Tuesday, January 17, 2017

Life Goals Saya Menjadi Petani



Beberapa hari yang lalu saya menyaksikan tayangan NET Jateng tentang sosok yang menginspirasi di daerah Jawa Tengah. Kalau tidak salah nama programnya Sambang Sedulur. NET Jateng ini hanya mengudara di sekitar Jawa Tengah. Jadi yang di luar Jawa Tengah hanya bisa melihatya di youtube.
Di acara tersebut menayangkan profil petani muda yang sukses dengan usaha perkebunannya. Saya lupa nama petani tersebut dan di daerah mana perkebunan tersebut berada. Karena saya menyaksikannya tidak dari awal. Hanya sedang menggonta-ganti chanel dan melihat tayangan tersebut.

Yang menarik untuk saya adalah ulasan profesi petani yang sukses itu. Dan di akhir segmen, pembawa acara juga memberikan info penurunan jumlah petani di Jawa Tengah. Terutama petani muda usia produktif. Hal tersebut dikarenakan bidang pertanian yang dinilai kurang menjanjikan untuk masa depan.

Ironis.


Lebih ironis lagi karena bidang pertanian ini menarik untuk saya. Bidang yang dianggap biasa saja atau pun rendah di mata orang kebanyakan. Saya sama seperti kalian yang tidak terpikirkan akan menggantungkan masa depan menjadi petani. Orang tua saya pun sama seperti orang tua pada umumnya, yang standar kesuksesan anaknya adalah menjadi pegawai dengan tampilan mentereng.

Lalu, mengapa bidang pertanian menarik untuk saya? Atau hanya emosi sesaat?

Ketenangan Batin

Sebenarnya profesi apapun pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Ada masa bosan, menyenangkan, menjengkelkan, melelahkan, dan segala macam rasa yang ada di dunia ini. Tapi setiap orang punya caranya sendiri dalam bekerja. Ada yang suka grasa-grusu terasa semuanya terburu-buru. Ada yang santai serasa seperti di pantai. Ada yang banting tulang tidak mengenal waktu. Pun, ada yang tinggal leyeh-leyeh terima uang.

Saya pernah mendiskusikan tentang ini dengan teman saya yang ingin beralih profesi dari seorang akuntan menjadi petani. Bagi kami berdua bekerja sebagai petani ini adalah life goals. Ketika anak muda lain tolok ukur suksesnya hidup leha-leha bergelimpangan harta. Atau mengejar karir sebagai pegawai kantoran. Kami justru ingin hidup tenang sebagai petani.

Saya tidak tahu rasanya hidup leha-leha bergelimpangan harta karena memang belum pernah. Tapi menjadi pekerja kantoran sudah pernah saya alami sekitar 2 tahunan. Rasanya, waktu berjalan begitu cepat tapi tidak merasakan arti waktu yang sudah terlewati. Baru tadi pagi berangkat kerja, ini sudah mau berangkat kerja lagi. Hidup seperti robot, semuanya tergantung kendali. Ya, kalau yang mengendalikan waras.

Tidak jarang atasan yang suka menyuruh seenak udel. Yang paling berat adalah harus mengakali laporan. Bekerja normal saja sudah melelahkan, ini harus ditambah mengarang bebas. Ini bukan tindak korupsi, memang sesuatu yang wajar dilakukan. Ada beberapa peraturan yang justru memang sengaja dibuat untuk memberi celah. Namanya juga sistem manusia, jauh lah dari sempurna.

Bagaimana dengan petani?

Lelah fisik sudah pasti tapi batin pasti bisa dikendali. Apa kalian pernah mendengar kabar seorang petani memanipulasi gabah? Petani bersaing dengan hasil panen yang nyata. Bukan mengada-ngada membuat gabah bohongan. Tidak ada yang menuntut petani harus panen sekarang. Semua kehendak panggilan alam. Kalau alam berkata nanti, pasti ada rejekinya sendiri.

Tidak ada petani yang menimbun dosa berkarung-karung agar statusnya diakui, pekerjaannya terselamatkan, dan dapat promosi jabatan. 

Ekonomi

Ada yang bilang uang bukan segala-galanya, tapi segala-galanya butuh uang. Banyak orang berpikir kalau bekerja ya harus dapat uang. Tingkat kesuksesan pekerjaan tergantung dari uang yang didapat. Matre. Hai, itu wajar. Matrealistis adalah paham terbesar kedua di dunia yang paling banyak pengikutnya.

Lalu, benarkah pertanian bukan pekerjaan yang menjanjikan?

Saya tidak bisa bilang iya atau tidak secara pasti. Karena segala sesuatu yang tolok ukurnya dinilai dari uang, hanya akan mengikuti napsu belaka bukan kedamaian hati. Rejeki dan uang itu berbeda jauh. Orang bisa saja punya banyak uang, tapi bukan rejekinya, hidupnya tetap sengsara. Berbeda dengan orang yang punya banyak rejeki. Mau tidak punya uang sekali pun, hidupnya tetap aman dan nyaman.

Dan petani bisa memiliki keduanya, rejeki sekaligus uang. Coba kalian lihat tayangan di NET Jateng itu. Omset petani bisa sampai puluhan juta. Itu bukan khayalan, tapi memang kenyataan. Kuncinya kerja keras, kreatif, dan terus berinovasi.

Sekarang juga mulai bermunculan agrowisata atau pengolahan lahan multifungsi. Bukan tidak mungkin sawah-sawah itu menjadi lumbung uang. Asal tahu bagaimana cara mengolahnya dan tidak tergoda untuk menjual lahannya itu.

Petani itu profesi yang paling tahan menghadapi krisis ekonomi. Perusahaan bisnis apa pun bisa saja bangkrut kapan pun. Tapi petani akan tetap terus bisa bertahan hidup karena yang mereka andalkan adalah alam. Tidak ada nasi, menanam padi. Tidak ada sayur, menanam kangkung. Tidak ada lauk, memelihara ayam. Lah, kalau kalian karyawan perusahaan dipecat, mau makan apa?

Gaya Hidup

“Don’t judge the book, just from the cover”

Tapi kenyataannya kita ingin membaca buku yang dilihat covernya dulu, kan? Ini juga salah satu faktor kenapa petani bukan pekerjaan mentereng. Karena penampilan mereka yang kotor, bau keringat, dan nyaris tidak enak dilihat. Tidak hanya penampilan tapi juga rumah atau pun harta benda yang dimiliki.

Padahal.

Mereka punya banyak sekali uang. Mereka bisa menyekolahkan anaknya sampai jenjang yang tertinggi. Mereka hanya tertarik atau tidak mau membeli barang-barang mentereng. Karena hal-hal seperti itu memang tidak begitu perlu.

Jangankan untuk beli barang bermerk. Baju saja akan dipakai terus sampai benar-benar bolong. Bahkan sudah bolong saja masih ditambal. Tapi di luar sana, bahkan mungkin kalian juga iya, kalau meresa tidak punya baju padahal bajunya sudah selemari penuh. Padahal dunia kalian tidak akan kiamat kalau punya baju hanya satu tumpuk.

Hal ini sudah sedikit demi sedikit saya terapkan. Menggunakan baju sampai benar-benar tidak berfungsi. Dan membelinya kalau memang benar-benar butuh. Resiko yang harus saya hadapi paling besar adalah cemoohan. Apalagi dikalangan perempuan kalau ada orang yang pakai baju itu-itu saja, mencemoohnya sudah mengalahkan badai tsunami tornado.

Padahal baju saya sama sekali tidak bolong. Kalau saya bilang, baju ini masih bisa dipakai kok. Predikat norak langsung divoniskan tanpa pengadilan apalagi pengajuan banding.

Dampak Lingkungan

Kalian harus belajar ini dari teman-teman di Bali yang menolak reklamasi atau petani Rembang yang menolak pabrik semen. Tapi saya tidak perlu jauh-jauh ke sana untuk merasakan hal yang sama seperti yang mereka rasakan. Di daerah saya sendiri sudah ada pabrik semen, pabrik minyak, pabrik tepung, dan akan ada 3 PLTU, yang 2 sudah beroperasi.

Sawah yang terdampak akibat pembangunan PLTU
Saya melihat secara langsung dampak buruk pengalihan lahan pertanian yang menjadi industri. Kalau ada yang bilang pembangunan industri bisa meningkatkan ekonomi warga sekitar, ini BOHONG. Waktu membangun pabriknya memang menyerap ribuan tenaga kerja. Setelah pabrik itu selesai dibangun, tenaga kerjanya paling hanya puluhan yang dari warga sekitar.

Padahal kalau lahan pertanian itu dikelola dengan baik, bisa awet seumur hidup sampai anak cucu. Sedangkan pabrik-pabrik itu bisa saja bangkrut atau berhenti beroperasi. Kelihatannya saja diawal begitu menggairahkan. Setelah lima tahun saja berlalu, apa warga sekitar kehidupannya masih terjamin?

Indonesia ini punya kekayaan alam yang melimpah. Kita tidak perlu menjadi seperti bangsa lain yang mewah megah. Menjadi petani yang memenuhi kebutuhan kita sendiri saja, kita sudah bisa untung besar. Kalau kita bersinergi dengan alam, mereka akan memberikan segala-galanya untuk kita. Lebih dari uang yang katanya memberikan segala-galanya.

***

Saya memang tidak bisa menjadi petani. Selain keahlian tidak punya, lahannya pun tidak punya. Mungkin yang saya tulis ini akan menguap seiring berjalannya waktu. Layaknya cita-cita saya waktu kecil yang ingin menjadi anggota Power Puff Girl.

Tapi saya ingin memiliki nilai-nilai kehidupan yang dimiliki petani. Bagaimana mereka hidup sederhana tanpa gengsi. Menghormati alam, bersama bersinergi membangun masa depan. Hidup damai tanpa harus tergila-gila dengan uang. Bahagia yang sederhana, sebahagia melihat padi dari yang hijau sampai menguning.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts