Wednesday, May 11, 2016

Hai, Apa Kabar?



Seorang petani merindu musim hujan, agar sawahnya basah, padinya lekas menguning indah. Seorang nelayan merindu musim surut, agar dapat melaut, tanpa gelombang tinggi yang membuat kapalnya hanyut. Seorang penjual terompet merindu musim tahun baru, dimana orang-orang meniupkan lembar demi lembar uang di saku. Seorang ibu merindu musim lebaran, dimana anaknya yang nan jauh di rantau pulang.

photo by instagram.com/kisahkasih_

Sedangkan aku sedang berada di musim rindu. Musim yang datang dan perginya mengalahkan jelangkung. Sungguh aku tidak bisa menahan, mengatur, bahkan mengendalikan musim rindu. Musim dimana hanya aku yang rasa. Orang-orang mana mau tahu. Bahkan kamu yang aku rindu pun mungkin tak merasa. Seperti daun yang jatuh tanpa angin, tanpa kemarau. Dan jangan tanya kenapa? Karena aku pun tak tahu jawabnya.

“Pesan apa, Mba?” tanya seorang pelayan laki-laki yang aku tak tahu siapa namanya. Masih ingatkah kamu? Dulu Siti yang suka menanyai hal ini. Masih melekat di benakku, nama gadis yang lebih muda dariku itu namanya bukan Siti. Hanya kamu dengan gaya menggodamu, memanggil dia Siti. Dia pun menggodamu balik dengan memalingkan tubuhnya yang ramping. Pergi meninggalkan rayuanmu yang justru semakin membuatmu tergoda.

“Capuccino latte,” jawabku sambil tersenyum, tanpa melihat daftar menu lagi. Kamu pasti tahu kenapa. Ah, bahkan aku sangat ingat sebelum aku duduk di kursi ini, kamu sudah memesankan itu untukku. Atau kamu bermain-main dengan Bang Arkan, si seniman kopi. Meracik secangkir capuccino latte spesial hanya untukku, yang kamu gadang-gadang tanganmu sendiri yang penciptanya.

Bibirku selalu menyambut dengan suka cita setiap ciptaanmu. Walau sebaiknya Bang Arkan saja yang membuatnya. Bukan, ini bukan soal rasa. Tanganmu memang cakap meracik kopi, lebih-lebih membuat berantakan penjuru meja kerja Bang Arkan. Itu dulu. Sekarang si pembuat kacau itu tidak ada lagi. Jangankan si pembuat kacau, si seniman kopi itu pun sudah tidak aku cium lagi khas wangi kopinya. Kamu tidak perlu khawatir dengan kerinduanku pada Bang Arkan, baru saja penggantinya tersenyum padaku. Mengacungkan sebuah cangkir seperti berkata, “Spesial untukmu.”

Dari jendela ini terlihat jelas di luar gerimis mulai turun. Hujan kali ini turun perlahan, syahdu membentuk nada rindu. Seperti waktu itu, saat pertama aku melihatmu. Aku tengah dalam kepanikan mengambil jas hujan, bagasi motorku susah sekali dibuka. Sementara hujan mulai melepekkan rambutku yang keriting. Kamu pun datang dengan payung di genggaman tangan kirimu yang keras itu.

Tidak ada kata yang bisa ku ucap, kamu pun hanya memberi tanda dengan anggukan kecil supaya aku memegang payungmu. Dan tangan kekarmu itu mulai membuka bagasi motorku. Hanya sekali sentuh dengan mudahnya bagasi itu bisa kamu buka. Itu lah saat pertama aku mulai memperhatikan apapun yang ada di dirimu. Dan tahukah kamu dari tempat aku duduk sekarang, itu semua terlihat begitu jelas. Seperti sedang melihat film, ingin aku reff dan pause selama yang aku mau.

Ada kalanya saat kita mengingat masa lalu, membuat kita tersenyum kemudian tertawa sendiri. Sekarang, di tempat ini, aku mengingat semua tentang dirimu. Tentang kita. Tergambar jelas guratan senyummu yang manis, semanis brownies kesukaanku. Tawamu yang nyaring mengiringi nada suka cita.

Sekarang, aku sedang duduk di tempat favoritku. Sedang melihat tempat duduk yang dulu menjadi favoritmu. Aku masih sendiri seperti biasa. Di tempat kamu dan teman-temanmu yang biasanya itu, ada segerombolan anak sedang duduk di sana. Mungkin mereka bersahabat seperti kamu dan teman-temanmu waktu itu.

Bedanya, kamu dan teman-temanmu bisa tertawa tanpa henti karena lelucon dari Jono, temanmu yang paling kocak itu. Sekarang, segerombolan anak itu tengah duduk diam menghadap layar laptop, tablet, atau handphone di hadapan mereka masing-masing. Sepi, tanpa kata. Oh, sekali-kali mereka terkekeh. Tentunya terkekeh sendiri karena lelucon dari layarnya, yang tidak dibalas kekehan lagi oleh layarnya.

photo by instagram.com/kisahkasih_
Aku hanya penikmatmu dari sini dari kejauhan. Hanya terhalang sepasang meja dan kursi saja, rasanya sudah sangat jauh dariku. Aku menulis ribuan sajak disini untukmu. Semakin banyak semakin aku merasa jarakku dan kamu semakin bertambah. Aku pikir kamu tidak akan pernah mau tahu siapa aku. Jangankan ingin tahu, aku merasa hanya debu dalam hidupmu. Sekali kau tiup aku akan hilang terbawa angin.

Tapi tidak dengan buku yang ada di tanganku sekarang. Kamu begitu dekat, sangat dekat denganku. Bagaimana tidak, buku ini berisi semua hal tentangku.
Tentang aku yang tengah menulis ribuan sajak untukmu di kursi ini.
Tentang rambutku yang mengembang menutupi wajahku, dari sinar matahari pagi yang menembus jendela di sampingku.
Tentang aku yang tengah susah payah membuka gembok sepedaku di parkiran. Tentang aku yang tidak punya tenaga menghidupkan motorku. Ah, aku payah dalam berkendara.
Tentang aku yang ketiduran di meja ini dengan buku berserakan dimana-mana.
Tentang aku dan capuccino latteku yang tengah memandang syahdu hujan sore itu.
Tentang aku yang menggigit jariku yang sedang panik akan menghadapi ujian kala itu.
Tentang aku, semuanya kamu lebih tahu dari pada aku sendiri.
Dan kamu mengumpulkan coretan pensilmu dalam satu buku ini. Hanya tentangku.

Sungguh ini terlalu, bahkan sampai pengumuman kelulusan aku sama sekali belum memperkenalkan diriku padamu. Tapi kamu, ya kamu, kamu membuat buku ini seolah-olah mengenalku ribuan tahun lamanya. Coretan pensil sketsamu memberi nyawa di setiap gambarku. Kamu tahu, setiap aku menghembuskan napas di tempat yang sama denganmu dadaku terasa sesak. Sesak sekali karena aku tak bisa mengatakan sepatah kata pun padamu, tapi kamu selalu bermain-main di kepalaku.

Sungguh ini menyiksaku, lebih menyiksa lagi karena ada buku ini di tanganku sekarang. Menyiksa karena kita dalam satu ruang yang tersiksa bersamaan, tanpa tahu satu sama lain saling menyiksa. Entah apa dosaku sampai menyiksamu seperti ini? Aku mohon maafkan aku. Maafkan aku yang hanya bisa mencintaimu diam-diam sampai pada detik ini. Yang melukaimu, melukai aku, melukai kita.

Sungguh aku rindu penyiksaan ini. Aku rindu kamu yang menyiksaku dalam setiap hembusan napasku. Dalam setiap kata yang aku tulis untukmu. Aku rindu kamu yang juga menggambarkanku dalam setiap kertas sketsamu, dalam diammu. Rindu ini sebentar lagi membunuhku. Aku mohon jika kamu ada di hadapanku sekarang, katakan satu saja. Walau itu hanya, “Hai, apa kabar?”

1 comment:

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts