Tuesday, July 5, 2016

Kue Lebaran Mbah Atmo



Lebaran, rumah Mbah Atmo mulai ramai dengan anak cucunya yang pulang. Dari sembilan anaknya, tentu yang datang terlebih dahulu Si Tiga. Selalu dia yang paling semangat untuk pulang. Statusnya yang menjadi anak laki-laki tertua, mengharuskan dia menjadi garda paling depan. Merasa bertanggung jawab dengan segala hal yang terjadi.

Yang paling malas Si Tujuh. Entah apa yang dia lakukan, dari kecil tidak pernah mau ikut berkumpul. Si Pertama dan Si Kedua, selalu mendahulukan mertua. Ya, namanya juga perempuan. Hakekatnya nurut suami kan? Si Empat dan Si Enam selalu kompak datang bersamaan. Menyewa mobil dari kota, kompak dari datang sampai pulang.

Si Tiga dan Delapan pastilah datang saat hari lebaran. Rumahnya dekat, di desa seberang. Si Lima hanya datang dalam bentuk bingkisan. Dia jauh di perantauan, sedang dalam masa penugasan. Rindu memang, tapi mau bagaimana lagi daripada Si Bungsu.


Kau mencari dimana Si Bungsu? Ah, tentunya dia yang menyiapkan segala tetek bengek yang ada di rumah. Dari urusan sumur sampai lampu di pinggir jalan. Dia tidak akan punya waktu untuk menyapamu. Untuk berganti pakaian agar terlihat sedang lebaran saja tidak punya waktu. Hanya kue di ruang tamu yang tahu, bagaimana Si Bungsu selalu menyembunyikan air matanya dalam sendu.

“Eh, Kastangel kamu kenapa? Masam sekali mukamu,” tanya Nastar isi selai nanas.
“Aku asin banget, badanku sampai lengket,” jawab Kastangel.
“Hahahaha, dari dulu lu emang asin. Kalau lu manis jadi tuh Nastar,” sahut Kacang Bawang.
“Heh, Kacang Bawang! Aku lagi nanya Kastangel bukan kamu ya,” Nastar bersungut marah.
“Udah deh, Tar. Aku ngga apa-apa kok. Cuma aku terbawa suasana aja. Tadi Si Bungsu pas bikin adonanku sambil nangis dia,” Kastangel pun mulai berkaca-kaca.
“Ciwek semua lu! Gitu doang mewek,” ejek Kacang Bawang.
“Astaga, Kacanggg!” Nastar membentak sudah tidak sabar lagi. “Iya, udah jangan terlalu dipikir, Nyel. Si Bungsu memang keadaanya begitu. Kalau aku jadi Si Bungsu juga bakalan sedih. Udah paling bontot, belum nikah-nikah. Mana Si Pertama anaknya udah ada yang hamil. Itu berarti Si Bungsu bakalan jadi nenek sebentar lagi,” Nastar mencoba menenangkan Kastangel.
“Iya, aku kan jadi kasian. Seolah-olah apa yang dilakukan Si Bungsu salah semua. Disindir-sindir terus sama yang lain. Namanya jodoh kita kan ngga pernah tahu. Kalau disudutkan gitu kan malahan jadi ngga enak. Ya, siapa sih yang ngga mau nikah. Tapi kan...,” air mata Kastangel pun mulai keluar.
“Ciw...,” baru mau menyahut Kacang Bawang sudah dipelototin Nastar.

Kastanyel pergi. Dia tidak kuat lagi dengan ejekan Kacang Bawang. Buatnya lebih baik menemani Si Bungsu yang tengah meratapi nasibnya. Orang kalau sedang sedih tidak butuh nasehat. Yang dia butuhkan hanya bahu untuk bersandar. Dan telinga yang mau mendengar.

“Uhuk, uhuk, uhukkk,” semua terbatuk-batuk. Tiba-tiba meja berantakan, serpihan-serpihan Putri Salju menyebar kemana-mana.
“Maaf, maaf. Aku ngga sengaja. Ini anaknya Si Delapan yang satu tahun, berantakin aku,” Putri Salju membungkukan badannya yang sudah tidak berbentuk lagi.
“Makanya jangan mudah ancur! Bikin berantakan aja,” lagi-lagi si Kacang Bawang memaki.
“Kacangggg! Kalau kamu ngga bisa jaga omongan aku tendang juga nih,” kemarahan Nastar memuncak.
“Udah, Tar. Emang aku yang salah. Aku yang ngga bisa jaga diri. Abisnya anak Si Enam ngegemesin banget sih. Jadi aku rela aja dimainin sama dia, hehehe,” sahut Putri Salju yang mulai merapikan badannya.
“Aku sih bisa ngerti keadaan kamu, Put. Kita kan beda-beda bentuknya. Punya kelebihan dan kekurangan masing-masing,” ucap Nastar dengan bijak.

“Bragggggkkk!!!”
Semua kaget, terperanjak dari tempatnya. Putri Salju yang tadinya sudah hampir rapi, kini hancur kembali. Si Tujuh tiba-tiba datang, pun membuat kaget semua orang. Tak terkecuali Mbah Atmo. Di hatinya sedih dan senang bercampur jadi satu. Sedih karena merasa tidak becus mendidik Si Tujuh. Senang, bagaimanapun juga Si Tujuh tetap anaknya. Yang kepulangannya pun ia rindukan.

“Woyyy! Biasa aja dong!” teriak Kacang Bawang.
“Bleggg! Prakkk!”
“Heh! Siapa lu?! Berisik banget, nantangin lu!” Kacang Bawang berdiri dari tempatnya, bertolak pinggang dengan mata melotot.
“Heh! Elu juga berisik dari tadi tau. Ngaca dong!” Rengginang keluar dari blegnya.
“Ya elah, belagu banget lu! Rengginang doang pake merk!” tantang Kacang Bawang.
“Sirik aja! Elu ngga pernah pake merk kan? Gue dong nampang di facebook, instagram, twitter, google, youtube.” sindir Rengginang.
“Dih, ngga pengin juga gue. Alay banget lu!” Kacang Bawang balik menyerang.
“Stoppp!” Nastar menengahi. “Kalian berdua bisa kan ngga usah ribut. Saling menghargai satu sama lain kan enak. Udah ngga jaman lagi saling sindir, saling nyinyir. Apa iya, ramadan sebulan ngga ada hikmahnya sama sekali buat kalian?”
“Maaf, Tar. Abis gimana dong, aku ngga mungkin, ngga bersuara kalau gerak. Aku kalau ngga ada yang makan juga diem kok. Lagian, siapa juga yang mau makan aku,” sesal Rengginang.
“Hahaha, murahan sih lu,” ejek Kacang Bawang. Yang kali ini membuatnya benar-benar tersungkur.

Bukan Nastar yang menendang Kacang Bawang, tapi Kue Ketapang. Badannya yang besar dan kekar, cukup membuat Kacang Bawang tersungkur dengan sekali sentuhan.
“Heh! Apa maksud lu? Hah!” bentak Kacang Bawang.
“Yaelah, Cang. Udah mau remek aja masih belagu,” sindir Rengginang.
“Heh! Ngga usah ikut campur lu ye!” sekuat tenaga Kacang Bawang membenahi badannya yang berantakan.
“DIAMMM!” suara berat Kue Ketapang menggema di penjuru ruangan.

Tidak ada yang bisa mengelak, gertakan Kue Ketapang memang benar-benar ampuh. Kembali ke posisi masing-masing. Menyibukkan diri dengan telepon genggam di tangan. Bertegur sapa dengan teman dunia maya. Yang kenal mungkin saja tidak, tapi harus ada sesuatu yang dikirimkan. Demi eksistensi katanya.

Tape Ketan mondar-mandir. Gelisah melihat banyak orang yang berkumpul tapi tidak ada satupun yang saling bicara. Hendak menyapa salah satu diantara mereka, nampaknya dia akan dicueki. Hatinya sepi di tempat yang ramai. Terbesit tanya apakah mereka tahu keberadaannya. Pun dengan Mbah Atmo yang dari tadi hanya duduk di ruang tamu. Dalam hati ingin bermain dengan anak cucu. Apa daya, dirinya hanya merasa jasad tak bernyawa.

“Aaaaa, hiks hiks hiks,” Bola-Bola Coklat menangis sesenggukan.
“Bol, kamu kenapa?” Nastar yang lebih dulu menyadari tangisan Bola-Bola Coklat.
Bola-Bola Coklat melengos meninggalkan Nastar dengan mengusap air matanya. Cookies menyusul Bola-Bola Coklat, tidak memperdulikan keberadaan Nastar yang mengkhawatirkan mereka berdua.
“Kamu kenapa, Bol?” tanya Cookies berbisik yang hanya bisa di dengar Bola-Bola Coklat.
“Nas nget,” keluh Bola-Bola Coklat dengan manjanya.
“Ya, ampun kamu hampir meleleh nih.”
“He em.”
“Ya udah pergi yuk dari sini. Aku juga ngga suka di sini. Mereka kampungan.”

Kepergian Bola-Bola Coklat dan Cookies diam-diam didengar Tape Ketan. Dia sadar, dia lah penyebab ruangan menjadi panas. Dirinya butuh kehangatan agar cepat matang. Tapi apa yang dia dapatkan, justru tidak ada yang perhatian. Yang ada justru dia ditinggalkan.

Mbah Atmo menatap perih foto Si Lima yang masih di perantauan. Akankah jika Si Lima pulang, masih tetap menganggap keberadaannya? Atau sama dengan saudara-saudaranya yang ada namun tiada. Rindu kebisingan itu melanda, walau kadang memekakan telinga. Justru itulah tanda kamu ada.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts