Pagi ini aku melihat cermin tidak
seperti biasanya. Aku ingin bayanganku di cermin itu berbicara. Berbicara
tentang semua hal. Tentunya tentang diriku. Aku yang sekarang di depan mu.
Siapa lagi yang kamu lihat? Adakah orang lain? Apakah aku sendiri dan akan
terus begini? Atau kamu tidak melihat aku. Aku yang ada, namun telah tiada.
Atau lebih parahnya, tidak pernah ada.
Aku tidak benar-benar tahu
mengapa aku di sini sekarang. Terlahir sebagai manusia. Ilmu yang aku pelajari
memang masuk dilogika. Tapi di luar itu semua, aku selalu bertanya mengapa aku
di sini? Mengapa aku, bukan yang lain? Kadang aku berpikir jiwa dan raga ini
terpisah. Benar-benar pisah. Aku bisa saja menjadi benda lain tanpa harus ada
di tubuh ini. Aku bisa memerankannya. Tapi tubuh ini punya peran sendiri.
Terkadang perannya menunjukan itu bukan aku. Itu hanya sifat dasar dari tubuh
ini. Bukan benar-benar aku. Tapi aku yang harus mempertanggung jawabkan tubuh
ini.
Jadi siapa aku sekarang ini?
Bingung. Hanya itu jawabnya.
Hidupku punya caranya sendiri untuk menjadi spesial. Aku terkadang merasa
menjadi terbaik tapi semenit kemudian menjadi yang terburuk. Atau itu datang
bersamaan. Ya, tergantung siapa yang sedang bersamaku. Mereka yang di sekitarku
menjadi tolok ukur. Aku bisa saja minder atau menjadi sombong. Itu tergantung
kamu.
Bertahun-tahun aku melewati
banyak hal. Aku bukan seperti orang yang di tivi-tivi. Tidak cantik, berbakat,
berprestasi, kaya, terkenal dan punya segalanya. Yang kalaupun punya kesalahan
orang-orang akan sepakat, “Cantik mah mau ngapain bebas”. Aku juga bukan pelaku
kriminal yang mondar-mandir di siaran berita. Atau kekurangan sehingga
membuatnya menjadi inspirasi bagi yang sempurna. Pokoknya tidak pernah ada
golongan orang seperti aku yang masuk tivi. Golongan orang kelas menengah yang
biasa saja. Cantik tidak jelek juga tidak, kaya tidak miskin juga tidak, sukses
tidak gagal juga tidak, baik tidak jahat juga tidak.
Lalu siapa aku?
Orang tidak akan mengenalku kalau
tidak bermain, belajar, ataupun bekerja denganku. Mereka yang sudah pernah
kenalan denganku, hanya berjabat tangan pasti gampang sekali lupa denganku.
Tidak ada yang istimewa denganku. Mungkin teman mainku waktu kecil pun sudah
lupa denganku. Walaupun kami pernah bermain bersama di lumpur sawah. Tertawa
gembira bersama, bermandikan air banjir yang meluap ke daerah kami. Sampai
tidak masuk sekolah esok harinya karena demam. Aku bukan orang yang pantas
dikenang.
Aku pun begitu. Aku tidak bisa mengingat
satu per satu siapa saja yang pernah hadir dalam hidupku selama ini secara
detail. Mungkin kamu ingat hal konyol yang pernah aku lakukan sewaktu kita
bersama. Atau kamu pernah menyimpan nomor teleponku karena kita pernah bersama
dalam suatu kegiatan. Aku ingat pernah membagi-bagi nomorku dalam interview
kerja atau kegiatan sosial. Tapi aku tidak ingat kalian secara rinci satu per
satu. Itu terlalu banyak. Dan wajar kalau aku tidak mengingatnya. Aku pikir
kalian pun sama denganku. Semua orang datang dan pergi silih berganti. Ada yang
tinggal atau sekedar mampir lagi suatu saat nanti.
Apa yang terjadi dalam hidupku
pun, aku tidak ingat semua. Yang aku ingat, aku mengalami semua rasa seperti
manusia pada umumnya. Pernah senang, sampai jantung berdetak di sekujur tubuh. Pernah
menangis, dari yang hanya basah-basah di ujung kelopak mata sampai tidak tahu
lagi apa yang harus keluar dari mata ini. Pernah merasa takut tidak bisa
melakukan suatu hal. Tapi akhirnya semua terlewati juga.
Walaupun hari kemarin sudah
terlewati, aku sendiri tidak tahu pasti mengapa aku bisa melakukannya. Keinginanku
berganti-ganti seiring berjalannya waktu. Orang-orang merencanakan hidupnya
sedemikian rupa. Aku pernah seperti itu. Mengatur hidup ingin jadi ini, ingin
kesitu, ingin mendapatkan anu. Nyatanya semua itu tidak semua tercapai. Ada juga
yang menguap seiring berjalannya waktu, tanpa pernah tau kapan terlihat
hasilnya. Ekspektasi memang terkadang tak sesuai dengan realita. Wajar. Kita sepakat
kalau Tuhan yang mengatur segalanya.
Dan itu menjadikan aku manusia
yang awalnya penuh rencana, optimis, semangat menjadi ya sudah lah. Toh, semua
sudah diatur. Bukan aku sudah tidak percaya Tuhan atau menjadi makhluk-Nya yang
pemalas dan putus asa. Hanya saja aku merasa apa yang aku lakukan dengan
rencana itu adalah rencana orang kebanyakan. Banyak orang yang menginginkan
itu. Padahal tempat itu tidak bisa muat untuk banyak orang. Jadilah aku sebagai
penyumbangan kesuksesan orang lain. Tidak ada aku yang gagal, mereka tidak akan
sukses. Dan mungkin bila aku yang sukses, mereka yang gagal tidak mampu
menyukseskan kegagalannya.
Aku terdiam pada titik ini. Mencoba
mencari dimana aku sebenarnya. Setiap moment yang sudah terlewati ada aku yang
berbeda-beda. Aku yang begini ataupun begitu hanya usaha dari diri ini untuk
mengatasi apa yang terjadi. Kamu mungkin melihat aku dengan wujud yang sama. Tapi
tidak dengan diriku sendiri. Ada banyak aku yang tinggal di sana. Ada yang
sedang gelisah berjalan mondar-mandir, ada yang duduk tenang penuh kepercayaan,
ada yang tidur terlelap terbuai oleh mimpi-mimpi, ada pun yang tersungkur ingin
segera terkubur.
Dimana aku yang sesungguhnya? Terus
mencari itu tidak akan pernah selesai. Yang bisa aku lakukan hanya terus saja
berjalan. Siapkan saja perlindungan. Cobaan pasti datang, bisa saat senang
ataupun sedih. Karena terkadang kesedihan ikut mengintip saat senang, hati ini
harus berotot baja menghadapi perubahan yang tiba-tiba.
Berdialog dengan diri sendiri
tidak akan ada habisnya. Aku hanya ingin menemukan aku yang bahagia dengan
caranya sendiri. Bukan bahagia yang senang dengan penderitaan orang lain. Bukan
bahagia seperti kata orang lain, apalagi bahagia yang menuruti kata orang lain.
Bukan bahagia yang bergelimpangan materi kemudian hanyut dalam kesombongan. Bukan
bahagia penuh rasa syukur lalu berdiam diri tanpa tantangan. Apalagi bahagia
yang ingin membuat orang lain iri terhadapku. Bukan seperti itu.
Aku ingin bahagia yang berenergi
positif. Bahagia menari-nari bersama di rerumputan, menginjak memang. Tapi tidak
mematikan. Aku bisa merasakan sedikit embun yang menyegarkan kakiku. Rumput bahagia
karena sudah menopang kebahagiaanku.
Aku ingin bahagia yang bisa
tertawa lepas bukan menertawai. Aku sadar betul gelas tidak bisa menampung
semua air. Di gelas yang besar aku bisa saja berenang-renang sesuka hati
bersamamu. Tapi saat gelas itu kecil, aku bisa jadi merasa segar karena hanya
aku di dalamnya. Dan kamu menjadi air yang tercecer tak berguna. Atau justru
sebaliknya, aku yang tercecer dan harus terima terbuang sia-sia. Tidak apa-apa
kamu menertawaiku. Tapi kamu harus tahu saat aku yang tertawa dengan
bahagianya, sungguh aku tidak ingin menertawaimu.
Aku ingin bahagia tanpa harus
menjadi siapa, punya apa, dan berada dimana. Jujur, dalam keterpurukanku sering
kali aku menemui kamu yang menuntut aku dengan kesombongan yang mengintip di
bibirmu. “Kamu itu harusnya seperti ini, dapet itu, di sana, kaya aku ini loh
yang sudah begini dan begitu,” katamu yang sedang mengeja kekuranganku. Hatiku
tertawa mendengarmu. Tertawa mendengar kehebatanmu. Hebat yang sudah berusaha
mati-matian dengan apa yang kamu capai agar aku iri terhadapmu.
Bahagia versiku adalah kenyaman
menghadapi berbagai hal yang datang padaku. Nyaman itu pas di hati. Tidak terlalu
kosong yang membuat bunyi nyaring. Tidak perlu terlalu penuh sampai tercecer
sia-sia.
Maaf, bila yang kamu rasakan
adalah keegoisanku. Maaf, bila aku membingungkanmu. Maaf, bila aku tidak bisa
menjadi bahagia versimu. Maaf, aku yang tidak tahu diri. Maaf, aku sudah
merepotkanmu. Sungguh hanya maaf yang bisa aku ucapkan. Karena aku bukan yang
kamu harapkan.
Kalau aku terlahir kembali dengan
wujud seperti ini, aku ingin minta maaf kepadamu terlebih dahulu. Karena aku
bukan orang baik seperti harapanmu. Karena aku hanya menambah kecewamu. Karena kamu
harus pura-pura membanggakanku di depan orang-orang. Padahal tidak ada secercah
sinar pun yang pantas dibanggakan dariku.
Bola mata di cermin depanku mulai
tergenangi air. Kemarin memang percuma untuk disesali. Toh, semua sudah terlewati.
Aku hanya melihat malu. Malu karena yang kamu lihat selama ini bukanlah aku. Topeng
ini terlalu tebal, menempel rapat sampai susah dilepaskan dan membedakannya.
Harapanku, bolehkah aku jujur? Jujur
dengan bahagiaku. Dan kamu mampu menerima itu dengan bahagiamu. Kita saling
bahagia tanpa harus melukai kebahagiaan kita masing-masing.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar