“Mba, besok pagi sepedaan, yuh,”
kata Mamah di malam minggu yang pahit ini.
Malam di mana muda-mudi seusiaku
sedang berhaha-hihi di pojok sebuah cafe. Entah ada gunanya atau tidak, yang
penting eksis dulu. Agar tidak terlihat merana. Aku? Mana bisa nongkrong di
malam minggu.
Bukan hanya karena status yang
menyakitkan itu. Tapi nongkrong di dekat tempat tinggalku, itu cuma bisa dengar
jangkrik main gitar akustik. Atau paduan suara dari kodok yang nongkrong di
pojok-pojok sawah. Yang paling aku suka hanya nyanyian angin sunyi, di mana
bisikannya selalu menenangkan.
“Mba,” Mamahku memanggilku lagi
untuk meyakinkan kalau anggukan kecil yang aku berikan benar-benar jawaban,
iya.
“Emmmm, ya,” suaraku keluar
dengan malasnya.
“Kamu itu perlu sepedaan, keluar
rumah biar sehat. Kalau di ... .”
“Iya, besok sepedaan,” kali ini
aku cepat menyahut karena benar-benar malas mendengar ocehan Mamahku. Yang
semakin dibiarkan semakin menjadi-jadi.
Sepeda yang aku pakai pagi ini. |
Seperti pagi-pagi kemarin, aku
malas beranjak dari tempat tidurku. Sudah dua kali Mamah berteriak supaya aku
lekas bangun. Mataku sudah membulat dari tadi, hanya rasanya tempat tidur ini
penuh gravitasi. Tetap saja, mau tidak mau aku harus segara bangun kalau tidak
mau mendengar rentetan ocehan Mamah.
Bersepeda bukanlah hal yang baruuntukku. Hanya masa SMA dan bekerja saja aku tidak benar-benar memanfaatkan
kegunaan sepeda. Bahkan kuliah yang dikelilingi mahasiswa adu gengsi saja aku
berani ke kampus naik sepeda.
Walau sudah sering ke mana-mana
naik sepeda, aku hanya punya sepeda sendiri waktu SD. Itu pun karena selalu
menabung uang saku dan bantu-bantu di percetakan undangan punya tetangga. Ya,
dari kecil aku terbiasa mencari atau mengumpulkan uang kalau ingin beli
sesuatu.
Pagi ini, sepeda aku arahkan ke pantai paling dekat dengan rumah. Hanya 7 kilometer jaraknya, dekat, ya?
Buatku, entahlah buatmu. Kalau nyepedanya santai, butuh waktu setengah jam
untuk ke sana. Dari rumahku, cukup keluar rumah (rumahku tepi jalan raya) lalu
ikuti jalan ke selatan. Lurus saja tidak usah belak-belok walau menemui banyak
persimpangan jalan sampai mentok. Dan sampailah di Pantai Bunton.
Suasana hatiku yang tadinya
bangun pagi dengan terpaksa karena ocehan Mamah. Berubah jadi adem, tentrem,
loh jinawi (hehehe). Bagaimana tidak merasa adem, jalan yang aku lewati
hanyalah jalan antar desa yang samping kiri kanannya persawahan.
Ya, ada sih rumah warga,
pertokoan, pasar, perkantoran. Tapi tetap saja namanya di kampung, hari minggu,
pagi-pagi pula. Jalanan pun ramai orang berolah raga pagi, kendaraan bermotornya
sangat jarang. Di kampung kami tidak perlu jalanan ditutup hanya untuk sekedar car free day. Lah wong hari biasa saja
masih bisa lari-larian, gegoleran.
Sekarang di kampung sedang
memasuki musim penghujan. Sawah yang aku lewati ada yang baru disiapkan akan
ditanami padi, ada yang baru ditanami, ada yang sudah hijau. Satu komplek
persawahan beda-beda waktu tanamnya.
Mengapa demikian? Karena air yang
mengalir di sawah yang satu dan lainnya berbeda. Kok bisa beda, kan hujan turun
di tempat yang sama? Iya hujannya sama, tapi ada sistem irigasi dan bagi-bagi
air. Aliran air itu ada jadwalnya, bulan ini komplek A, bulan besok komplek B.
Jadi musim panen jaman sekarang bukan tergantung musim lagi. Musim kemarau pun
masih bisa panen, asal ada duitnya untuk memompa air.
Kok kamu tahu? Sok tahu nih?
Hahaha. *ketawa, ngetawain diri
sendiri*
Aku memang bukan ahlinya, tapi
pernah menjadi petugas Sensus Pertanian tahun 2013. Dari situ aku bertemu
petani dari tiga desa. Mereka banyak bercerita dengan apa yang sedang dialami.
Cerita di satu desa dengan desa yang lain berbeda. Itu kenapa aku bisa tahu
sistem bagi-bagi aliran air. Duh, jadi pengin nulis secara khusus tentang ini
deh.
Kembali ke soal nyepeda sekaligus
mantai.
Mamah bersepeda di depanku dengan
sepeda putih. Aku berada di belakangnya dengan sepeda biru, punya adikku.
Sepanjang jalan selalu bertegur sapa dengan penyepeda yang lain, terutama yang
sepeda ontel. Entah kenal atau tidak, tetap saja say hay.
Aku pakai masker di mulutku.
Bukan melindungi dari asap kendaraan. Tapi karena debu truk pengangkut pasir,
pasir besi, batu bata, kapur, dan lainnya yang sudah berseliweran dari
pagi-pagi buta. Tempatku memang dekat kawasan pertambangan, ada juga PLTU.
Untung ini hari minggu, kalau hari kerja truk-truk proyek PLTU juga banyak yang
hilir mudik.
Entah sudah berapa menit, aku
tidak bisa melihat jam di layar handphone-ku.
Yang pasti bau asin, suara deburan ombak, pasir pantai, dan deretan nyiur
melambai sudah mulai terasa. Mereka menggodaku dari kejauhan, mengajakku
bermain bersama.
Deretan pohon kelapa di sekitar Pantai Bunton |
Karena ini hari Minggu, banyak
warga sekitar Pantai Bunton yang datang. Tidak perlu membayar kalau kalian ke
pantai ini. Ngapain bayar? Ini seperti kalian berkunjung ke rumah tetangga.
Hanya bermodal waktu untuk singgah, bertukar sapa atau hanya basa-basi belaka.
Apa yang disuguhkan Pantai
Bunton?
Sama seperti pantai pada umumnya.
Ada ombak dan buih-buih yang menghapus setiap jejak kenangan di sepanjang garis
pantai. Ciyeeee, ahay. Tidak ada sentuhan pemerintah di pantai ini. Kalau ada
fasilitas MCK, parkir, saung, dan warung-warung, itu inisiatif warga setempat.
Pantai ini sama seperti pasar kaget yang ada aktivitas hanya di pagi hari.
Siang sedikit langsung sepi.
Saung seharga LIMA RIBU di Pantai Bunton. |
Kolam renang buatan di Pantai Bunton. |
Warung dan pedagang kaki lima di Pantai Bunton. |
Aku memarkirkan sepeda di bawah
pohon, tidak di parkiran yang disediakan. Tentu tidak diprotes oleh tukang
parkir karena banyak sepeda yang masuk ke tepian pantai. Aku meluruskan kaki
yang lelah mengayuh dan pantat yang tiba-tiba kempes di tempat duduk kayu bawah
pohon. Ada banyak saung sebenarnya, tapi harus bayar LIMA RIBU untuk duduk di
satu saung. Aku sudah malas membahas ini, kejadian tidak mengenakkan di pantai
sebelah sudah pernah aku jelaskan sebelumnya.
Mamahku sibuk main air layaknya
anak kecil, aku membiarkannya sendirian. Selain tidak bawa baju ganti, aku
memang sedang benar-benar malas. Tadi berangkat saja sudah terasa enggan. Aku
memesan lontong pecel di salah satu warung. Entahlah harganya berapa, Mamahku
yang membayarnya. Enak apa ngga? Emmm, untuk perut yang sama sekali belum ada
isinya dan sudah bersepeda 30 menitan, ya enak-enak aja.
Lontong pecel di Pantai Bunton. |
Yang menarik dari Pantai Bunton
adalah letaknya yang bersebelahan dengan PLTU. Jangan tanya kenapa aku tidak
bekerja di sana! Pertanyaan itu sudah begitu memuakkan untukku. Tapi yang akan
aku beri tahu ini tidak ada kaitannya dengan kenapa aku tidak bekerja di sana.
Ini sekedar yang aku lihat loh,
ya. Kalau tadi di atas aku bercerita perjalananku melewati beberapa komplek
persawahan, di Pantai Bunton ini juga ada komplek persawahan. Dan keadaannya
memprihatinkan. Terlihat kalau sawah-sawah itu sudah lama tidak ditanami lagi.
Aku tidak ahli tentang dampak lingkungan karena industri. Tapi aku sedikit tahu
tentang sawah yang sehat seperti apa.
Sawah dan PLTU yang berdampingan di Pantai Bunton. |
Kalau mau suudzon dan berspekulasi ini itu, tentu akan mengarah pada penyalah
gunaan wewenang, kekuasaan, dan uang. Tapi aku tidak ada bukti apa-apa, jadi
hanya bisa menulis ini. Tulisanku ini mungkin hanya angin lalu bagi mereka.
Wajar saja, uang dan kekuasaan memang begitu menggoda. Apalah aku yang cuma
bisa menulis saja.
Cilacap dalam imajinasi, tentu
menjadi daerah yang sangat maju. Lapangan kerjanya banyak, fasilitas publik
memadai, jalanan mulus, penduduknya bahagia. Nyatanya, industri meningkat
pesat. PLTU saja sudah mau tiga. Industri pertambangannya melimpah ruwah. Tapi.
Sumber daya alam dan manusianya tidak dikelola dengan baik. Aku sudah pernah
menjabarkan masalah yang dialami Cilacap. Ini hanya sebagian kecil sebatas akarrumput. Selebihnya, cobalah kalian datang sendiri ke Cilacap.
Hari mulai siang, perut kekenyangan.
Tapi masih harus mengayuh sepeda lagi untuk pulang. Hadeh. Pecel yang tadi aku
makan terasa cuma numpang lewat. Sampai rumah makan lagi. Hehehe. Lalu mengapa
masih bersepeda? Kalau baru sebentar saja makan dua kali. Aku tidak pandai
menghitung kalori, lebih pandai menghitung berapa hati yang aku singgahi.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar