Hidup selama sepuluh tahun bukan
waktu yang sebentar. Tapi kita yang menjalaninya merasa seperti baru kemarin. Anak
umur sepuluh tahun berarti sudah SD kelas 4. Sudah tahu cinta monyet –cinta sama
monyet. Atau lagi hits-hitsnya diledekin sama temen sekelas. Antara malu sama
ada deg-degannya juga.
Kalau presiden sudah sepuluh
tahun berarti tinggal tunggu lengsernya saja. Sudah ada di undang-undang, masa
jabatan presiden dibatasi maksimal dua periode masa jabatan. Satu periodenya
lima tahun. Jadi, sepuluh tahun berarti sudah dua periode dan tinggal menunggu
masa lengsernya saja. Dan lagi gencarnya media membuat berita evaluasi
kepemimpinan presiden. Tentunya versi mereka sendiri.
Sedangkan persahabatan selama
sepuluh tahun itu ........ . Kenapa jadi susah digambarkan ya? Bukan tidak ada
yang bisa ditulis, tapi saking banyaknya yang sudah dilewati bersama-sama. Kata
orang atau kata meme atau emang ada penelitiannya, lupa. Pokoknya aku pernah
baca bahwa persahabatan yang sudah terjalin selama lebih dari tujuh tahun
berarti akan langgeng selamannya.
Itu kalau pacaran tujuh tahun, pasti
dikata-katain, itu pacaran apa kredit motor. Tapi persahabatan jelas beda. Kami
tidak perlu bilang sayang, kami tidak perlu bilang cinta. Apalagi butuh
pengakuan, tanggal jadian, susah-susah bikin anniversary tiap tahun bahkan tiap
bulan. Semua mengalir saja seiring berjalannya waktu.
Dan aku baru tersadar tentang hal
itu. Aku punya sahabat yang sudah terjalin selama sepuluh tahun lebih. Tanggal pasti
kami mulai bersama, saling melengkapi, berbagi, ketawa bareng, gila bareng dan
bercerita sampai tanpa sadar menitikkan air mata, aku tidak tahu pastinya
kapan.
Aku hanya bisa memastikan
mengenal mereka sejak Juli 2005. Saat itu aku baru pertama masuk SMK. Sekolah yang
hampir semuanya perempuan. Bahkan satu kelasku isinya perempuan semua. Hari pertama
masuk sekolah aku hampir saja telat. Hampir semua bangku sudah terisi. Hanya ada
dua yang tersisa. Aku duduk saja di salah satu bangku itu.
Satu meja diisi dua bangku. Bangku
di sebelahku sudah diisi anak perempuan (ya, iyalah perempuan). Aku tidak
mengenalnya, dia pun sepertinya tidak mau mengenalku. Sampai bel masuk
berbunyi, kepalanya selalu tertunduk dan diam seribu bahasa. Sampai akhirnya
jam istirahat, aku yang inisiatif minta kenalan. Dan hanya itu obrolan kami
seharian. Bahkan esok harinya aku sudah lupa namanya. Padahal selama satu tahun
bisa dipastikan aku berpartner dengan
dia.
Hari, minggu, bulan, tahun pun
berlalu, dia tetap saja menjadi pendiam. Bahkan sampai pada detik ini. Mungkin sudah
bawaan dari lahir seperti itu. Tapi kalau mau dikasih penilaian. Sekarang sudah
lebih baik 5%, sedikit banget ya? Tapi beneran deh, sekarang sudah ada
kemajuan.
Walaupun dia pendiam, sampai aku
sering gregetan dengan sikap dia yang pendiam. Persahabatan kami bukanlah yang
sempurna. Dia tidak seutuhnya untukku. Aku pun juga. Aku sadar pernah
menyakitinya, mengecewakannya, merepotkannya, menjelekannya, memarahinya, dan
mungkin dia pernah menangis karena aku, dalam diamnya. Atau dia mungkin pernah
berpikir ingin meninggalkanku. Walau sebentar.
Dia memang pernah meninggalkanku.
Pergi jauh untuk mengangkat derajat keluarganya sebagai buruh migran. Kami hanya
terpisah secara ruang. Tapi komunikasi tetap terjalin. Bahkan saat dia akan
pergi, aku sempat melarangnya. Jujur, aku khawatir. Apalagi pemberitaan di media
tentang buruh migran membuat telinga ini tak mau mendengar. Aku khawatir dia
yang pendiam bisa bertahan di negeri orang. Dengan kultur, bahasa, budaya yang
berbeda. Di lingkungan sendiri saja dia masih takut berbicara dengan orang
lain. Apa di sana dia mampu? Aku ragu.
Satu bulan berlalu, tidak ada
kabar. Dua bulan berlalu, belum juga ada kabar. Sampai tiba-tiba ada sms dari
nomor asing masuk ke handphoneku. Akhirnya.
Kami pun jadi sering bertukar kabar. Dia bercerita pengalamannya di sana. Sedih,
senang, semua diceritakan. Orang pendiam seperti dia sangat jarang mau bercerita.
Aku bersyukur dia mau bercerita banyak hal denganku. Mungkin hanya kepadaku dia
mampu meluapkan segala emosi yang dia sembunyikan dari orang-orang.
Tiga tahun berlalu, akhirnya dia
pulang. Kami pun bertemu. Bercerita lebih banyak lagi. Karena bercerita lewat
pesan hanya seperlunya saja. Beberapa kali dia mencoba bekerja di Indonesia. Selalu
saja berhenti. Tidak betah, katanya. Sampai tiba-tiba dia memberi kabar, sudah
mau berangkat lagi. Kali ini aku bukan lagi khawatir. Tapi langsung
memarahinya. Kenapa harus ke luar lagi sih?
Aku bisa mendengar suaranya di
ujung telepon yang sedang menahan tawa. “Aku tahu kamu akan marah, tapi aku
tahu marahmu karena khawatir aku kenapa-kenapa. Doain aja, kita pasti bisa
ketemu lagi,” begitu katanya sebelum pergi lagi. Aku bisa apa, kalau maunya dia
seperti itu. Aku hanya bisa menjaganya dalam doa.
Komunikasi? Tetap jalan terus. Sampai
dia pulang lagi. Dan sampai sekarang. Aku sebenarnya tidak tahu pasti apa yang
membuat kami bisa bertahan selama ini. Aku tahu buruknya dia, pun sebaliknya. Bahkan
mungkin dia yang tahu, keburukanku paling buruk yang aku sembunyikan dari orang-orang.
Tapi kenapa kamu tidak pergi? Milyaran orang di dunia ini. Banyak yang lebih
baik dariku.
Sampai kemarin pagi-pagi sekali,
kamu datang ke rumahku. Membawa sebuah kotak berbungkus kertas kado. “Happy
birthday, ya,” ucapmu sambil memelukku. Bukan apa isi kadonya yang aku
pertanyakan. Bukan ucapan ataupun doa yang aku harapkan. Tapi kenapa kamu masih
mau melangkahkan kakimu ke padaku? Aku yang mungkin adalah orang yang paling
banyak melukaimu.
Dan aku baru sadar. Sudah sepuluh
tahun berlalu. Kita sudah melewati banyak hal. Dari yang tidak pernah mau
ngobrol, sampai bercerita semua hal panjang lebar. Dari jaim sampai
malu-maluin. Dari berjauhan sampai jalan jauh beriringan. Dari ribut hal-hal
kecil sampai berdamai dengan sendirinya.
Aku hanya bisa bilang terima
kasih untuk semua hal yang pernah kita lalui bersama. Terima kasih, masih mau
bertahan menjadi sahabatku. Terima kasih, mau menerima aku apa adanya. Terima kasih,
masih mau memegang tanganku erat saat aku terjatuh. Terima kasih, untuk tidak
pergi dariku saat semua orang meninggalkanku.
Maaf, aku tidak pernah bisa jadi
yang terbaik untukkmu.
Sahabat itu bukan orang yang
seirama seiya sekata. Tapi yang mampu bertahan di sampingmu walau tidak pernah
sejalan.
NB: Makasih banget loh kadonya. Kebesaran sih, but its ok. Cerita yang lain kapan-kapan lagi ya. Jangan ngambek loh.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar