Lebaran, rumah Mbah Atmo mulai
ramai dengan anak cucunya yang pulang. Dari sembilan anaknya, tentu yang datang
terlebih dahulu Si Tiga. Selalu dia yang paling semangat untuk pulang.
Statusnya yang menjadi anak laki-laki tertua, mengharuskan dia menjadi garda
paling depan. Merasa bertanggung jawab dengan segala hal yang terjadi.
Yang paling malas Si Tujuh. Entah
apa yang dia lakukan, dari kecil tidak pernah mau ikut berkumpul. Si Pertama
dan Si Kedua, selalu mendahulukan mertua. Ya, namanya juga perempuan.
Hakekatnya nurut suami kan? Si Empat dan Si Enam selalu kompak datang
bersamaan. Menyewa mobil dari kota, kompak dari datang sampai pulang.
Si Tiga dan Delapan pastilah
datang saat hari lebaran. Rumahnya dekat, di desa seberang. Si Lima hanya
datang dalam bentuk bingkisan. Dia jauh di perantauan, sedang dalam masa
penugasan. Rindu memang, tapi mau bagaimana lagi daripada Si Bungsu.
Kau mencari dimana Si Bungsu? Ah,
tentunya dia yang menyiapkan segala tetek bengek yang ada di rumah. Dari urusan
sumur sampai lampu di pinggir jalan. Dia tidak akan punya waktu untuk
menyapamu. Untuk berganti pakaian agar terlihat sedang lebaran saja tidak punya
waktu. Hanya kue di ruang tamu yang tahu, bagaimana Si Bungsu selalu menyembunyikan
air matanya dalam sendu.
“Eh, Kastangel kamu kenapa? Masam
sekali mukamu,” tanya Nastar isi selai nanas.
“Aku asin banget, badanku sampai
lengket,” jawab Kastangel.
“Hahahaha, dari dulu lu emang
asin. Kalau lu manis jadi tuh Nastar,” sahut Kacang Bawang.
“Heh, Kacang Bawang! Aku lagi
nanya Kastangel bukan kamu ya,” Nastar bersungut marah.
“Udah deh, Tar. Aku ngga apa-apa
kok. Cuma aku terbawa suasana aja. Tadi Si Bungsu pas bikin adonanku sambil
nangis dia,” Kastangel pun mulai berkaca-kaca.
“Ciwek semua lu! Gitu doang
mewek,” ejek Kacang Bawang.
“Astaga, Kacanggg!” Nastar
membentak sudah tidak sabar lagi. “Iya, udah jangan terlalu dipikir, Nyel. Si
Bungsu memang keadaanya begitu. Kalau aku jadi Si Bungsu juga bakalan sedih.
Udah paling bontot, belum nikah-nikah. Mana Si Pertama anaknya udah ada yang
hamil. Itu berarti Si Bungsu bakalan jadi nenek sebentar lagi,” Nastar mencoba
menenangkan Kastangel.
“Iya, aku kan jadi kasian.
Seolah-olah apa yang dilakukan Si Bungsu salah semua. Disindir-sindir terus
sama yang lain. Namanya jodoh kita kan ngga pernah tahu. Kalau disudutkan gitu
kan malahan jadi ngga enak. Ya, siapa sih yang ngga mau nikah. Tapi kan...,”
air mata Kastangel pun mulai keluar.
“Ciw...,” baru mau menyahut
Kacang Bawang sudah dipelototin Nastar.
Kastanyel pergi. Dia tidak kuat
lagi dengan ejekan Kacang Bawang. Buatnya lebih baik menemani Si Bungsu yang
tengah meratapi nasibnya. Orang kalau sedang sedih tidak butuh nasehat. Yang
dia butuhkan hanya bahu untuk bersandar. Dan telinga yang mau mendengar.
“Uhuk, uhuk, uhukkk,” semua
terbatuk-batuk. Tiba-tiba meja berantakan, serpihan-serpihan Putri Salju
menyebar kemana-mana.
“Maaf, maaf. Aku ngga sengaja.
Ini anaknya Si Delapan yang satu tahun, berantakin aku,” Putri Salju
membungkukan badannya yang sudah tidak berbentuk lagi.
“Makanya jangan mudah ancur!
Bikin berantakan aja,” lagi-lagi si Kacang Bawang memaki.
“Kacangggg! Kalau kamu ngga bisa
jaga omongan aku tendang juga nih,” kemarahan Nastar memuncak.
“Udah, Tar. Emang aku yang salah.
Aku yang ngga bisa jaga diri. Abisnya anak Si Enam ngegemesin banget sih. Jadi
aku rela aja dimainin sama dia, hehehe,” sahut Putri Salju yang mulai merapikan
badannya.
“Aku sih bisa ngerti keadaan
kamu, Put. Kita kan beda-beda bentuknya. Punya kelebihan dan kekurangan
masing-masing,” ucap Nastar dengan bijak.
“Bragggggkkk!!!”
Semua kaget, terperanjak dari
tempatnya. Putri Salju yang tadinya sudah hampir rapi, kini hancur kembali. Si
Tujuh tiba-tiba datang, pun membuat kaget semua orang. Tak terkecuali Mbah
Atmo. Di hatinya sedih dan senang bercampur jadi satu. Sedih karena merasa
tidak becus mendidik Si Tujuh. Senang, bagaimanapun juga Si Tujuh tetap
anaknya. Yang kepulangannya pun ia rindukan.
“Woyyy! Biasa aja dong!” teriak
Kacang Bawang.
“Bleggg! Prakkk!”
“Heh! Siapa lu?! Berisik banget,
nantangin lu!” Kacang Bawang berdiri dari tempatnya, bertolak pinggang dengan
mata melotot.
“Heh! Elu juga berisik dari tadi
tau. Ngaca dong!” Rengginang keluar dari blegnya.
“Ya elah, belagu banget lu!
Rengginang doang pake merk!” tantang Kacang Bawang.
“Sirik aja! Elu ngga pernah pake
merk kan? Gue dong nampang di facebook,
instagram, twitter, google, youtube.” sindir Rengginang.
“Dih, ngga pengin juga gue. Alay
banget lu!” Kacang Bawang balik menyerang.
“Stoppp!” Nastar menengahi.
“Kalian berdua bisa kan ngga usah ribut. Saling menghargai satu sama lain kan
enak. Udah ngga jaman lagi saling sindir, saling nyinyir. Apa iya, ramadan
sebulan ngga ada hikmahnya sama sekali buat kalian?”
“Maaf, Tar. Abis gimana dong, aku
ngga mungkin, ngga bersuara kalau gerak. Aku kalau ngga ada yang makan juga
diem kok. Lagian, siapa juga yang mau makan aku,” sesal Rengginang.
“Hahaha, murahan sih lu,” ejek
Kacang Bawang. Yang kali ini membuatnya benar-benar tersungkur.
Bukan Nastar yang menendang
Kacang Bawang, tapi Kue Ketapang. Badannya yang besar dan kekar, cukup membuat
Kacang Bawang tersungkur dengan sekali sentuhan.
“Heh! Apa maksud lu? Hah!” bentak
Kacang Bawang.
“Yaelah, Cang. Udah mau remek aja
masih belagu,” sindir Rengginang.
“Heh! Ngga usah ikut campur lu
ye!” sekuat tenaga Kacang Bawang membenahi badannya yang berantakan.
“DIAMMM!” suara berat Kue
Ketapang menggema di penjuru ruangan.
Tidak ada yang bisa mengelak,
gertakan Kue Ketapang memang benar-benar ampuh. Kembali ke posisi
masing-masing. Menyibukkan diri dengan telepon genggam di tangan. Bertegur sapa
dengan teman dunia maya. Yang kenal mungkin saja tidak, tapi harus ada sesuatu
yang dikirimkan. Demi eksistensi katanya.
Tape Ketan mondar-mandir. Gelisah
melihat banyak orang yang berkumpul tapi tidak ada satupun yang saling bicara.
Hendak menyapa salah satu diantara mereka, nampaknya dia akan dicueki. Hatinya
sepi di tempat yang ramai. Terbesit tanya apakah mereka tahu keberadaannya. Pun
dengan Mbah Atmo yang dari tadi hanya duduk di ruang tamu. Dalam hati ingin
bermain dengan anak cucu. Apa daya, dirinya hanya merasa jasad tak bernyawa.
“Aaaaa, hiks hiks hiks,”
Bola-Bola Coklat menangis sesenggukan.
“Bol, kamu kenapa?” Nastar yang
lebih dulu menyadari tangisan Bola-Bola Coklat.
Bola-Bola Coklat melengos
meninggalkan Nastar dengan mengusap air matanya. Cookies menyusul Bola-Bola
Coklat, tidak memperdulikan keberadaan Nastar yang mengkhawatirkan mereka
berdua.
“Kamu kenapa, Bol?” tanya Cookies
berbisik yang hanya bisa di dengar Bola-Bola Coklat.
“Nas nget,” keluh Bola-Bola
Coklat dengan manjanya.
“Ya, ampun kamu hampir meleleh
nih.”
“He em.”
“Ya udah pergi yuk dari sini. Aku
juga ngga suka di sini. Mereka kampungan.”
Kepergian Bola-Bola Coklat dan
Cookies diam-diam didengar Tape Ketan. Dia sadar, dia lah penyebab ruangan
menjadi panas. Dirinya butuh kehangatan agar cepat matang. Tapi apa yang dia
dapatkan, justru tidak ada yang perhatian. Yang ada justru dia ditinggalkan.
Mbah Atmo menatap perih foto Si
Lima yang masih di perantauan. Akankah jika Si Lima pulang, masih tetap
menganggap keberadaannya? Atau sama dengan saudara-saudaranya yang ada namun
tiada. Rindu kebisingan itu melanda, walau kadang memekakan telinga. Justru
itulah tanda kamu ada.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar