Tuesday, November 29, 2016

Pantai Di Cilacap Part 4: Bersepeda Pagi Ke Pantai Bunton



“Mba, besok pagi sepedaan, yuh,” kata Mamah di malam minggu yang pahit ini.

Malam di mana muda-mudi seusiaku sedang berhaha-hihi di pojok sebuah cafe. Entah ada gunanya atau tidak, yang penting eksis dulu. Agar tidak terlihat merana. Aku? Mana bisa nongkrong di malam minggu.

Bukan hanya karena status yang menyakitkan itu. Tapi nongkrong di dekat tempat tinggalku, itu cuma bisa dengar jangkrik main gitar akustik. Atau paduan suara dari kodok yang nongkrong di pojok-pojok sawah. Yang paling aku suka hanya nyanyian angin sunyi, di mana bisikannya selalu menenangkan.

“Mba,” Mamahku memanggilku lagi untuk meyakinkan kalau anggukan kecil yang aku berikan benar-benar jawaban, iya.

“Emmmm, ya,” suaraku keluar dengan malasnya.

“Kamu itu perlu sepedaan, keluar rumah biar sehat. Kalau di ... .”

“Iya, besok sepedaan,” kali ini aku cepat menyahut karena benar-benar malas mendengar ocehan Mamahku. Yang semakin dibiarkan semakin menjadi-jadi.
Sepeda yang aku pakai pagi ini.

Seperti pagi-pagi kemarin, aku malas beranjak dari tempat tidurku. Sudah dua kali Mamah berteriak supaya aku lekas bangun. Mataku sudah membulat dari tadi, hanya rasanya tempat tidur ini penuh gravitasi. Tetap saja, mau tidak mau aku harus segara bangun kalau tidak mau mendengar rentetan ocehan Mamah.

Bersepeda bukanlah hal yang baruuntukku. Hanya masa SMA dan bekerja saja aku tidak benar-benar memanfaatkan kegunaan sepeda. Bahkan kuliah yang dikelilingi mahasiswa adu gengsi saja aku berani ke kampus naik sepeda.

Walau sudah sering ke mana-mana naik sepeda, aku hanya punya sepeda sendiri waktu SD. Itu pun karena selalu menabung uang saku dan bantu-bantu di percetakan undangan punya tetangga. Ya, dari kecil aku terbiasa mencari atau mengumpulkan uang kalau ingin beli sesuatu.

Pagi ini, sepeda aku arahkan ke pantai paling dekat dengan rumah. Hanya 7 kilometer jaraknya, dekat, ya? Buatku, entahlah buatmu. Kalau nyepedanya santai, butuh waktu setengah jam untuk ke sana. Dari rumahku, cukup keluar rumah (rumahku tepi jalan raya) lalu ikuti jalan ke selatan. Lurus saja tidak usah belak-belok walau menemui banyak persimpangan jalan sampai mentok. Dan sampailah di Pantai Bunton.

Suasana hatiku yang tadinya bangun pagi dengan terpaksa karena ocehan Mamah. Berubah jadi adem, tentrem, loh jinawi (hehehe). Bagaimana tidak merasa adem, jalan yang aku lewati hanyalah jalan antar desa yang samping kiri kanannya persawahan.

Ya, ada sih rumah warga, pertokoan, pasar, perkantoran. Tapi tetap saja namanya di kampung, hari minggu, pagi-pagi pula. Jalanan pun ramai orang berolah raga pagi, kendaraan bermotornya sangat jarang. Di kampung kami tidak perlu jalanan ditutup hanya untuk sekedar car free day. Lah wong hari biasa saja masih bisa lari-larian, gegoleran.

Sekarang di kampung sedang memasuki musim penghujan. Sawah yang aku lewati ada yang baru disiapkan akan ditanami padi, ada yang baru ditanami, ada yang sudah hijau. Satu komplek persawahan beda-beda waktu tanamnya.

Mengapa demikian? Karena air yang mengalir di sawah yang satu dan lainnya berbeda. Kok bisa beda, kan hujan turun di tempat yang sama? Iya hujannya sama, tapi ada sistem irigasi dan bagi-bagi air. Aliran air itu ada jadwalnya, bulan ini komplek A, bulan besok komplek B. Jadi musim panen jaman sekarang bukan tergantung musim lagi. Musim kemarau pun masih bisa panen, asal ada duitnya untuk memompa air.

Kok kamu tahu? Sok tahu nih?

Hahaha. *ketawa, ngetawain diri sendiri*

Aku memang bukan ahlinya, tapi pernah menjadi petugas Sensus Pertanian tahun 2013. Dari situ aku bertemu petani dari tiga desa. Mereka banyak bercerita dengan apa yang sedang dialami. Cerita di satu desa dengan desa yang lain berbeda. Itu kenapa aku bisa tahu sistem bagi-bagi aliran air. Duh, jadi pengin nulis secara khusus tentang ini deh.

Kembali ke soal nyepeda sekaligus mantai.

Mamah bersepeda di depanku dengan sepeda putih. Aku berada di belakangnya dengan sepeda biru, punya adikku. Sepanjang jalan selalu bertegur sapa dengan penyepeda yang lain, terutama yang sepeda ontel. Entah kenal atau tidak, tetap saja say hay.

Aku pakai masker di mulutku. Bukan melindungi dari asap kendaraan. Tapi karena debu truk pengangkut pasir, pasir besi, batu bata, kapur, dan lainnya yang sudah berseliweran dari pagi-pagi buta. Tempatku memang dekat kawasan pertambangan, ada juga PLTU. Untung ini hari minggu, kalau hari kerja truk-truk proyek PLTU juga banyak yang hilir mudik.

Entah sudah berapa menit, aku tidak bisa melihat jam di layar handphone-ku. Yang pasti bau asin, suara deburan ombak, pasir pantai, dan deretan nyiur melambai sudah mulai terasa. Mereka menggodaku dari kejauhan, mengajakku bermain bersama.

Deretan pohon kelapa di sekitar Pantai Bunton
Karena ini hari Minggu, banyak warga sekitar Pantai Bunton yang datang. Tidak perlu membayar kalau kalian ke pantai ini. Ngapain bayar? Ini seperti kalian berkunjung ke rumah tetangga. Hanya bermodal waktu untuk singgah, bertukar sapa atau hanya basa-basi belaka.

Apa yang disuguhkan Pantai Bunton?

Sama seperti pantai pada umumnya. Ada ombak dan buih-buih yang menghapus setiap jejak kenangan di sepanjang garis pantai. Ciyeeee, ahay. Tidak ada sentuhan pemerintah di pantai ini. Kalau ada fasilitas MCK, parkir, saung, dan warung-warung, itu inisiatif warga setempat. Pantai ini sama seperti pasar kaget yang ada aktivitas hanya di pagi hari. Siang sedikit langsung sepi.
Saung seharga LIMA RIBU di Pantai Bunton.

Kolam renang buatan di Pantai Bunton.

Warung dan pedagang kaki lima di Pantai Bunton.

Aku memarkirkan sepeda di bawah pohon, tidak di parkiran yang disediakan. Tentu tidak diprotes oleh tukang parkir karena banyak sepeda yang masuk ke tepian pantai. Aku meluruskan kaki yang lelah mengayuh dan pantat yang tiba-tiba kempes di tempat duduk kayu bawah pohon. Ada banyak saung sebenarnya, tapi harus bayar LIMA RIBU untuk duduk di satu saung. Aku sudah malas membahas ini, kejadian tidak mengenakkan di pantai sebelah sudah pernah aku jelaskan sebelumnya.

Mamahku sibuk main air layaknya anak kecil, aku membiarkannya sendirian. Selain tidak bawa baju ganti, aku memang sedang benar-benar malas. Tadi berangkat saja sudah terasa enggan. Aku memesan lontong pecel di salah satu warung. Entahlah harganya berapa, Mamahku yang membayarnya. Enak apa ngga? Emmm, untuk perut yang sama sekali belum ada isinya dan sudah bersepeda 30 menitan, ya enak-enak aja.
Lontong pecel di Pantai Bunton.
Yang menarik dari Pantai Bunton adalah letaknya yang bersebelahan dengan PLTU. Jangan tanya kenapa aku tidak bekerja di sana! Pertanyaan itu sudah begitu memuakkan untukku. Tapi yang akan aku beri tahu ini tidak ada kaitannya dengan kenapa aku tidak bekerja di sana.

Ini sekedar yang aku lihat loh, ya. Kalau tadi di atas aku bercerita perjalananku melewati beberapa komplek persawahan, di Pantai Bunton ini juga ada komplek persawahan. Dan keadaannya memprihatinkan. Terlihat kalau sawah-sawah itu sudah lama tidak ditanami lagi. Aku tidak ahli tentang dampak lingkungan karena industri. Tapi aku sedikit tahu tentang sawah yang sehat seperti apa.
Sawah dan PLTU yang berdampingan di Pantai Bunton.
Kalau mau suudzon dan berspekulasi ini itu, tentu akan mengarah pada penyalah gunaan wewenang, kekuasaan, dan uang. Tapi aku tidak ada bukti apa-apa, jadi hanya bisa menulis ini. Tulisanku ini mungkin hanya angin lalu bagi mereka. Wajar saja, uang dan kekuasaan memang begitu menggoda. Apalah aku yang cuma bisa menulis saja.

Cilacap dalam imajinasi, tentu menjadi daerah yang sangat maju. Lapangan kerjanya banyak, fasilitas publik memadai, jalanan mulus, penduduknya bahagia. Nyatanya, industri meningkat pesat. PLTU saja sudah mau tiga. Industri pertambangannya melimpah ruwah. Tapi. Sumber daya alam dan manusianya tidak dikelola dengan baik. Aku sudah pernah menjabarkan masalah yang dialami Cilacap. Ini hanya sebagian kecil sebatas akarrumput. Selebihnya, cobalah kalian datang sendiri ke Cilacap.

Hari mulai siang, perut kekenyangan. Tapi masih harus mengayuh sepeda lagi untuk pulang. Hadeh. Pecel yang tadi aku makan terasa cuma numpang lewat. Sampai rumah makan lagi. Hehehe. Lalu mengapa masih bersepeda? Kalau baru sebentar saja makan dua kali. Aku tidak pandai menghitung kalori, lebih pandai menghitung berapa hati yang aku singgahi.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts