Saturday, October 24, 2015

Sahabat Sepuluh Tahun



Hidup selama sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi kita yang menjalaninya merasa seperti baru kemarin. Anak umur sepuluh tahun berarti sudah SD kelas 4. Sudah tahu cinta monyet –cinta sama monyet. Atau lagi hits-hitsnya diledekin sama temen sekelas. Antara malu sama ada deg-degannya juga.

Kalau presiden sudah sepuluh tahun berarti tinggal tunggu lengsernya saja. Sudah ada di undang-undang, masa jabatan presiden dibatasi maksimal dua periode masa jabatan. Satu periodenya lima tahun. Jadi, sepuluh tahun berarti sudah dua periode dan tinggal menunggu masa lengsernya saja. Dan lagi gencarnya media membuat berita evaluasi kepemimpinan presiden. Tentunya versi mereka sendiri.

Sedangkan persahabatan selama sepuluh tahun itu ........ . Kenapa jadi susah digambarkan ya? Bukan tidak ada yang bisa ditulis, tapi saking banyaknya yang sudah dilewati bersama-sama. Kata orang atau kata meme atau emang ada penelitiannya, lupa. Pokoknya aku pernah baca bahwa persahabatan yang sudah terjalin selama lebih dari tujuh tahun berarti akan langgeng selamannya.

Itu kalau pacaran tujuh tahun, pasti dikata-katain, itu pacaran apa kredit motor. Tapi persahabatan jelas beda. Kami tidak perlu bilang sayang, kami tidak perlu bilang cinta. Apalagi butuh pengakuan, tanggal jadian, susah-susah bikin anniversary tiap tahun bahkan tiap bulan. Semua mengalir saja seiring berjalannya waktu.

Dan aku baru tersadar tentang hal itu. Aku punya sahabat yang sudah terjalin selama sepuluh tahun lebih. Tanggal pasti kami mulai bersama, saling melengkapi, berbagi, ketawa bareng, gila bareng dan bercerita sampai tanpa sadar menitikkan air mata, aku tidak tahu pastinya kapan. 

Aku hanya bisa memastikan mengenal mereka sejak Juli 2005. Saat itu aku baru pertama masuk SMK. Sekolah yang hampir semuanya perempuan. Bahkan satu kelasku isinya perempuan semua. Hari pertama masuk sekolah aku hampir saja telat. Hampir semua bangku sudah terisi. Hanya ada dua yang tersisa. Aku duduk saja di salah satu bangku itu.

Satu meja diisi dua bangku. Bangku di sebelahku sudah diisi anak perempuan (ya, iyalah perempuan). Aku tidak mengenalnya, dia pun sepertinya tidak mau mengenalku. Sampai bel masuk berbunyi, kepalanya selalu tertunduk dan diam seribu bahasa. Sampai akhirnya jam istirahat, aku yang inisiatif minta kenalan. Dan hanya itu obrolan kami seharian. Bahkan esok harinya aku sudah lupa namanya. Padahal selama satu tahun bisa dipastikan aku berpartner dengan dia.

Hari, minggu, bulan, tahun pun berlalu, dia tetap saja menjadi pendiam. Bahkan sampai pada detik ini. Mungkin sudah bawaan dari lahir seperti itu. Tapi kalau mau dikasih penilaian. Sekarang sudah lebih baik 5%, sedikit banget ya? Tapi beneran deh, sekarang sudah ada kemajuan.

Walaupun dia pendiam, sampai aku sering gregetan dengan sikap dia yang pendiam. Persahabatan kami bukanlah yang sempurna. Dia tidak seutuhnya untukku. Aku pun juga. Aku sadar pernah menyakitinya, mengecewakannya, merepotkannya, menjelekannya, memarahinya, dan mungkin dia pernah menangis karena aku, dalam diamnya. Atau dia mungkin pernah berpikir ingin meninggalkanku. Walau sebentar.

Dia memang pernah meninggalkanku. Pergi jauh untuk mengangkat derajat keluarganya sebagai buruh migran. Kami hanya terpisah secara ruang. Tapi komunikasi tetap terjalin. Bahkan saat dia akan pergi, aku sempat melarangnya. Jujur, aku khawatir. Apalagi pemberitaan di media tentang buruh migran membuat telinga ini tak mau mendengar. Aku khawatir dia yang pendiam bisa bertahan di negeri orang. Dengan kultur, bahasa, budaya yang berbeda. Di lingkungan sendiri saja dia masih takut berbicara dengan orang lain. Apa di sana dia mampu? Aku ragu.

Satu bulan berlalu, tidak ada kabar. Dua bulan berlalu, belum juga ada kabar. Sampai tiba-tiba ada sms dari nomor asing masuk ke handphoneku. Akhirnya. Kami pun jadi sering bertukar kabar. Dia bercerita pengalamannya di sana. Sedih, senang, semua diceritakan. Orang pendiam seperti dia sangat jarang mau bercerita. Aku bersyukur dia mau bercerita banyak hal denganku. Mungkin hanya kepadaku dia mampu meluapkan segala emosi yang dia sembunyikan dari orang-orang.

Tiga tahun berlalu, akhirnya dia pulang. Kami pun bertemu. Bercerita lebih banyak lagi. Karena bercerita lewat pesan hanya seperlunya saja. Beberapa kali dia mencoba bekerja di Indonesia. Selalu saja berhenti. Tidak betah, katanya. Sampai tiba-tiba dia memberi kabar, sudah mau berangkat lagi. Kali ini aku bukan lagi khawatir. Tapi langsung memarahinya. Kenapa harus ke luar lagi sih?

Aku bisa mendengar suaranya di ujung telepon yang sedang menahan tawa. “Aku tahu kamu akan marah, tapi aku tahu marahmu karena khawatir aku kenapa-kenapa. Doain aja, kita pasti bisa ketemu lagi,” begitu katanya sebelum pergi lagi. Aku bisa apa, kalau maunya dia seperti itu. Aku hanya bisa menjaganya dalam doa.

Komunikasi? Tetap jalan terus. Sampai dia pulang lagi. Dan sampai sekarang. Aku sebenarnya tidak tahu pasti apa yang membuat kami bisa bertahan selama ini. Aku tahu buruknya dia, pun sebaliknya. Bahkan mungkin dia yang tahu, keburukanku paling buruk yang aku sembunyikan dari orang-orang. Tapi kenapa kamu tidak pergi? Milyaran orang di dunia ini. Banyak yang lebih baik dariku.

Sampai kemarin pagi-pagi sekali, kamu datang ke rumahku. Membawa sebuah kotak berbungkus kertas kado. “Happy birthday, ya,” ucapmu sambil memelukku. Bukan apa isi kadonya yang aku pertanyakan. Bukan ucapan ataupun doa yang aku harapkan. Tapi kenapa kamu masih mau melangkahkan kakimu ke padaku? Aku yang mungkin adalah orang yang paling banyak melukaimu.

Dan aku baru sadar. Sudah sepuluh tahun berlalu. Kita sudah melewati banyak hal. Dari yang tidak pernah mau ngobrol, sampai bercerita semua hal panjang lebar. Dari jaim sampai malu-maluin. Dari berjauhan sampai jalan jauh beriringan. Dari ribut hal-hal kecil sampai berdamai dengan sendirinya.

Aku hanya bisa bilang terima kasih untuk semua hal yang pernah kita lalui bersama. Terima kasih, masih mau bertahan menjadi sahabatku. Terima kasih, mau menerima aku apa adanya. Terima kasih, masih mau memegang tanganku erat saat aku terjatuh. Terima kasih, untuk tidak pergi dariku saat semua orang meninggalkanku.

Maaf, aku tidak pernah bisa jadi yang terbaik untukkmu.

Sahabat itu bukan orang yang seirama seiya sekata. Tapi yang mampu bertahan di sampingmu walau tidak pernah sejalan. 

NB: Makasih banget loh kadonya. Kebesaran sih, but its ok. Cerita yang lain kapan-kapan lagi ya. Jangan ngambek loh.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts