng rawuh wonten Kampung Kurcaci, Mba,” “Selamat datang di Taman Kurcaci, Mba,” begitu kata penjaga loket tiket di Kampung Kurcaci sambil tersenyum.
Pintu masuk Kampung Kurcaci
Sejak kapan kamu belajar berbicara? Aku, tidak ingat kapan pastinya. Orang pertama yang mengajarkan aku berbicara tentu ibuku. Bahkan ketika pertama kali aku menyusu padanya, ibu sudah mengajakku berbicara. Dari sekedar mengoceh belaka sampai bertutur indah didengar. Aku beruntung hidup di keluarga yang mengajarkan tata krama dalam berbicara. Dimana saat ini kesopanan dalam berbicara mulai luntur di kalangan anak muda.

Bahasa Jawa memiliki ketentuannya sendiri, tergantung siapa yang diajak berbicara. Ngoko untuk berbicara dengan yang seumuran atau lebih muda. Dan krama digunakan bila berbicara dengan orang yang lebih tua atau dihormati. Aku terbiasa menggunakan ngoko bila berbicara dengan teman-temanku. Memang tidak semua teman mau menanggapinya dengan ngoko juga. Ada beberapa di antara mereka yang merasa risih berbicara dengan bahasa Jawa. Terlebih logat kami ngapak, yang dinilai tidak gaul dan terkesan ndeso.

Sewaktu menjadi petugas Sensus Pertanian 2013, aku sering kali berhadapan dengan koresponden yang sudah kakek-kakek. Keahlianku berbicara dengan krama sangat berguna. Ada beberapa diantara mereka yang tidak lancar atau tidak bisa berbahasa Indonesia. Memang krama saya belum lancar. Terkadang masih bingung jadi keblabasan ngoko. “Minimal kamu berani mencoba,” kata korespondenku waktu itu yang ketua kelompok tani di desaku. Walau kita anak muda, tidak ada salahnya mengerti krama. Tidak semua orang yang kita ajak bicara seumuran kan? 

Sudah seharusnya bahasa Jawa dipelihara agar tetap terjaga kelestariannya. Bagaimana caranya? Tentunya dengan memperbanyak praktek bukan sekedar teori saja. Seperti yang dilakukan teman-teman di Kampung Kurcaci. Tempat dimana kita tidak hanya menikmati alam, sekedar menghirup udara segar. Tapi juga merawat bahasa dan membuat kita kembali mengenali diri sendiri.
Kampung Kurcaci.
Kampung Kurcaci ini terbilang objek wisata baru. Awalnya sekolah alam untuk anak-anak daerah sekitar. Kehadirannya semakin disadari karena fotonya beredar di internet. Aku pun tahu karena seorang teman mention ke akun instagram-ku. Tampilan yang instagramable membuat tempat ini diminati pengunjung. Apalagi tempatnya yang mudah dijangkau dan tarifnya yang terjangkau.

Berada di kaki Gunung Slamet, tepatnya Jalan Raya Brobahan, Serang, Purbalingga. Jalan yang ditempuh tidak begitu susah. Khas daerah pegunungan yang menanjak dan berliku. Dengan udara yang segar karena sedikit polusi. Suasana seperti itu sudah terasa sebelum lokasi. Kalau kalian dari kota Purbalingga, Kampung Kurcaci ini 1 km sebelum kebun strawberry. Ada banner besar bertuliskan Kampung Kurcaci, masuk jalan setapak sedikit. Tempatnya berada di belakang rumah warga. Dari jalan raya terlihat rumah-rumah penduduk seperti biasa.
Tempat parkir dan warung makan
Begitu masuk tempat parkir, mulai terdengar suara air yang mengalir dan terlihat pohon-pohon tinggi menjulang. Cukup membayar parkir dua ribu per motor dan tiket masuk lima ribu per orang. Pengunjung sudah bisa menikmati kesegaran Kampung Kurcaci. Tempat dimana karbondioksida di paru-parumu terkuras habis. Prasangka buruk pun bisa ikut terkikis. Membuat senyummu semakin manis. Namanya memang Kampung Kurcaci, tapi jangan harap bisa menemukan kurcaci atau manusia berperawakan mini. Kalau tidak ada kurcacinya, mengapa namanya Kampung Kurcaci?

Banner di depan loket
“Karena disini kita berada diantara pepohonan raksasa yang membuat kita menjadi kecil bagai kurcaci. Sebuah pelajaran dari alam, bahwa meskipun sebelumnya kita manusia besar dengan segala kekuasaannya, namun seiring perpindahan ruang dan waktu, kita bisa saja menjadi makhluk mungil dengan segala keterbatasannya. Maka mari hidup saling menghormati, sehat dan bahagia dengan bersyukur dan berbagi.”
Rimbunnya pohon damar di Kampung Kurcaci.
Begitu kutipan yang tertulis di sebuah banner tepat di depan loket masuk dan informasi. Saat masuk ke Kampung Kurcaci, memang badan ini terasa kecil. Bagaimana tidak, pohon-pohon di Kampung Kurcaci tingginya bisa mencapai 10 meter. Dengan itu, hendaknya kita bisa menjadi pribadi yang teduh tanpa meninggi penuh angkuh. Memangnya apa yang pantas manusia angkuhkan? Bukankah hidup hanya sekedar tempat persinggahan.

Di samping banner tadi juga tertulis, “Anda memasuki kawasan berbahasa jawa krama.” Memang ini bukan peraturan yang harus dipatuhi. Bila melanggar akan diberi sanksi. Tapi aku melihatnya sebagai sebuah inovasi. Dari tutur kata yang santun dapat meningkatkan kualitas diri. Bukankah jati diri sesungguhnya akan terlihat dari caramu berkomunikasi? Maka, jagalah ucapan agar tidak terjadi salah persepsi.

Dengan banner-banner di depan loket ini, aku bisa melihat bahwa Kampung Kurcaci berkomitmen menjadi tempat pembelajar. Benar saja, tepat di belakang banner ada Perpustakaan Kurcaci dan Sekolah Alam. Perpustakaannya memang kecil, bukunya pun masih sedikit. Sebagai pecinta buku, mungkin suatu hari nanti aku bawakan beberapa bila datang kembali. Buatku buku memang membuka wawasan serta pemahaman. Orang yang sedikit membaca sama dengan petasan. Banyak bicaranya sedikit yang dikatakan. Membacalah yang banyak. Bila yang kau baca salah, pemahamanmu akan melunturkannya.
Perpustakaan Kurcaci, yuk kita sumbang buku di sini.
Waktu aku kesana, sedang tidak ada kegiatan di Sekolah Alam. Tapi banyak pengunjung yang membawa anak kecil, bermain di area permainan. Sekedar bermain congklak, sunda manda, egrang, atau yang lainnya. Semuanya permainan tradisional, tidak ada game kekinian menggunakan gagdet. Aku sebagai generasi 90-an yang bahagia masa kecilnya, tentu ini jadi tempat mengenang masa lalu. Masa dimana bisa tertawa tanpa banyak benalu.
Main sunda manda, salah satu permainan tradisional yang ada di Kampung Kurcaci.
“Aaaaaaaa!!!” aku tersentak kaget mencari sumber teriakan, ketika sedang membaca buku di sebuah hammock. Ternyata ada seorang pengunjung yang sedang terayun diikat dengan satu tali. Giant Swing, namanya. Sejujurnya, aku ngilu melihatnya. Karena dulu waktu kecil pernah melihat teman jatuh dari ayunan, tangannya patah. Giant Swing ini tentu beda dengan ayunan. Ada tali pengaman dan pendamping profesional dari pihak Kampung Kurcaci. Tapi tetap saja, jantungku ikut berdetak cepat melihatnya.
Membaca buku sambil duduk di hammock.
Trauma dengan ayunan bukan berarti aku takut ketinggian. Diantara pohon-pohon tinggi di Kampung Kurcaci, dibangun beberapa rumah pohon. Ingatanku pun kembali ke masa kecil, lagi. Waktu aku kecil, yang aku buat bukan rumah pohon sungguhan. Hanya papan kayu yang disusun antara batang pohon. Cukup menjadi tempat sembunyi dari Ibu yang menyuruh makan atau mandi.
Rumah pohon di Kampung Kurcaci.
Sekarang pun bisa menjadi persembunyian dari keriuhan yang terjadi. Melepas beban dari segala kebisingan. Orang seringnya menatap gemerlap yang di atas. Lupa kalau sesekali harus menunduk ke bawah. Merenungi yang telah terjadi. Mengambil hikmahnya, untuk bangkit lagi. Atau hanya sekedar berbagi keluh dengan kawan sambil ngopi.

Tidak hanya rumah pohon, di Kampung Kurcaci juga ada Rumah Kurcaci. Spot foto yang instagramable ini menjadi daya tarik tersendiri. Tampilan rumah ini mirip rumah di film The Hobbit. Untuk mendapatkan kenangan di rumah kurcaci, pengunjung pun rela mengantri. Lagi-lagi tempat ini mengajarkan sesuatu, walau masih berupa banner himbauan dengan kata-kata lucu.
Rumah Kurcaci
Beberapa kali aku datang ke tempat swafoto mendadak tenar harus mengantri. Hanya untuk jepretan sekali. Ada tempat yang menggunakan sistem nomor urut. Agar yang mau foto bisa teratur, tidak berebut. Di Rumah Kurcaci ini justru kita diajarkan untuk saling tolong. Mengajak berkomunikasi dengan pengunjung lain. Tidak ada yang tahu kan, berawal minta tolong difotokan berakhir pertemanan atau pelaminan. #eaaaaa.
Jangan lupa saling tolong atau bisa juga foto bareng.

Rumah Kurcaci tidak ada ruangan di dalamnya. Hanya tampilan depan rumah yang dipasang digundukan tanah. Kalau ingin bersantai tiduran menikmati segarnya suasana hutan, pengunjung bisa leyeh-leyeh dengan hammock atau tenda yang ada di kawasan Camping Ground

Di Kampung Kurcaci ini bukan hanya ada hutan dengan pohon menjulang tinggi. Tapi juga ada air terjun/curug yang berada tidak jauh dari kawasan hutan. Cukup jalan 15 menit dan membayar dua ribu rupiah, pengunjung bisa menikmati Curug Lawang.
Pintu masuk ke Curug Lawang.
Jalan menanjaknya sudah ditata sederhana dengan bambu agar pengunjung tidak terpeleset saat jalan licin. Walau jalannya sepi dan menyeberangi kali kecil, tidak usah takut. Karena sebelum pintu masuk ada seorang kakek yang akan memberimu salam. Si kakek akan dengan ramah menyambutmu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kamu tanyakan.
Kali kecil sebelum Curug Lawang.

Jalan menuju Curug Lawang.

Di tempat ini, ada seorang kakek yang akan memberimu salam.

Curug Lawang ada dua aliran yang sejajar. Mungkin itu alasan, kenapa air terjun ini dinamai lawang (pintu dalam bahasa Jawa), karena bentuknya yang seperti tiang pintu. Entah mitos atau hanya khayalan belaka. Bukankah sudah menjadi tata krama, ketika masuk pintu seharusnya memberi salam pembuka. Curug Lawang ini airnya begitu jernih dan dingin. Alirannya juga tidak deras. Lumayan menjadi pelepas lelah setelah berjalan. Pengunjung bisa bermain air dan duduk-duduk di bebatuan.
Penunjuk arah ke Curug Lawang.
Salah satu aliran Curug Lawang.
Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Masih jam tiga sore, kabut mulai datang dari setiap penjuru. Mengingatkan sudah waktunya pulang. Belum sampai area parkir, hujan sudah buru-buru datang. Hati berkata tetap harus beranjak sekarang. Mau hujan sebesar apapun tetap harus diterjang. Yakin, kalau di perjalanan pulang nanti di bawah masih terang. Padahal belum sempat ke Curug Tarung. Tak apalah, semoga di kesempatan lain bisa berkunjung.

Seorang tukang parkir dengan ramahnya menghampiriku, “Saya bantu sampai ke jalan raya ya, Mba. Jalannya licin, takut Mba jatuh.” Rintikan hujan membasahi area parkir yang masih tanah liat, membuatnya agak becek. Tukang parkir itu membawakan motorku sampai jalan raya. “Hati-hati di jalan ya, Mba. Jangan bosan datang lagi ke sini,” katanya sambil tersenyum.

Di perjalanan pulang aku baru menyadari sesuatu. Siapapun yang mengelola Kampung Kurcaci, mereka sadar akan potensi daerahnya.  Aku yakin dari tukang parkir sampai kakek di Curug Lawang dibina dengan baik. Bukan hanya sekedar ladang untuk mencari uang. Yang penting untung, cepat kenyang. Satu dua hari mudah hilang. Tapi mereka sadar untuk tetap bersinergi, membangun sistem demi kelangsungan anak cucu nanti.

Tiga atau dua tahun belakangan memang tempat wisata baru banyak bermunculan. Dari tempat terpencil yang belum banyak diketahui orang. Sampai yang hanya sekedar papan kayu ditata pun ada. Kadang hati ini tertawa melihat fenomena tempat mendadak hits di media sosial. Tidak salah, karena bisa memberi dampak positif. Pertumbuhan ekonomi warga setempat semakin meningkat dari tempat wisata itu.

Lalu, apakah hits saja cukup? Tentu tidak. Harus ada pengelolaan yang baik, daya tarik yang unik, dan inovasi berkelanjutan. Sering kali ada saja oknum menarik pungli demi kepentingan sendiri. Fasilitas yang tidak dirawat dan dibiarkan mangkrak. Tidak berinovasi dengan penambahan fasilitas atau wahana. Pengunjung bisa saja berbondong-bondong datang awalnya. Lalu terasa sia-sia pada akhirnya. Bila mereka tidak datang kembali membawa kesan bahagia.

Berwisata boleh saja menikmati keindahan alam atau bermain wahana. Lebih dari itu, ada baiknya rasa juga ikut serta. Bukan hendak menggurui, merasa paling mengerti. Percayalah, tempat yang indah bukan soal enak dipandang mata. Tapi tentang manusia yang hidup, menghidupi, dan dihidupi karenanya. Membuat rasa aman dan nyaman kepada setiap yang datang. Setelah pergi, membawa rasa ingin kembali.

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah (www.twitter.com/visitjawatengah)

4 comments:

  1. Keren mbak, bukan cuma ajang wisata tp jg ada pelajaran yg bs diambil. Eh serius itu harus ngobrolnya pake bhs jawa krama?

    ReplyDelete
    Replies
    1. tidak wajib pake krama, mba. cuma tidak salah juga kita sambil belajar kan. hehe

      Delete
  2. Suka membaca ceritanya, mengalir tuntas

    ReplyDelete

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts