Tuesday, October 13, 2015

Cermin Ke-26



Pagi ini aku melihat cermin tidak seperti biasanya. Aku ingin bayanganku di cermin itu berbicara. Berbicara tentang semua hal. Tentunya tentang diriku. Aku yang sekarang di depan mu. Siapa lagi yang kamu lihat? Adakah orang lain? Apakah aku sendiri dan akan terus begini? Atau kamu tidak melihat aku. Aku yang ada, namun telah tiada. Atau lebih parahnya, tidak pernah ada.

Aku tidak benar-benar tahu mengapa aku di sini sekarang. Terlahir sebagai manusia. Ilmu yang aku pelajari memang masuk dilogika. Tapi di luar itu semua, aku selalu bertanya mengapa aku di sini? Mengapa aku, bukan yang lain? Kadang aku berpikir jiwa dan raga ini terpisah. Benar-benar pisah. Aku bisa saja menjadi benda lain tanpa harus ada di tubuh ini. Aku bisa memerankannya. Tapi tubuh ini punya peran sendiri. Terkadang perannya menunjukan itu bukan aku. Itu hanya sifat dasar dari tubuh ini. Bukan benar-benar aku. Tapi aku yang harus mempertanggung jawabkan tubuh ini.

Jadi siapa aku sekarang ini?


Bingung. Hanya itu jawabnya. Hidupku punya caranya sendiri untuk menjadi spesial. Aku terkadang merasa menjadi terbaik tapi semenit kemudian menjadi yang terburuk. Atau itu datang bersamaan. Ya, tergantung siapa yang sedang bersamaku. Mereka yang di sekitarku menjadi tolok ukur. Aku bisa saja minder atau menjadi sombong. Itu tergantung kamu.

Bertahun-tahun aku melewati banyak hal. Aku bukan seperti orang yang di tivi-tivi. Tidak cantik, berbakat, berprestasi, kaya, terkenal dan punya segalanya. Yang kalaupun punya kesalahan orang-orang akan sepakat, “Cantik mah mau ngapain bebas”. Aku juga bukan pelaku kriminal yang mondar-mandir di siaran berita. Atau kekurangan sehingga membuatnya menjadi inspirasi bagi yang sempurna. Pokoknya tidak pernah ada golongan orang seperti aku yang masuk tivi. Golongan orang kelas menengah yang biasa saja. Cantik tidak jelek juga tidak, kaya tidak miskin juga tidak, sukses tidak gagal juga tidak, baik tidak jahat juga tidak.

Lalu siapa aku?

Orang tidak akan mengenalku kalau tidak bermain, belajar, ataupun bekerja denganku. Mereka yang sudah pernah kenalan denganku, hanya berjabat tangan pasti gampang sekali lupa denganku. Tidak ada yang istimewa denganku. Mungkin teman mainku waktu kecil pun sudah lupa denganku. Walaupun kami pernah bermain bersama di lumpur sawah. Tertawa gembira bersama, bermandikan air banjir yang meluap ke daerah kami. Sampai tidak masuk sekolah esok harinya karena demam. Aku bukan orang yang pantas dikenang.

Aku pun begitu. Aku tidak bisa mengingat satu per satu siapa saja yang pernah hadir dalam hidupku selama ini secara detail. Mungkin kamu ingat hal konyol yang pernah aku lakukan sewaktu kita bersama. Atau kamu pernah menyimpan nomor teleponku karena kita pernah bersama dalam suatu kegiatan. Aku ingat pernah membagi-bagi nomorku dalam interview kerja atau kegiatan sosial. Tapi aku tidak ingat kalian secara rinci satu per satu. Itu terlalu banyak. Dan wajar kalau aku tidak mengingatnya. Aku pikir kalian pun sama denganku. Semua orang datang dan pergi silih berganti. Ada yang tinggal atau sekedar mampir lagi suatu saat nanti.

Apa yang terjadi dalam hidupku pun, aku tidak ingat semua. Yang aku ingat, aku mengalami semua rasa seperti manusia pada umumnya. Pernah senang, sampai jantung berdetak di sekujur tubuh. Pernah menangis, dari yang hanya basah-basah di ujung kelopak mata sampai tidak tahu lagi apa yang harus keluar dari mata ini. Pernah merasa takut tidak bisa melakukan suatu hal. Tapi akhirnya semua terlewati juga.

Walaupun hari kemarin sudah terlewati, aku sendiri tidak tahu pasti mengapa aku bisa melakukannya. Keinginanku berganti-ganti seiring berjalannya waktu. Orang-orang merencanakan hidupnya sedemikian rupa. Aku pernah seperti itu. Mengatur hidup ingin jadi ini, ingin kesitu, ingin mendapatkan anu. Nyatanya semua itu tidak semua tercapai. Ada juga yang menguap seiring berjalannya waktu, tanpa pernah tau kapan terlihat hasilnya. Ekspektasi memang terkadang tak sesuai dengan realita. Wajar. Kita sepakat kalau Tuhan yang mengatur segalanya.

Dan itu menjadikan aku manusia yang awalnya penuh rencana, optimis, semangat menjadi ya sudah lah. Toh, semua sudah diatur. Bukan aku sudah tidak percaya Tuhan atau menjadi makhluk-Nya yang pemalas dan putus asa. Hanya saja aku merasa apa yang aku lakukan dengan rencana itu adalah rencana orang kebanyakan. Banyak orang yang menginginkan itu. Padahal tempat itu tidak bisa muat untuk banyak orang. Jadilah aku sebagai penyumbangan kesuksesan orang lain. Tidak ada aku yang gagal, mereka tidak akan sukses. Dan mungkin bila aku yang sukses, mereka yang gagal tidak mampu menyukseskan kegagalannya.

Aku terdiam pada titik ini. Mencoba mencari dimana aku sebenarnya. Setiap moment yang sudah terlewati ada aku yang berbeda-beda. Aku yang begini ataupun begitu hanya usaha dari diri ini untuk mengatasi apa yang terjadi. Kamu mungkin melihat aku dengan wujud yang sama. Tapi tidak dengan diriku sendiri. Ada banyak aku yang tinggal di sana. Ada yang sedang gelisah berjalan mondar-mandir, ada yang duduk tenang penuh kepercayaan, ada yang tidur terlelap terbuai oleh mimpi-mimpi, ada pun yang tersungkur ingin segera terkubur.

Dimana aku yang sesungguhnya? Terus mencari itu tidak akan pernah selesai. Yang bisa aku lakukan hanya terus saja berjalan. Siapkan saja perlindungan. Cobaan pasti datang, bisa saat senang ataupun sedih. Karena terkadang kesedihan ikut mengintip saat senang, hati ini harus berotot baja menghadapi perubahan yang tiba-tiba.

Berdialog dengan diri sendiri tidak akan ada habisnya. Aku hanya ingin menemukan aku yang bahagia dengan caranya sendiri. Bukan bahagia yang senang dengan penderitaan orang lain. Bukan bahagia seperti kata orang lain, apalagi bahagia yang menuruti kata orang lain. Bukan bahagia yang bergelimpangan materi kemudian hanyut dalam kesombongan. Bukan bahagia penuh rasa syukur lalu berdiam diri tanpa tantangan. Apalagi bahagia yang ingin membuat orang lain iri terhadapku. Bukan seperti itu.

Aku ingin bahagia yang berenergi positif. Bahagia menari-nari bersama di rerumputan, menginjak memang. Tapi tidak mematikan. Aku bisa merasakan sedikit embun yang menyegarkan kakiku. Rumput bahagia karena sudah menopang kebahagiaanku.

Aku ingin bahagia yang bisa tertawa lepas bukan menertawai. Aku sadar betul gelas tidak bisa menampung semua air. Di gelas yang besar aku bisa saja berenang-renang sesuka hati bersamamu. Tapi saat gelas itu kecil, aku bisa jadi merasa segar karena hanya aku di dalamnya. Dan kamu menjadi air yang tercecer tak berguna. Atau justru sebaliknya, aku yang tercecer dan harus terima terbuang sia-sia. Tidak apa-apa kamu menertawaiku. Tapi kamu harus tahu saat aku yang tertawa dengan bahagianya, sungguh aku tidak ingin menertawaimu.

Aku ingin bahagia tanpa harus menjadi siapa, punya apa, dan berada dimana. Jujur, dalam keterpurukanku sering kali aku menemui kamu yang menuntut aku dengan kesombongan yang mengintip di bibirmu. “Kamu itu harusnya seperti ini, dapet itu, di sana, kaya aku ini loh yang sudah begini dan begitu,” katamu yang sedang mengeja kekuranganku. Hatiku tertawa mendengarmu. Tertawa mendengar kehebatanmu. Hebat yang sudah berusaha mati-matian dengan apa yang kamu capai agar aku iri terhadapmu.

Bahagia versiku adalah kenyaman menghadapi berbagai hal yang datang padaku. Nyaman itu pas di hati. Tidak terlalu kosong yang membuat bunyi nyaring. Tidak perlu terlalu penuh sampai tercecer sia-sia.

Maaf, bila yang kamu rasakan adalah keegoisanku. Maaf, bila aku membingungkanmu. Maaf, bila aku tidak bisa menjadi bahagia versimu. Maaf, aku yang tidak tahu diri. Maaf, aku sudah merepotkanmu. Sungguh hanya maaf yang bisa aku ucapkan. Karena aku bukan yang kamu harapkan.

Kalau aku terlahir kembali dengan wujud seperti ini, aku ingin minta maaf kepadamu terlebih dahulu. Karena aku bukan orang baik seperti harapanmu. Karena aku hanya menambah kecewamu. Karena kamu harus pura-pura membanggakanku di depan orang-orang. Padahal tidak ada secercah sinar pun yang pantas dibanggakan dariku.

Bola mata di cermin depanku mulai tergenangi air. Kemarin memang percuma untuk disesali. Toh, semua sudah terlewati. Aku hanya melihat malu. Malu karena yang kamu lihat selama ini bukanlah aku. Topeng ini terlalu tebal, menempel rapat sampai susah dilepaskan dan membedakannya.

Harapanku, bolehkah aku jujur? Jujur dengan bahagiaku. Dan kamu mampu menerima itu dengan bahagiamu. Kita saling bahagia tanpa harus melukai kebahagiaan kita masing-masing.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts