Pola hidup semua
orang di dunia sama saja. Semua orang punya masalah, pernah sedih, bisa senang,
dicintai mencintai, bosan, galau, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hanya
saja versi ceritanya berbeda-beda. Tergantung keadaan masing-masing setiap
orang tentunya.
Aku sedang
dilanda kebosanan luar biasa ketika berangkat ke Lombok tanahnya suku Sasak.
Bukan karena kegiatan setiap hari yang begitu-begitu saja. Tapi justru karena
tidak punya kegiatan. Ya, aku pengangguran. Lama menganggur dan berkali-kali
menganggur membuat hidupku membosankan. Bosan mendengar omongan orang, “Kamu
itu sarjana, harusnya di sana?”
Sampai suatu
hari dengan modal iseng belaka, aku mendapatkan tiket ke Lombok PP dan
penginapan dari sebuah perlombaan. Ini bukan lagi lumayan. Untuk seorang
pengangguran bisa jalan-jalan ke Lombok gratis adalah berkah yang tak terkira.
Kalaupun aku tetap bekerja, menabung dari gajiku saja tidak akan bisa pergi ke
sana. Uang cukup pun, pasti tidak dapat cuti kerja.
Hati begitu
bahagia menyiapkan tas ransel dan mencari tahu tempat wisata yang harus
dikunjungi. Tapi itu hanya seketika, langsung gundah gulana begitu orang tua
tidak mengijinkannya. Bagaimana tidak? Anak perempuan satu-satunya mau pergi
keluar pulau Jawa. Sendirian tanpa teman. Ditambah lagi status pengangguran
yang berbulan-bulan tidak berpenghasilan.
Tidak, aku harus
berangkat. Ini kesempatan yang tidak boleh terlewatkan. Sesungguhnya ada
ketakutan terselip di hati yang terdalam. Berangkat tanpa restu orang tua,
bagaimana bila di jalan terjadi bencana? Kantong kempes berbulan-bulan,
bagaimana kalau kehabisan uang? Berjalan sendiri tanpa teman, bagaimana jika
pulang tinggal nama?
Tujuanku menjadi
bertambah. Bukan hanya sekedar jalan-jalan membunuh kebosanan. Tapi juga
pembuktian, bahwa aku tidak seperti yang mereka katakan. Akhirnya aku pun berangkat
ke Lombok dengan bekal banyak pikiran. Tidak perlu kemana-mana, sebenarnya kita
semua juga tidak tahu sedetik lagi seperti apa. Aku harus siap apapun yang akan
terjadi tiba-tiba. Dari semua tempat yang aku kunjungi di Lombok, di Bukit
Merese aku menitikan air mata.
Air mata tidak
percaya, anak pembangkang orang tua bisa berada di tempat seindah ini. Air mata
penuh syukur, seorang pengangguran bisa berjalan jauh dengan modal receh
secuil. Air mata bahagia, karena berhasil mengalahkan ketakutan dalam hati. Air
mata pembawa keyakinan, bahwa aku pasti bisa lebih dari ini. Air mata yang
pasti akan aku rindukan suatu saat nanti.
Sesunguhnya, bukit
ini pun tidak masuk dalam daftar tempat yang harus aku kunjungi. Tapi karena
teman seperjalanan mengajak ke bukit ini. Ya sudah, aku ikuti. Dari rumah
memang aku sendiri, tapi aku sadar diri. Perjalanan ini harus ada yang
menemani. Akhirnya aku bergabung dengan teman-teman backpacker yang menginap di
rumah singgah.
Berdua belas
kami seharian menjelajahi Lombok Tengah. Dari air terjun yang menyejukkan
sampai pantai yang menawan. Aku baru mengenal mereka di hari itu dan memutuskan
berjalan bersama. Saat menginjakkan kaki di Bukit Merese, sebenarnya aku terpisah
dari rombongan. Teman yang lain menuju Batu Payung, aku berdua dengan temanku
berhenti di Tanjung Ann.
Masih terlalu siang, senja belum datang. |
Masih terlalu
siang untuk menikmati senja di Bukit Merese, tujuan akhir menutup hari. Jalanku
begitu lambat menaiki bukit yang tidak begitu tinggi. Seharian berjalan badan
mulai lelah, belum lagi kemarau panjang membuat tanah begitu kering. Angin
menyapu lembut wajahku saat sampai di atas bukit. Yang kadang membuat mata
perih sedikit.
Sepasang kekasih
baru saja selesai foto prewedding. Di
satu-satunya pohon yang dahan dan rantingnya mengering. Mengabadikan moment
sebelum mereka bersanding. Mataku menatap iri merasa kalah saing. Bagaimana
tidak iri, sampai sekarang aku belum punya pendamping. Walau begitu aku tidak
mau ambil pusing. Aku yakin suatu hari nanti akan ada seseorang datang mengisi
hatiku yang tengah kering.
Sendirian, di pohon yang kering. |
Badan yang lelah
ini aku sandarkan pada sebuah batu. Menghadap pada laut lepas menunggu matahari
yang mulai turun. Ombak di bawah bukit terdengar suaranya saling beradu.
Pikiranku melayang mencari jawaban atas segala pertanyaan yang begitu mengusik
hatiku. Kepalaku tertunduk mencari jawaban itu.
Perlahan
matahari mulai terlihat membulat jelas. Yang tadinya begitu terang susah
dipandang. Menjadi kuning kunyit menunjukkan senjanya datang. Lidahku tersekat
tak mampu berucap. Mataku tak ingin berkedip walau hanya sedetik. Saking
terpananya, aku hampir lupa dengan kamera yang dari tadi pagi memenuhi tasku.
Senja dari Bukit Merese. |
Teman-temanku
yang dari Batu Payung mulai datang. Kami bersama menikmati senja sore itu
dengan caranya masing-masing. Mengabadikan moment, bercengkrama dengan yang
lain, atau diam dalam perenungan. Tidak ada yang salah dengan apapun yang
terjadi di hari ini yang mulai petang. Tidak ada yang salah juga, siapapun kita
semua berhak bahagia dengan caranya masing-masing. Walau berbeda tetap duduk bersama, berbagi cerita.
Duduk bersama, berbagi cerita. |
Entah bersyukur
atau apa, aku hanya tidak menyesal dengan apapun yang sudah terjadi di hidupku.
Meski aku sedang duduk di tepian tebing, tapi senja mengajarkanku bahwa ini
bukanlah akhir dari segalanya. Esok masih ada. Mengapa senja begitu indah di
sore hari? Karena dia sudah begitu bersemangat di pagi hari, bekerja keras dan
menghadapi apapun rintangannya di siang hari. Memberi jeda untuk beristirahat di malam hari.
Hari mulai
petang, sudah waktunya langkahku berbalik pulang. Bukan untuk menyerah, tapi
untuk mempersiapkan diri esok pagi. Bila hari esok aku akan kalah lagi, aku sudah tau bagaimana berdamai dengan diri ini. Bukan mencari-cari siapa
yang salah, karena mencari kesalahan hanyalah menambah luka hati. Hati ini
berhak bahagia dengan apapun pilihannya.
Waktunya pulang, menuruni bukit yang gersang. |
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar