“Mau ngapain kamu kesana
jauh-jauh sendirian?”
“Jalan-jalan, Beh,” aku tahu
jawabanku memperburuk suasana. Bahkan kemungkinan mendapatkan ijin dari Babeh
tinggal 10% saja. “Tiket dan hotel ditanggung kok, udah dibeliin malahan.”
“Iya kalau itu bener. Kalau kamu
diboongi orang gimana?”
“Itu resmi kok, Beh. Udah aku
cek. Itu asli,” aku memang sudah mengecek kebenaran hadiah liburan itu ke teman
kost ku yang sekarang bekerja di Kementrian Pariwisata. Tapi namanya orang tua
aku sodorkan cuplikan chat ku dengan teman kost ku itu, tetap saja tidak
percaya. Aku melirik Mamahku, berharap bantuan.
Sebelumnya aku sudah bilang
Mamahku bahwa aku memenangkan lomba menulis dari Kemenpar yang Pesona Tambora ini. Tentu saja Mamah
langsung setuju. Dia tidak mau anaknya di rumah saja. Akhirnya Babeh sepakat
walau dari raut mukanya masih setengah hati. Aku pun membulatkan tekat dan
berjanji tidak akan mengecewakan. Aku di Lombok tidak kenapa-napa dan bisa
kembali sampai rumah dengan selamat.
Sejujurnya ini adalah perjalanan
terjauh selama ini dalam hidupku. Sebelumnya yang terjauh itu ke Jember. Itupun
naik kereta, transportasi favorit versiku. Dan tidak sendiri, berdua dengan
temanku. Tapi sekarang aku akan ke Lombok. Dari rumah ku di Cilacap itu berarti
harus melintasi pulau bahkan zona waktu berbeda. Mungkin jaraknya dua kali
lipat dibanding waktu aku ke Jember. Tapi yang perlu disiapkan lebih dari dua
kali lipat. Terutama mental.
Untuk ke Lombok kali ini aku
menempuh perjalanan via darat dan udara. Daratnya, dari Cilacap ke Jakarta.
Udaranya, dari Jakarta ke Lombok. Sebenarnya kalau mau lebih dekat bisa
berangkat dari Jogja. Tapi kan aku dapat tiketnya gratis. Ya sudah, terima
saja.
Jumat sore aku menuju Jakarta
dengan kereta Kutojaya Utara dari stasiun Kroya sampai stasiun Pasar Senin.
Berangkat pukul 18.45 dan sampai Pasar Senen pukul 00.41 dini hari. Padahal
penerbanganku pukul 09.00. Itu artinya masih ada waktu lebih dari delapan jam setelah
sampai stasiun Pasar Senen sebelum pesawat lepas landas.
Di stasiun Kroya sempat ketemu
dulu sama Mba Pu, sahabatku dari jaman kuliah yang sekarang kerja di KAI. Dan sekaligus
jadi travel consultan pribadinya aku.
Ya, semenjak Mba Pu kerja di KAI aku sering minta wejangan-wejangan perjalanan
terutama yang pakai kereta. Selain itu juga Mba Pu dengan senang hati minjemin
aku kameranya. Uuuu, makasih Mba Pu.
Selfie sebelum berangkat sama Mba Pu dan kameranya |
Kutojaya Utara malam ini ramai. Semua
tempat duduk di gerbongku terisi penuh. Ini memang kereta ekonomi tapi
fasilitas sudah bagus. Bersih, ber-AC, tidak ada pedagang asongan lagi, ada free charger juga. Kamar mandi walaupun
kadang masih pesing tapi sudah ada sabun cuci tangan dan tisu. Keseluruhan nyaman
pokoknya.
Sampai di stasiun Pasar Senen aku
pikir bisa duduk-duduk dalam stasiun. Karena aku tahu dalam stasiun pasti aman
untuk bermalam. Tapi ternyata semua penumpang diwajibkan keluar dari stasiun.
Tidak ada satu pun yang menunggu di dalam stasiun, bahkan bangku untuk duduk di
jalur kedatangan kereta pun tidak ada.
Dengan langkah gontai dan was-was
aku keluar dari stasiun. Sesuai prediksi kami penumpang yang baru datang
langsung diserbu tukang ojek dan taksi yang menawarkan jasanya. Setiap kali
ditawari aku langsung memalingkan muka, sambil mencari tempat duduk yang
nyaman. Ternyata di luar stasiun pun tidak ada tempat duduk. Tapi aku melihat
banyak orang-orang yang tiduran di depan emperan kios yang tutup. Aku tidak sendiri, pikirku.
Tapi ini Jakarta, kamu
ramai-ramai dengan temanmu pun belum tentu aman apalagi sendiri. Dini hari,
perempuan pula. Seorang tukang ojek terus membuntutiku. Lebih tepatnya memaksa.
Aku sudah bilang, “Tidak, ada yang jemput.” Tetap saja terus dipepet. Ya,
namanya juga Jakarta. Apalagi tukang ojek pangkalan sekarang harus bersaing
dengan tukang ojek online.
Akhirnya aku membaca plang
toilet. Aku masuk saja kesitu. Si tukang ojek memang berhenti membuntutiku tapi
sampai di pintu toilet. “Danggg,” toilet tutup dan baru dibuka jam 04.00. Oke,
itu berarti aku harus menunggu di luar toilet dan siap-siap dikejar-kejar
tukang ojek lagi. Tukang ojek tadi sudah tidak ada. Toilet ini agak jauh dari
pintu kedatangan penumpang. Jadi hampir tidak ada tukang ojek yang mencari
penumpang.
Aku putuskan duduk di depan
toilet. Ada beberapa penumpang yang juga duduk-duduk depan toilet. Entah
menunggu jemputan atau menunggu pagi untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.
Kalau disuruh ngasih penilaian baik atau tidak bermalam di stasiun Pasar Senen,
aku tidak bisa menjamin. Ramai sih, banyak juga yang tiduran di depan ruko.
Tapi harus tetap waspada karena banyak orang asing berkeliaran. Aku sama sekali
tidak tidur.
Keadaan di depan toilet Stasiun Pasar Senen, banyak yang glosoran :) |
Terus ngapain dong kalau ngga
tidur? Setiap perjalanan aku selalu membawa buku bacaan. Aku selalu
meminimalisir menggunakan handphone atau
gadget lain untuk menghabiskan waktu.
Kenapa? Karena kita harus berhemat baterai, tidak semua tempat umum punya
fasilitas box free charger. Nanti
kalau kita harus menghubungi orang lain tapi handphone mati karena baterai habis malahan jadi bingung sendiri.
Kedua, ini demi keamanan. Handphone
yang bolak balik dilihat atau sering dipegang dapat memicu penjambretan.
Ketiga, emang gayaku sih kalau pergi jauh pasti bawa buku.
Waktu sudah menunjukkan 02.37,
aku baru membuka handphoneku untuk
order ojek online. Banyak sih tukang
ojek yang dari tadi sliwar-sliwer di depanku. Tapi males debat tarif dan agak
takut juga ini masih pagi, jalanan pasti sepi. Kalau aku kenapa-napa sama ojek online kan komplainnya bisa jelas
kemana. Aku ketik tujuanku ke bandara Soekarno Hatta, tapi tidak bisa karena
terkena limit maksimal jarak yang ditempuh. Jadi ojek online itu hanya menerima order sampai 25 kilometer. Lebih dari itu
tidak bisa. Ya sudah, opsi kedua aku harus menuju stasiun Gambir yang nantinya
ke bandara diteruskan naik Damri.
Tidak sampai lima menit sudah ada
nomor telepon asing masuk ke handphoneku,
yang ternyata driver ojek. Aku pun
langsung keluar stasiun, disuruh drivernya
agak jalan menjauh dari pintu keluar biar aman katanya. Aku ikuti saja
perintahnya, takut juga kalau driver ojekku
bentrok sama tukang ojek pangkalan. Driver
ojek yang mengantarku orangnya ramah, mau diajak ngobrol. Dia juga menjelaskan
kalau mau ke bandara naik ojek terus harus order
dua kali. Karena jarak stasiun Pasar Senen ke bandara 26 kilometer, nanggung
banget ya. Tapi sama driver ojek itu
aku dibilangin, “Udah mba naik Damri aja. Lebih aman dan nyaman kalau masih
gelap begini.” Iya juga sih.
Sampai di stasiun Gambir langsung
naik bus, loket tiket belum buka karena masih pagi. Bayar tiketnya langsung
diatas sama kernetnya. Waktu aku naik, bus sudah hampir jalan karena penumpang
juga sudah hampir penuh. Sepagi ini jalanan Jakarta masih sepi, dari stasiun
Gambir ke bandara tidak lebih dari satu jam.
Di Bandara Soekarno Hatta aku
turun di terminal 1A. Iya, aku naik ituloh maskapai yang katanya paling murah.
Sampai terminal 1A sudah ramai orang mengantri di loket pemberangkatan, sepagi
ini. Berbeda dengan stasiun, di bandara banyak tempat duduk. Ada beberapa
penumpang yang terlihat sedang tidur di bangku, sepertinya mereka calon
penumpang yang memilih menginap di bandara.
Aku duduk di bangku yang kosong. Niatnya
mau meluruskan kaki karena bangkunya panjang. Tapi selang tidak berapa lama ada
laki-laki yang duduk di sampingku. Ganteng sih, tapi... . Dia mengeluarkan
kotak dari sakunya. Aku pikir handphone, ternyata
bungkus rokok. Langsung illfeel
seketika. Sekitar dua menitan napasku terasa berat karena asap rokoknya. Untungnya
ada security lewat dan menyuruhnya
mematikan. Oh, terima kasih Pak, kau menyelamatkan hidupku. Di tungguin loh
sama Pak Security sampai rokoknya
mati.
Sampai adzan subuh berkumandang,
aku baru beranjak dari bangku. Mencari toilet dan untungnya toilet di bandara
buka 24 jam, tidak seperti di stasiun. Bahkan petugas toilet selalu siap siaga
membersihkan toilet dan menjaga barang bawaan penumpang. Jadi di toilet bandara
ada box khusus untuk menaruh tas dan petugas toilet itu siap menjaga. Malahan waktu
aku masuk dengan tas ransel yang lumayan gede, si mba langsung nawarin buat
meletakkannya di box.
Waktu subuh tidak lama, setelah
selesai urusan di toilet aku keluar mencari mushola. Sempat tanya ke petugas
bandara letak mushola. Dan dijawab dengan sangat juteknya, cuma bibir yang
mengsol ke kiri dan matanya melirik ke arah mushola saja jawabannya. Sabar.
Di mushola sudah sepi, paling
hanya lima orang saja yang sedang sholat. Bahkan selesai sholat tinggal aku dan
seorang ibu yang ada di situ. Udah gitu musholanya nyaman banget, karpetnya
alus. Karena semalaman mata ini cuma tidur-tidur ayam alias ngga pules. Jadilah
aku ngliyep sebentar. Ada larangan dilarang tidur sih, maap ya. Beneran deh cuma
sebentar.
Masih ada waktu kurang lebih tiga
jam sebelum pesawat lepas landas. Dan aku menghabiskan sisa waktu dibawah
colokan. Yang bisa aku pastikan ini colokan satu-satunya di terminal 1A,
sebelum masuk buat check in. Kalau sudah check in nyari colokan sih gampang. Di
dalam sudah ada box free charger. Tapi
kalau di luar susah nyarinya.
Ini colokan satu-satunya di depan terminal 1A. |
Waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB.
Setelah lama menunggu akhirnya mba-mba diujung toa manggil penumpang untuk
segera ke pesawat. Sampai di Lombok pukul 12.00 WITA. Mau histeris tapi
sendirian. Kalau jingkrak-jingkrak sendirian nanti malu-maluin. Finally
LOMBOK!!!
Pesawat yang membawaku ke Lombok. |
Kalian yang baca ini mungkin
merasa jijik. Maafkan aku. Tapi setiap kita pasti akan punya rasa bangganya
sendiri kalau baru pertama melakukan sesuatu, dan berhasil. Mungkin suatu saat
nanti kalau aku sudah keliling dunia baca tulisan ini bakalan jijik juga. Tapi
tulisan ini harus ada sebagai bentuk proses pendewasaan perjalanan hidupku
keliling dunia. Ehem, bahasanya.
So, nantikan ceritaku di Lombok
dalam postingan berikutnya ya...
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar