Kita tidak akan pernah tahu hidup
kita di masa yang akan datang seperti apa. Ya, hidup ini memang benar-benar
misteri. Bahkan satu detik lagi kita juga tidak akan pernah tahu. Apakah masih
bernapas atau tidak? Atau satu detik lagi malahan kamu baru merasa benar-benar
hidup. Ya, terkadang manusia sudah bernapas, jantungnya pun berdetak. Tapi
hidup yang sesungguhnya tidak dia miliki. Merasa terkekang dan jauh dari
kemerdekaan.
Dan kemarin aku baru merasakan
hidup itu. Hidup yang bebas. Bebas seperti apa? Memang setiap orang punya
definisi hidup berbeda-beda. Ada yang penting asal bisa makan. Punya banyak
uang. ibadah yang rajin. Punya orang-orang yang mencintai. Atau ya udah deh,
asal napas.
Buatku hidup yang bebas itu melakukan
sesuatu yang tidak seperti biasa. Semacam menembus batas. Kita tahu sendiri
bagaimana batas kemampuan diri kita sendiri. Saat itu seperti bendungan yang
jebol, ada semacam rasa lega dan bangga. Ternyata kita bisa menembus batas itu.
Apalagi yang dijebol adalah rasa ketakutan dan kekhawatiran.
Satu tahun yang lalu hidupku
penuh dengan kebimbangan, was-was, sampai otak dan hati selalu dijejali rasa
panas. Intrik sana-sini, adu domba, kesalahpahaman selalu terdengar setiap
hari. Pada akhirnya keterpurukan itu menghampiriku juga. Satu tahun lalu aku
tidak tahu harus bagaimana. Sampai terlalu lama tidak tahu harus bagaimana. Sehingga
membuatku berkubang dalam kekecewaan. Kecewa takut dikecewakan kembali.
Tapi Tuhan memang pandai merajut
cerita. Di tengah keputus asaan itu tiba-tiba suatu malam, yang tidak ada badai
ataupun petir, tubuhku merasa tersambar. Aku seperti ditarik ke dunia lain. Dunia
yang tidak pernah aku bayangkan akan berjalan sejauh ini. Aku pikir sisa
hidupku hanya akan habis di ruang berukuran 2x3 ini. Ruang yang justru menjadi
permulaan perjalanan ini.
Malam itu, sama seperti malam
biasa. Waktuku habis membaca ocehan orang-orang di twitter. Sampai aku membaca
ada lomba menulis tentang #PesonaTambora. Jujur, saat itu aku tidak tahu
Tambora itu apa? Makanan kah? Pakaian? Nama orang? Atau apa? Iseng aku cari
tahu tentang Tambora. Antara penasaran tapi juga setengah cuek. Cuek karena
sama sekali aku tidak berniat mengikuti lomba itu. Dan akhirnya tulisan itu pun jadi. Aku mengirimkan tulisanku dipenghujung waktu.
Satu menit berlalu, biasa saja. Lima
menit berlalu, aku mencoba mencari tahu apa yang dilakukan peserta lain. Setengah
jam berlalu, mata mulai mengantuk. Satu jam berlalu, siap-siap mematikan laptop.
Eits, tunggu sebentar. Ini kenapa notifikasi twitter tiba-tiba ramai. Entah ada
badai apa malam itu. Mataku yang tadinya tinggal merem, tiba-tiba membulat
lebar. Pipi memanas, detak jantungku pun semakin cepat. Bahkan mungkin
jantungku berdetak disekujur tubuh ini.
Finally, I'm a winner |
Iya itu aku. Tulisanku yang
biasanya tidak pernah dibaca orang lain, bahkan temanku sendiri bilang
tulisanku tidak bagus. Hanya butuh waktu satu jam saja sudah ribuan orang yang
membacanya. Aku seperti merasa dalam satu gedung yang semua orang asik
mengobrol dengan teman-teman mereka. Dan tidak peduli aku bergaunkan emas
sekalipun. Tapi tiba-tiba aku ledakkan bom itu dan semua terhenti menatapku. Hanya
aku.
Hadiah dari lomba itu sangat luar
biasa buatku. Bagaimana tidak, aku yang hanya hidup di kotak 2x3 ini bisa dapat
tiket PP Jakarta-Lombok-Jakarta beserta hotelnya 2 malam. Kelopak mataku
bergetar, seolah-olah akan ada sungai yang akan mengalir di dalamnya. Dalam hatiku
berteriak, “Aku harus ambil itu hadiah, bagaimana pun caranya.”
Satu hal yang membuat hatiku
gamang, tentunya soal uang saku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan
untuk mendapatkan uang saku itu ditengah statusku yang pengangguran. Bukankah banyak
jalan menuju Roma. Itu berarti banyak jalan juga menuju Lombok. Sedikit demi
sedikit, pelan tapi pasti. Akhirnya uang itu ada juga.
Tanggal keberangkatan boleh
memilih sendiri. Itu artinya aku punya cukup waktu untuk persiapan. Awalnya aku
ingin 13 Oktober ada di Lombok. Kenapa tanggal itu? Karena tanggal itu spesial
untukku. Aku ingin menghadiahi diriku sendiri. Untuk 26 tahun hidup yang sudah
aku lalui. Tapi meleset dari perkiraan. Pilih tanggal lain, 13 November deh
biar anniversary satu bulan. Tapi terhambat karena meletusnya Gunung Barujari
Anak Gunung Rinjani.
Akhirnya aku memutuskan 28
November 2015 sebagai hari baik menuju Lombok. Tanggal itu aku tentukan justru
karena tidak ada apa-apa. Itenary sudah tersusun, dari budget sampai mana saja
yang harus dikunjungi. Tapi tetap saja ada yang meleset dari perkiraan. Lagi-lagi
Tuhan memang sang pembuat cerita yang ulung. Kalau tulisanku sejauh ini hanya
bisa membawaku ke Lombok. Tuhan bisa membuatnya lebih dari perkiraanku.
Tiga hari dua malam berada di
Lombok ada banyak sekali cerita. Yang pasti terima kasih Tuhan sudah memberikan
cerita ini padaku. Aku tidak akan bisa berjalan sejauh ini tanpaMu. Aku masih
berharap bisa kembali lagi ke tanah suku Sasak itu. Tanah yang aku tancapkan
rindu sedalam lautannya yang biru. Sampai jumpa Lombok, aku pasti kembali
untukmu.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar