Thursday, June 18, 2015

Mudik

Di depanku tergambar pemandangan sawah yang hijau terbentang luas. Lama-kelamaan pemandangan itu berganti dengan bukit, pepohonan yang rindang kemudian pemukiman warga yang sepi dan asri. Dari pantulan kaca jendela yang aku lihat justru sebaliknya. Orang yang terus-terusan hilir mudik sepanjang lorong. Anak kecil yang mungkin masih berumur satu tahun rewel di pangkuan ibunya. Seorang nenek yang selalu mengibas-ibaskan selendangnya ke dadanya. Kalau aku bisa mengeluh, aku pun sama seperti mereka. Siapa yang bisa nyaman di gerbong kereta yang panas, sumpek, banyak orang, dan harus menahan dahaga?

Tiga jam sudah berlalu sejak kereta ini berjalan meninggalkan Jakarta. Kali ini aku menjadi bagian dari mereka pelaku trend musiman. Mudik. Sesungguhnya aku tidak ingin menjadi pelaku mudik tahun ini. Tapi entah mengapa, aku termakan sihir suasana mudik. Perjalanan semakin jauh tapi hati ingin kembali. Bahkan sebelum keluar rumah pun, aku enggan pergi.

Aku akan pulang ke kampung yang masih banyak terbentang sawah yang hijau. Bukan keasrian yang ada disana, namun sekelompok kakek nenek yang semakin tua dan ditinggal anak-anaknya yang lebih memilih pergi ke kota. Bukan udara segar yang didapat. Hanya napas berat dan batuk yang tidak berkesudahan. Keluargaku memang seperti mereka kebanyakan.



Tapi setelah sampai rumah aku bukanlah mereka kebanyakan sepenuhnya. Aku tidak pantas untuk pulang. Apalagi setelah aku menerima surat itu kemarin. Saat kecerian anak-anak mereka masuk lagi ke kampung. Tidak serta merta membawa kesejukan. Yang ada kesombongan dan pamer kekayaan. Dan aku tidak akan bisa melakukannya dalam mudik kali ini. Minimal berpura-pura melakukannya dengan baik pun, aku tidak bisa

Emak dan Abah pasti senang saat aku pulang. Tapi apakah senyum itu akan tetap ada setelah aku pergi lagi ke ibukota? Aku tidak yakin dengan itu. Emak akan ditanya oleh tetangga, "Kemarin anakmu bawa apa?". Abah akan dihujani pertanyaan, "Anakmu sudah jadi apa?". Sesungguhnya membayangkan itu akan terjadi aku sangat enggan pulang. Tapi kalau aku tidak pulang, mereka pun akan ditikam pertanyaan-pertanyaan yang menanyakan keberadaanku.

"Kenapa mukamu, Nak? Kau tampak bersedih, banyak sekali pikiran," tanya bapak di depanku yang mungkin 20 tahunan lebih tua dariku.
"Yah, aku malas mudik. Pengin di Jakarta saja, Pak."
"Kenapa? Apa masih ada pekerjaan yang belum selesai? Besok lebaran loh, malam ini mungkin takbir akan berkumandang."
Aku memperbaiki posisi dudukku lebih tegap, "Tidak, semua pekerjaan saya sudah selesai. Bahkan perusahaan sudah menyelesaikan saya."
"Maksud kamu?" bapak itu menatapku makin tajam.
Aku diam saja. Mulutku tertutup rapat, enggan sekali aku mengatakannya. Untuk apa aku bercerita keadaanku sekarang dengan orang yang baru aku temui.

"Kamu takut dibilang keluargamu kalau kamu sudah tidak bekerja lagi?" bapak itu tersenyum. "Sebenarnya mudah untuk menjelaskan ke keluarga kamu, bagaimana sesungguhnya keadaan kamu sekarang. Karena mau tidak mau, terima atau tidak terima, terpaksa atau tidak mereka akan mengerti keadaan kamu. Yang pasti tidak terima adalah orang lain yang bukan siapa-siapa. Dan yang tadinya keluargamu biasa saja, mungkin akan meragukanmu. Karena sesungguhnya mengomentari hidup orang lain itu menyenangkan daripada mengomentari hidup sendiri," bapak itu mendekatkan kepalanya lebih dekat denganku dan memegang tanganku. "Pulang saja ke kampung. Kamu tidak pulang pun mereka akan tetap mengomentari hidupmu. Ibumu jauh lebih bahagia kalau kamu pulang," bapak itu tersenyum lagi yang membuat hatiku lebih tenang.

Aku pikir bapak yang baru aku kenal ini akan menghinaku yang pulang sebagai pengangguran. Tapi ternyata jauh dari dugaanku. Sebaik apapun kita, sekeras apapun kita berusaha menjadi lebih baik. Orang lain tetap akan mencari kekurangan kita. Aku memang bukan siapa-siapa. Tapi jauh bukan siapa-siapa orang yang selalu mengomentari hidupku.

Emak, anakmu akan pulang. Sama seperti saat waktu kecil aku pulang sekolah membawa nilai ulangan yang kecil. Yang mengharuskan Emak menandatanganinya. Yang bapak guruku berpikir aku akan dimarahi, dipukuli atau bahkan tidak boleh makan oleh Emak. Tapi Emak hanya memelukku dan berkata, "Nak, jangan khawatir kamu tetap anak Emak yang Emak sayang. Nanti Emak ajari lagi biar kamu pintar, ya."

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts