Monday, December 7, 2015

Perjalanan Dari Cilacap Ke Lombok



“Mau ngapain kamu kesana jauh-jauh sendirian?”
“Jalan-jalan, Beh,” aku tahu jawabanku memperburuk suasana. Bahkan kemungkinan mendapatkan ijin dari Babeh tinggal 10% saja. “Tiket dan hotel ditanggung kok, udah dibeliin malahan.”
“Iya kalau itu bener. Kalau kamu diboongi orang gimana?”
“Itu resmi kok, Beh. Udah aku cek. Itu asli,” aku memang sudah mengecek kebenaran hadiah liburan itu ke teman kost ku yang sekarang bekerja di Kementrian Pariwisata. Tapi namanya orang tua aku sodorkan cuplikan chat ku dengan teman kost ku itu, tetap saja tidak percaya. Aku melirik Mamahku, berharap bantuan.

Sebelumnya aku sudah bilang Mamahku bahwa aku memenangkan lomba menulis dari Kemenpar yang Pesona Tambora ini. Tentu saja Mamah langsung setuju. Dia tidak mau anaknya di rumah saja. Akhirnya Babeh sepakat walau dari raut mukanya masih setengah hati. Aku pun membulatkan tekat dan berjanji tidak akan mengecewakan. Aku di Lombok tidak kenapa-napa dan bisa kembali sampai rumah dengan selamat.

Sejujurnya ini adalah perjalanan terjauh selama ini dalam hidupku. Sebelumnya yang terjauh itu ke Jember. Itupun naik kereta, transportasi favorit versiku. Dan tidak sendiri, berdua dengan temanku. Tapi sekarang aku akan ke Lombok. Dari rumah ku di Cilacap itu berarti harus melintasi pulau bahkan zona waktu berbeda. Mungkin jaraknya dua kali lipat dibanding waktu aku ke Jember. Tapi yang perlu disiapkan lebih dari dua kali lipat. Terutama mental.


Untuk ke Lombok kali ini aku menempuh perjalanan via darat dan udara. Daratnya, dari Cilacap ke Jakarta. Udaranya, dari Jakarta ke Lombok. Sebenarnya kalau mau lebih dekat bisa berangkat dari Jogja. Tapi kan aku dapat tiketnya gratis. Ya sudah, terima saja.

Jumat sore aku menuju Jakarta dengan kereta Kutojaya Utara dari stasiun Kroya sampai stasiun Pasar Senin. Berangkat pukul 18.45 dan sampai Pasar Senen pukul 00.41 dini hari. Padahal penerbanganku pukul 09.00. Itu artinya masih ada waktu lebih dari delapan jam setelah sampai stasiun Pasar Senen sebelum pesawat lepas landas.

Di stasiun Kroya sempat ketemu dulu sama Mba Pu, sahabatku dari jaman kuliah yang sekarang kerja di KAI. Dan sekaligus jadi travel consultan pribadinya aku. Ya, semenjak Mba Pu kerja di KAI aku sering minta wejangan-wejangan perjalanan terutama yang pakai kereta. Selain itu juga Mba Pu dengan senang hati minjemin aku kameranya. Uuuu, makasih Mba Pu.

Selfie sebelum berangkat sama Mba Pu dan kameranya
Kutojaya Utara malam ini ramai. Semua tempat duduk di gerbongku terisi penuh. Ini memang kereta ekonomi tapi fasilitas sudah bagus. Bersih, ber-AC, tidak ada pedagang asongan lagi, ada free charger juga. Kamar mandi walaupun kadang masih pesing tapi sudah ada sabun cuci tangan dan tisu. Keseluruhan nyaman pokoknya.

Sampai di stasiun Pasar Senen aku pikir bisa duduk-duduk dalam stasiun. Karena aku tahu dalam stasiun pasti aman untuk bermalam. Tapi ternyata semua penumpang diwajibkan keluar dari stasiun. Tidak ada satu pun yang menunggu di dalam stasiun, bahkan bangku untuk duduk di jalur kedatangan kereta pun tidak ada.

Dengan langkah gontai dan was-was aku keluar dari stasiun. Sesuai prediksi kami penumpang yang baru datang langsung diserbu tukang ojek dan taksi yang menawarkan jasanya. Setiap kali ditawari aku langsung memalingkan muka, sambil mencari tempat duduk yang nyaman. Ternyata di luar stasiun pun tidak ada tempat duduk. Tapi aku melihat banyak orang-orang yang tiduran di depan emperan kios yang tutup.  Aku tidak sendiri, pikirku.

Tapi ini Jakarta, kamu ramai-ramai dengan temanmu pun belum tentu aman apalagi sendiri. Dini hari, perempuan pula. Seorang tukang ojek terus membuntutiku. Lebih tepatnya memaksa. Aku sudah bilang, “Tidak, ada yang jemput.” Tetap saja terus dipepet. Ya, namanya juga Jakarta. Apalagi tukang ojek pangkalan sekarang harus bersaing dengan tukang ojek online.

Akhirnya aku membaca plang toilet. Aku masuk saja kesitu. Si tukang ojek memang berhenti membuntutiku tapi sampai di pintu toilet. “Danggg,” toilet tutup dan baru dibuka jam 04.00. Oke, itu berarti aku harus menunggu di luar toilet dan siap-siap dikejar-kejar tukang ojek lagi. Tukang ojek tadi sudah tidak ada. Toilet ini agak jauh dari pintu kedatangan penumpang. Jadi hampir tidak ada tukang ojek yang mencari penumpang.

Aku putuskan duduk di depan toilet. Ada beberapa penumpang yang juga duduk-duduk depan toilet. Entah menunggu jemputan atau menunggu pagi untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Kalau disuruh ngasih penilaian baik atau tidak bermalam di stasiun Pasar Senen, aku tidak bisa menjamin. Ramai sih, banyak juga yang tiduran di depan ruko. Tapi harus tetap waspada karena banyak orang asing berkeliaran. Aku sama sekali tidak tidur.

Keadaan di depan toilet Stasiun Pasar Senen, banyak yang glosoran :)
Terus ngapain dong kalau ngga tidur? Setiap perjalanan aku selalu membawa buku bacaan. Aku selalu meminimalisir menggunakan handphone atau gadget lain untuk menghabiskan waktu. Kenapa? Karena kita harus berhemat baterai, tidak semua tempat umum punya fasilitas box free charger. Nanti kalau kita harus menghubungi orang lain tapi handphone mati karena baterai habis malahan jadi bingung sendiri. Kedua, ini demi keamanan. Handphone yang bolak balik dilihat atau sering dipegang dapat memicu penjambretan. Ketiga, emang gayaku sih kalau pergi jauh pasti bawa buku.

Waktu sudah menunjukkan 02.37, aku baru membuka handphoneku untuk order ojek online. Banyak sih tukang ojek yang dari tadi sliwar-sliwer di depanku. Tapi males debat tarif dan agak takut juga ini masih pagi, jalanan pasti sepi. Kalau aku kenapa-napa sama ojek online kan komplainnya bisa jelas kemana. Aku ketik tujuanku ke bandara Soekarno Hatta, tapi tidak bisa karena terkena limit maksimal jarak yang ditempuh. Jadi ojek online itu hanya menerima order sampai 25 kilometer. Lebih dari itu tidak bisa. Ya sudah, opsi kedua aku harus menuju stasiun Gambir yang nantinya ke bandara diteruskan naik Damri.

Tidak sampai lima menit sudah ada nomor telepon asing masuk ke handphoneku, yang ternyata driver ojek. Aku pun langsung keluar stasiun, disuruh drivernya agak jalan menjauh dari pintu keluar biar aman katanya. Aku ikuti saja perintahnya, takut juga kalau driver ojekku bentrok sama tukang ojek pangkalan. Driver ojek yang mengantarku orangnya ramah, mau diajak ngobrol. Dia juga menjelaskan kalau mau ke bandara naik ojek terus harus order dua kali. Karena jarak stasiun Pasar Senen ke bandara 26 kilometer, nanggung banget ya. Tapi sama driver ojek itu aku dibilangin, “Udah mba naik Damri aja. Lebih aman dan nyaman kalau masih gelap begini.” Iya juga sih.

Sampai di stasiun Gambir langsung naik bus, loket tiket belum buka karena masih pagi. Bayar tiketnya langsung diatas sama kernetnya. Waktu aku naik, bus sudah hampir jalan karena penumpang juga sudah hampir penuh. Sepagi ini jalanan Jakarta masih sepi, dari stasiun Gambir ke bandara tidak lebih dari satu jam.

Di Bandara Soekarno Hatta aku turun di terminal 1A. Iya, aku naik ituloh maskapai yang katanya paling murah. Sampai terminal 1A sudah ramai orang mengantri di loket pemberangkatan, sepagi ini. Berbeda dengan stasiun, di bandara banyak tempat duduk. Ada beberapa penumpang yang terlihat sedang tidur di bangku, sepertinya mereka calon penumpang yang memilih menginap di bandara.

Aku duduk di bangku yang kosong. Niatnya mau meluruskan kaki karena bangkunya panjang. Tapi selang tidak berapa lama ada laki-laki yang duduk di sampingku. Ganteng sih, tapi... . Dia mengeluarkan kotak dari sakunya. Aku pikir handphone, ternyata bungkus rokok. Langsung illfeel seketika. Sekitar dua menitan napasku terasa berat karena asap rokoknya. Untungnya ada security lewat dan menyuruhnya mematikan. Oh, terima kasih Pak, kau menyelamatkan hidupku. Di tungguin loh sama Pak Security sampai rokoknya mati.

Sampai adzan subuh berkumandang, aku baru beranjak dari bangku. Mencari toilet dan untungnya toilet di bandara buka 24 jam, tidak seperti di stasiun. Bahkan petugas toilet selalu siap siaga membersihkan toilet dan menjaga barang bawaan penumpang. Jadi di toilet bandara ada box khusus untuk menaruh tas dan petugas toilet itu siap menjaga. Malahan waktu aku masuk dengan tas ransel yang lumayan gede, si mba langsung nawarin buat meletakkannya di box.

Waktu subuh tidak lama, setelah selesai urusan di toilet aku keluar mencari mushola. Sempat tanya ke petugas bandara letak mushola. Dan dijawab dengan sangat juteknya, cuma bibir yang mengsol ke kiri dan matanya melirik ke arah mushola saja jawabannya. Sabar.

Di mushola sudah sepi, paling hanya lima orang saja yang sedang sholat. Bahkan selesai sholat tinggal aku dan seorang ibu yang ada di situ. Udah gitu musholanya nyaman banget, karpetnya alus. Karena semalaman mata ini cuma tidur-tidur ayam alias ngga pules. Jadilah aku ngliyep sebentar. Ada larangan dilarang tidur sih, maap ya. Beneran deh cuma sebentar.

Masih ada waktu kurang lebih tiga jam sebelum pesawat lepas landas. Dan aku menghabiskan sisa waktu dibawah colokan. Yang bisa aku pastikan ini colokan satu-satunya di terminal 1A, sebelum masuk buat check in. Kalau sudah check in nyari colokan sih gampang. Di dalam sudah ada box free charger. Tapi kalau di luar susah nyarinya.

Ini colokan satu-satunya di depan terminal 1A.
Waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB. Setelah lama menunggu akhirnya mba-mba diujung toa manggil penumpang untuk segera ke pesawat. Sampai di Lombok pukul 12.00 WITA. Mau histeris tapi sendirian. Kalau jingkrak-jingkrak sendirian nanti malu-maluin. Finally LOMBOK!!! 

Pesawat yang membawaku ke Lombok.
Kalian yang baca ini mungkin merasa jijik. Maafkan aku. Tapi setiap kita pasti akan punya rasa bangganya sendiri kalau baru pertama melakukan sesuatu, dan berhasil. Mungkin suatu saat nanti kalau aku sudah keliling dunia baca tulisan ini bakalan jijik juga. Tapi tulisan ini harus ada sebagai bentuk proses pendewasaan perjalanan hidupku keliling dunia. Ehem, bahasanya.

So, nantikan ceritaku di Lombok dalam postingan berikutnya ya...

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts