Thursday, November 12, 2015

Mengayuh Asa



Kring..kring.. ada sepeda
Sepedaku roda dua
Ku dapat dari ayah
Karna rajin bekerja
 
ig : @kisahkasih_
Memori di kepala seketika melayang-layang menembus waktu. Teringat dulu sewaktu kaki kecil ini berlari-lari mengejar teman yang bersepeda. Sepedanya baru. Dan kami semua berkumpul ikut serta bergembira. Mendorongnya dari belakang. Berharap dapat pinjaman.

Hari demi hari aku hanya bisa mengejar teman yang satu demi satu punya sepeda. Kini giliran aku sendirian yang mendorong mereka yang semuanya sudah punya sepeda. Bahkan sering ditinggal. Mereka sudah tidak lagi balap lari, tapi balap sepeda. Kakiku yang pendek tentu saja tidak bisa mengejarnya. Senyum ini terlihat lebar tapi dalam hati iri juga. “Kapan aku bisa seperti mereka?” dalam hati terselip doa, semoga segera.


Sampai tiba suatu sore, Bapa membawa sepeda kecil berwarna merah. Perasaan doaku tidak pernah terucap. Mengapa seolah-olah Bapa mendengarnya. Aku beri tahu teman-temanku, “Sepedaku baru.” Akhirnya aku bisa seperti mereka, dalam hati merasa bangga. Tapi tidak bagi mereka saat mendengar itu. Mereka sudah lebih dulu punya sepeda. Tentu rasanya tidak sama lagi saat mereka pamer kepadaku. Sepeda baruku ternyata biasa saja.

Apalagi mereka langsung menantangku balapan. Sebentar ya, ini sepeda roda dua bagaimana aku bisa membuatnya berdiri tegak dan mengayuhnya? Untuk duduk di sadelnya tanpa kaki yang menginjak tanah saja aku tidak bisa. Balapan, katamu? Hatiku pun kembali ciut. Aku urungkan acara pamer sepeda baruku. Aku masukkan saja sepeda baru itu ke dalam rumah.

Mamaku bilang, “Kamu belajar dulu menuntunnya. Nanti kalau sudah seimbang baru belajar dinaiki.” Hanya itu yang bisa Mama berikan. Dia sibuk bekerja, tidak mungkin mengajariku, memegangi sepedaku dari belakang.

Diam-diam aku menuruti kata Mama. Saat teman-teman tidur siang atau sedang tidak main, aku menuntun sepedaku mengitari komplek. Hari berganti hari, panas terik aku hadapi. Lama kelamaan badanku yang kurus krempeng berubah menjadi semakin krempeng ditambah hitam.

Tidak sabar, ku naiki juga sepedaku. Kaki kananku naik ke pedal, tidak berani aku mengayuh sepenuhnya. Kakiku hanya sampai seperempat putaran saja. Kaki kiriku masih menginjak tanah. Sambil sekali-kali ikut mendorong agar sepedanya jalan. Pelan-pelan dengan hati yang berdetak lebih kencang dari pada roda sepedaku yang paling hanya menggelinding satu putaran saja. Akhirnya pantatku bisa duduk juga di sadel. Kini kaki kiriku pun ikut memutar pedal. Ya, pedal itu sudah mampu berputar sepenuhnya.

Dengan percaya diri aku mampu menantangmu. Ayo kita saling mengejar. Mengayuh tanpa lelah. Mengejar mimpi dan harapan dengan penuh semangat. Sampai kini aku masih tetap mengayuh. Dan kamu sudah menyetir.

Ya, aku tetap tertinggal. 

Di bawah teriknya matahari dan dinginnya hujan yang menusuk tulang. Aku masih ingat betapa idealisme yang kamu koar-koarkan ketika ospek itu hanya menggema selebar toa saja. Bahkan saat pipi ini masih basah karena penutupan yang penuh renungan, gengsimu sudah mengintip pelan di balik idealismemu.

Aku masih ingat ketika kita baru mengenal. Kita sama, sama-sama sedang berjuang. Sama-sama merasa kecil. Sama-sama punya mimpi yang besar. Sama-sama merasa sama. Tapi itu berakhir ketika aku mengayuh roda duaku. Senyummu seketika itu pudar. Kamu berpikir kita tidak sama lagi. Kaca helm mu pun selalu tertutup rapat ketika melihatku. Kamu bilang, “Ya masa anak kuliahan naik sepeda. Bagaimana bisa meraih masa depan yang baik, kalau yang dipakai tidak pernah baik.”

ig : @kisahkasih_
Roda ini akan terus berputar seiring berjalannya waktu. Kini aku tak akan lagi mengejarmu. Atau mengejar mimpi kita bersama-sama. Aku hanya perlu terus mengayuh sepedaku. Tidak apa kamu pergi dariku. Tidak apa kita tidak sama lagi. Yang harus kamu tahu aku terus bekerja keras mengejar mimpiku dengan keterbatasanku.


NB: Tulisan ini untuk memperingati hari pertama saya ke kampus dengan menggunakan sepeda.  Mungkin terlihat sederhana, hanya ke kampus naik sepeda. Tapi yang saya rasakan adalah bagaimana mampu bertahan tetap mengayuh sementara semua mata memandang saya rendah. (10 November 2008)

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts