Wednesday, October 5, 2016

Nyala Obor



Nang, sarapan dulu! Sudah Mamak gorengkan mendoan nih,” kata Mamakku dari dapur.
“Iya, Mak!” jawabku sambil buru-buru memasukkan buku pelajaran dan latihan-latihan soal ke dalam tasku.
Hari masih sangat terlalu pagi. Adzan subuh pun belum berkumandang. Pak Kiai jam segini paling juga baru bangun tidur. Sementara Mamakku pasti sudah menyiapkan sarapan untukku. Entah jam berapa Mamak bangun tidur. Yang aku tahu Mamak tidak pernah terlihat mengantuk. Senyumnya selalu mengantarkanku pergi ke sekolah setiap pagi.
“Mak, aku berangkat sekolah dulu,” pamitku sambil mencium tangan Mamak setelah selesai sarapan.
“Iya, Nang. Oia, ini uang buat bayar iuran bulan kemarin. Bilang sama Bu Guru yang bulan ini Mamak bayar minggu depan, ya,” kata Mamak memberikanku amplop putih berisi uang.
“Tidak usah, Mak. Nanti kalau aku menang lomba uangnya buat bayar iuran sekolah sama belikan lampu petromak baru.”
Nang, uangmu biar buat tabungan kamu saja, ya. Mamak masih bisa cari uang untuk bayar sekolah kamu.”
“Tapi, Mak.”
“Ah, sudah sana berangkat nanti kamu telat. Sudah ditunggu sama Lik Darjo.”
“Ya, Mak.”

Setiap berangkat dan pulang sekolah aku selalu diantar Lik Darjo menggunakan perahunya. Aku tinggal di Kampung Laut yang terletak di ujung barat Pulau Nusakambangan. Sebuah pemukiman yang semua rumahnya di atas laut. Rumah kami berbentuk panggung yang pondasinya dari kayu. Tidak jarang bila air laut sedang pasang, rumah kami kebanjiran. Satu-satunya kendaraan di tempat kami hanyalah perahu.
Hampir semua warga di desaku pekerjaannya melaut, mencari ikan, menjual ikan, atau membuat ikan asin. Kecuali Bu Sutinah, guruku waktu kelas 1, 2, dan 3 SD. Satu-satunya sekolah di desaku hanyalah SD tempat Bu Sutinah mengajar. Dan satu-satunya guru hanya Bu Sutinah. Aku yang sekarang sudah kelas 5 SD harus melanjutkan sekolah di SD Induk. Tempatnya jauh dari desaku, butuh dua jam dengan perahu Lik Darjo untuk sampai ke Pelabuhan Sleko. Dan sepuluh menit lagi dengan naik sepeda untuk sampai sekolahan.
Mamakku setiap pagi menjual ikan di pelelangan ikan. Siangnya bekerja di tempat pembuatan ikan asin. Bapakku sudah meninggal dua tahun lalu, karena kapal yang dia tumpangi hanyut tergulung gelombang. Hanya satu hal yang aku ingat dari Bapak. Yaitu, alasan kenapa dia memberiku nama Obor. Setiap kali Bapak menyalakan obor, dia selalu bilang, “Nang, kalau kamu gede nanti jadilah penerang untuk orang-orang di sekitarmu. Kaya obor ini loh.”
Di desaku tidak ada listrik, lampu, apalagi televisi yang menyala di setiap rumah. Setiap matahari mulai terbenam, cahayanya digantikan petromak, sentir, atau obor. Sesekali bulan purnama menyapa, lumayan. Walau hanya dua atau tiga hari dalam sebulan.
Pagi ini lebih dingin dari biasanya. Suara mesin di belakang perahu Lik Darjo memecahkan keheningan. Air laut begitu tenang pagi ini. Hutan bakau di kiri dan kananku tidak begitu terlihat. Cahaya petromak yang menggantung di bagian depan perahu redup tertiup angin. Tidak hanya aku dan Lik Darjo saja di perahu ini. Ada Mas Bowo dan Mba Laras yang sekarang kelas 6 SD.
Teman-temanku yang lain memilih tidak meneruskan sekolah. Lebih baik mencari uang untuk membantu orang tua. Hasilnya jelas terlihat, daripada sekolah yang belum tentu bisa jadi pintar. Yang ada malahan buang-buang uang untuk beli buku dan seragam. “Yang penting sudah bisa baca tulis,” begitu kata mereka.
Banyak yang bilang aku tidak tahu diri, mau-maunya sekolah. Sementara Mamakku kesusahan mencari uang. Kedua adikku pun masih kecil. Mereka bilang aku anak yang tertua harusnya mencari uang saja. Tidak. Justru itu aku harus sekolah. Supaya ibu tidak kesusahan lagi. Dan supaya desaku terang seperti desa di seberang, tempat aku sekolah sekarang.
Aku bisa melihat cahaya lampu di sekitar pelabuhan begitu benderang. Cahaya yang selalu aku impikan. Badanku semakin dingin ketika perahu Lik Darjo mulai merapat ke pelabuhan. Bukan hanya karena angin pagi ini. Tapi juga karena aku harus memenangkan lomba. Hari ini aku mengikuti Lomba Mata Pelajaran.
“Lik, aku berangkat ya?” pamitku pada Lik Darjo setelah turun dari perahu.
“Eh, Bor. Bentar,” Lik Darjo mengikat tali perahunya di salah satu patok.
“Kenapa, Lik?”
“Kamu mau lomba kan? Cuci muka dulu. Hidungmu itu hitam banyak asap yang menempel.”
“Iya, Lik.”
“Oia, satu lagi ini buat pegangan kamu,” Lik Darjo memasukkan uang ke dalam saku di bajuku. “Kamu harus semangat, jangan mau kalah sama anak kota. Jangan khawatir ketinggalan perahu buat pulang, Lilik bakalan tunggu kamu sampai pulang.”
“Ya, Lik. Matur nuwun,” aku menjabat tangan Lik Darjo dan mencium tangannya tanda pamit.
Kami biasa menitipkan sepeda di warung rames milik Bude Jum yang dekat pelabuhan. Sepagi ini warung rames sudah buka. Pelabuhan sudah ramai seperti biasa. Ada yang baru pulang melaut, ada juga yang baru mau berangkat berlayar. Atau sekedar menyeberang ke Pulau Nusakambangan. Di pelabuhan ini tidak hanya kapal kecil saja yang singgah. Tetapi juga ada kapal tangker yang membawa minyak, batubara, semen, aspal, dan pasir besi.
“Bor, sarapan dulu! Kamu mau lomba kan hari ini?!” teriak Bude Jum dari dalam warung.
Sampun, Bude,” sahutku sambil memakai sepatu. Tidak hanya sepeda, kami pun menitipkan sepatu di warung Bude Jum. Selain karena takut basah, di desaku memakai sepatu adalah hal yang mewah. Akan dikira sombong atau pamer jika dari rumah sudah memakai sepatu.
“Bowo! Laras! Sarapan dulu!”
Sampun, Bude!” sahut Mas Bowo dan Mba Laras bersamaan.
“Ya, sudah. Ini Bude bungkusin rames buat bekel ya, Bor,” Bude memasukkan bungkusan ke dalam tasku. “Mbok nanti kamu disana sampai sore.”
Matur nuwun, Bude.”
“Bowo sama Laras nanti pulang sekolah tunggu disini saja, kalau Obor belum pulang.”
“Ya, Bude. Kami berangkat dulu,” jawab Mas Bowo. Diikuti aku dan Mba Laras bergantian menyalami Bude Jum.
“Ya, ati-ati.”
Dua sepeda jengki melaju beriringan ke sekolah. Melewati jalan rindang penuh pohon mahoni di samping kiri dan kanannya. Jalanan sudah mulai ramai anak-anak lain yang juga mau berangkat sekolah. Ada yang diantar orang tuanya, naik angkot, jalan kaki, dan naik sepeda. Andai aku sama seperti mereka, tidak perlu bangun lebih awal agar tidak ketinggalan perahu. Malamnya pun bisa belajar lebih mudah dengan disinari lampu yang terang.
Tapi hidup ini bukan tempatnya berandai-andai. Keinginan itu harus diwujudkan. Apapun kesulitannya pasti ada jalan. Entah sekarang atau kapan, yakin pasti impian itu bisa didapatkan.  Aku meyakini ini adalah titik awal untuk masa depan. Tidak hanya untukku tapi juga orang sekampung halaman.
Di halaman sekolah, ramai teman-temanku sedang mengerubungi sebuah mobil hitam mengkilap. Petugas dari UPT Disdikpora menjemputku dengan mobil itu. Ini pertama kalinya aku naik mobil. Lututku dingin membayangkan rasanya naik mobil. Di desaku mana ada yang punya mobil. Bisa naik sepeda saja penuh perjuangan.
Tidak hanya temanku saja yang berkerumun di halaman sekolah. Semua guru, bahkan masyarakat sekitar sekolahanku pun ikut berkerumun. Mau bagaimana lagi SD-ku ini juga bukan di kota. Desa tepi pantai yang penduduknya pun banyak yang hidup jauh dari kemewahan. Kalaupun ada yang punya mobil itu paling hanya satu dua orang saja. Itupun mobil bak untuk mengangkut ikan.
“Bor, semangat ya. Kami semua mendukungmu. Nanti Pak Rusli yang akan mengantar. Menjawabnya harus yakin. Tidak perlu minder dengan anak kota. Kamu tetap yang paling hebat di mata bapak,” Pak Kepala Sekolah menasehatiku sebelum berangkat.
“Ya, Pak,” aku menyalami Pak Kepala Sekolah dan yang lainnya sebelum berangkat.
Di mobil sudah ada tiga anak dari SD lain. Mereka sama denganku, mewakili kecamatan di Lomba Mata Pelajaran tingkat kabupaten. Semua orang melambaikan tangannya kepadaku. Saat mobil yang aku naiki mulai meninggalkan halaman sekolah.
Gedung tempat lomba dilaksanakan sebenarnya tidak begitu jauh dari sekolahku. Hanya setengah jam saja sudah sampai. Tapi perutku terasa mual, seperti naik perahu yang diterjang gelombang tinggi. Ditambah orang-orang yang hilir mudik di depanku.
Pak Rusli membawa kami ke tempat duduk di samping gedung, “Kalian tunggu disini, saya mendaftarkan kalian dulu.”
“Kamu Obor yang dari Kampung Laut itu kan?” tanya anak perempuan di sampingku.
“Iya, kenapa kamu bisa tau?”
“Bu Guruku yang bilang. Katanya, ada anak dari Kampung Laut jago IPA. Setiap hari harus naik perahu berjam-jam buat ke sekolah. Kalau malam harus belajar tanpa pakai lampu. Kamu saja bisa pintar, aku juga harus bisa seperti kamu. Tenang saja aku bukan saingan kamu. Aku jagonya Bahasa Indonesia,” terangnya panjang lebar.
Kepalaku masih terasa berat mendengarnya, akibat perutku yang mual. Tapi penjelasannya itu membuatku semangat lagi untuk memenangkan lomba. Dia saja bisa semangat karena tahu perjuanganku. Aku pun juga harus semangat. Ada Mamak yang sudah berjuang demi menyekolahkanku. Ada desaku yang suatu hari harus terang seperti namaku.
“Ayo kalian masuk ke ruangan. Ini babak penyisihan dulu. Kalian santai saja, tenang, yang penting yakin menjawabnya. Bapak tunggu di luar,” Pak Rusli mengantarkan kami ke ruangan tempat babak penyisihan berlangsung. Setiap mata pelajaran ruangannya berbeda-beda. “Bor, ini ruanganmu. Mau minum dulu? Atau ke kamar kecil dulu? Masih ada waktu 10 menit lagi.”
“Iya, Pak,” aku pamit ke kamar kecil. Mencuci muka, jangan sampai orang-orang tahu hidungku hitam. Air yang membasuh mukaku terasa segar, menambah semangatku.
Di dalam ruangan aku duduk sendiri di satu meja. Semua orang terasa asing untukku. Untungnya soal yang ada di tanganku tidak asing lagi. Aku sudah membaca jenis soal seperti ini berkali-kali. Semua terasa ringan dalam genggamanku.
Tak terasa babak penyisihan selesai dengan cepatnya. Semua orang mengerumuni papan pengumuman yang menunjukkan hasil dari babak penyisihan. Badanku terasa semakin ringan, begitu Pak Rusli bilang aku lolos ke babak berikutnya. Anak perempuan yang tadi bersamaku pun lolos. Dua anak lainnya yang juga wakil dari kecamatanku tidak lolos.
Perlahan tapi pasti, babak demi babak aku lalui. Tiba saatnya pada babak final. Semua pesaingku anak kota. Dari sekolah favorit dan pasti dari keluarga yang berada. Baju mereka lebih putih dari bajuku yang sering terkena asap petromak. Pendukung mereka pun begitu banyak. Riuh terikannya menggema di telingaku. Pendukungku hanya Pak Rusli, anak perempuan tadi dan dua anak lainnya. Sayang sekali anak perempuan itu harus tumbang di babak semi final.
Teriakan itu dua kali lipat dari sebelumnya. Ditambah lagi semua orang dalam gedung ini mengerubungiku yang sedang memegang piala juara 1. Banyak dari mereka yang penasaran. Anak dari Kampung Laut yang daerahnya begitu terpencil, bisa memenangkan lomba ini. Ucapan demi ucapan aku terima. Pak Rusli menangis memelukku. Berkali-kali dia mengantarkan anak lomba. Baru kali ini ada yang juara.
“Obor, obor, minta waktunya sebentar ya, Nak. Foto dulu boleh?” seorang wartawan memintaku berpose memegang piala. “Siap ya, satu, duaaa, tii...ga.”
***
“Jepret, jepret, jepret,” suara kamera itu sudah mulai terbiasa di telingaku. Mereka selalu mengerubungiku setelah selesai perlombaan. Ditambah lagi berbagai pertanyaan yang menanyakan kemenanganku.
“Obor, ini sudah ketiga kalinya anda memenangkan Olimpiade Fisika. Saya dengar anda berasal dari desa yang terpencil, bahkan listrik saja tidak ada. Apa benar begitu?” seorang wartawan wanita berambut pendek dan berkaca mata tebal menanyaiku.
“Iya, saya berasal dari Kampung Laut. Sebuah desa di ujung barat Pulau Nusakambangan, sangat jauh dari kota. Disana tidak ada listrik. Dari kecil saya selalu penasaran. Kenapa di kota begitu terang, di desaku sangat gelap bila malam menjelang? Almarhum bapak saya pernah berpesan, agar saya bisa menerangi orang-orang di sekitar saya. Itu kenapa beliau memberi saya nama Obor. Saya harap dengan apa yang saya peroleh sekarang, bisa membuat desa saya terang benderang.”

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts