Segelas es krim coklat vanilla di depanku sudah setengah meleleh. Aku hanya
berpura-pura menyendoknya dan aku masukkan ke bibir mungilku. Tak
banyak yang aku lakukan semenjak satu jam yang lalu di salah satu pojok kafe
ini. Sesekali aku melihat handphoneku mengecek pesan
masuk. Tak ada kabar darinya. Walaupun menunggu itu menyebalkan, aku
menikmatinya. Ini salah satu kehebatanku. Aku mampu menunggu walau yang
ditunggu hanya memberi harapan semu.
Sepasang kekasih bercanda mesra persis di depanku. Hatiku meleleh,
lebih meleleh dari segelas es krim coklat vanillaku. Mereka tak asing bagiku.
Yang perempuan adalah sahabatku dari SMA. Lisa, dia cantik, ramah dan populer. Karena
kami sangat dekat, keluarga Lisa berarti keluargaku juga, begitu juga
sebaliknya. Yang laki-laki Yoga. Yoga sudah pacaran dengan Lisa dari kelas 2
SMA. Yoga juga yang memiliki kafe ini. Semenjak SMA Yoga sama populernya dengan
Lisa. Bedanya Yoga lebih pendiam dan sedikit misterius.
Why everybody so serious, acting so damn misterious~
Handphone milik Lisa
berdering dengan lagu Jessie J, “Hallo. Oke, aku kesitu sekarang,” Lisa menutup
teleponnya.
”Honey, maaf aku
pergi dulu ya. Ada klien yang harus segera aku tangani.”
”Yah, ngga ada
orang lain yang bisa gantiin kamu apa? Kita kan jarang ketemu,” tanya Yoga
dengan muka kesal. Aku melihat sudut sudut mata Yoga melirik ke arahku.
”Soalnya dari
proyek yang pertama aku yang nanganin, jadi dia cuma percayanya sama
aku,” jawab Lisa sambil mengambil kunci mobilnya di atas meja.
”Ya udah kalo
gitu aku anter kamu sampai mobil,” Yoga berdiri dengan enggan.
”Fem, aku
tinggal dulu ya,” Lisa berpamitan kepadaku sambil berdiri dan meninggalkanku.
Aku hanya membalas dengan senyuman dan lambaian tangan.
Lisa bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Sedangkan Yoga baru menyelesaikan S2-nya di New York. Walaupun LDR, aku pikir mereka cukup bisa mempertahankan hubungan mereka. Yoga baru pulang 2 minggu yang lalu tapi mereka berdua baru bertemu dua kali ini. Saat pertemuan pertama, Lisa hanya menjemput dari bandara dan mengantar Yoga sampai kafe ini yang sekaligus tempat tinggal Yoga. Setelah itu Lisa sibuk dengan pekerjaannya. Jangankan Yoga, aku sahabatnya yang dari dulu di Jakarta aja jarang banget ketemu Lisa. Paling sebulan dua kali, itu juga kalau ada moment yang mengharuskan kami ketemu.
Terdengar suara mobil Lisa pergi menjauhi kafe. Aku melihat Yoga berjalan
masuk ke dalam kafe. Dari tadi aku masih sibuk dengan es krim coklat vanilla di
depanku. Menusuk-nusuknya dengan sendok dan membiarkannya mencair. Sambil
sesekali melihat keadaan di luar kafe dari jendela di sebelahku, ada senja yang
sempurna di sana. Tiba-tiba handphoneku
bergetar, satu pesan masuk. ”Sayang, aku tunggu kamu di atas kaya biasa”, isi
pesan singkat dari orang yang sudah membuatku menunggu lama sampai es krim
coklat vanillaku mencair.
Aku setengah berlari menaiki tangga yang ada di kafe ini. Terlalu
semangatnya sampai suara kakiku membuat pelanggan lain di kafe ini menoleh
penasaran. Rasanya tidak sabar ingin bertemu dengan dia yang membuatku selalu
menunggu. Tapi entah mengapa semakin lama menunggu dia malahan mampu membuatku
semakin cinta dia. Cinta ini semakin besar saat bermain-main dengan rindu.
Ku buka pintu dengan semangatnya. Di dalam ruang kerja sekaligus kamar ini aku lihat
laki-laki bertubuh atletis sedang menghadap jendela menikmati pemandangan di
luar jendela. Aku berlari ke arahnya, dengan erat aku peluk
tubuhnya dari belakang.
”Aku kangen
kamu”, bisikku manja.
Dia melepas
pelukanku dan berbalik badan, ”Aku juga kangen kamu”.
Tangannya melingkar di pinggangku. Ia membungkukkan badannya sedikit.
Sekarang matanya hanya berjarak lima senti dari mataku. Semakin dekat. Tanganku
segera mendorong bibirnya.
”Ada bekas
lipstik Lisa”, keluhku.
”Jangan
dibersihin pake tangan kamu, aku maunya...”, jawab Yoga yang
terus mendorongkan kepalanya hingga bibir mungilku menghapus bekas lipstik
Lisa.
***
Dua minggu yang lalu, saat Lisa
memilih pekerjaannya dan meninggalkan Yoga. Awalnya aku hanya datang ke kafe
sebagai pelanggan biasa. Tapi melihat Yoga yang kerepotan membereskan kamarnya
sendirian aku tak tega. Dan aku pun membantunya hanya sebatas teman. Kamar Yoga
terbagi menjadi dua, yang satu untuk ruang kerjanya. Karena Yoga juga seorang
arsitek, ruang kerjanya dipenuhi alat-alat untuk membuat desain bangunan. Ruang
sebelahnya sama seperti kamar pada umumnya, tempat tidur dan lemari pakaian.
Setelah kamar Yoga rapi, Yoga membuatkanku es krim coklat vanilla
kesukaanku. Kami berdua mengobrol di balkon dekat kamar Yoga. Duduk di samping Yoga
membuat ku merasa seperti liliput karena tertutup badan Yoga yang tinggi,
berisi dan atletis.
Yoga bercerita
tentang pengalamannya menjadi mahasiswa di luar negeri. Dia harus
beradaptasi dengan tempat baru. Jauh dari keluarga dan juga Lisa. Sedangkan aku
bercerita tentang aku yang baru saja putus. Mantanku Ezi, laki-laki yang tidak
tau diri itu tega memilih selingkuhannya dari pada aku. Aku yang pertama tetapi
perempuan lain yang kedua justru dipertamakan. Aku tak mau tau siapa
selingkuhannya. Saat Ezi jujur pada ku bahwa dia berselingkuh hatiku panas.
Panas sekali, mungkin lebih panas dari neraka sekalipun. Yoga pun mendengarkan semua
luapan kemarahanku.
”Udah dimakan dulu tuh es krimnya biar hati kamu adem,” Yoga mencoba
menenangkanku. Tapi aku yang masih terbakar karena mengingat saat Ezi berkata
jujur, menyendok es krim dengan cepat dan tak beraturan.
”Yah,
belepotan,” es krim coklat vanillaku tercecer di sekitar mulutku.
”Kamu sih
makannya sambil emosi.”
”Habisnya dia
nyebelin banget. Aku benci. Aku benci laki-laki yang suka selingkuh,” jawabku yang
masih menggebu-gebu oleh kemarahan.
”Sini aku
bersihin,” Yoga menarik kepalaku.
Hatiku yang tadinya seperti gunung
api yang meletus menyemburkan larvanya kemana-mana seketika menjadi dingin.
Dingin dengan usapan bibir Yoga yang membersihkan es krim coklat vanillaku dan
larva panas di hatiku. Yang aku pikirkan saat itu menjadi orang kedua justru
dipertamakan. Seperti Ezi yang lebih memilih selingkuhannya daripada aku.
***
Hujan sore ini menemani aku yang terjebak macet. Ku dengarkan setiap tetes
air hujan yang membasahi kaca mobilku, bergemericik memberi nada rindu.
Secangkir coklat panas di tambah pelukan Yoga sepertinya cukup menghangatkan
tubuh mungilku. Aku segera mencari
handphoneku dan menelepon salah satu nomor.
”Ya, sayang,”
jawab orang yang aku telepon dengan ceria
”Hallo, Lis. Kamu
udah pulang kerja belum?”
”Udah, tapi aku
mau ketemu klien lagi nih.”
”Yah, sibuk
banget sih. Aku mau ngajakin kamu nongkrong di kafenya Yoga,” balasku dengan
nada kesal.
”Besok deh. Aku
udah janji sama klien soalnya.”
”Beneran loh
ya?”
”Iya.”
”Ya udah, see you.”
“See you too.”
Aku tutup handphoneku dengan
senyuman. Lampu sudah berubah menjadi hijau. Aku genggam dengan erat setir
mobilku dan menginjak gas dengan semangatnya.
***
Aku setengah berlari memasuki kafenya Yoga.
”Mbaaa!” panggil
salah satu pelayan kafe seperti hendak mengingatkanku.
”Sante aja, Lisa
lagi ketemu kliennya,” jawabku tak peduli dan terus menaiki tangga menuju kamar
Yoga.
Aku buka pintu kamar Yoga dengan
semangatnya. Ingin rasanya segera melepas rindu ini walaupun baru beberapa jam
saja kami tak bertemu. Tapi... .
”Kurang ajar
kamu, Ga!” Tubuhku seketika membeku. Jantungku berdetak begitu cepat.
”Berani-beraninya kamu selingkuhin aku dengan perempuan murahan itu!”
”Sadar diri
dong. Kamu juga selingkuhan!” balas Yoga yang tetap memeluk seorang perempuan
berambut panjang terurai, memakai T-shirt putih dan rok mini coklat muda.
***
Aku tak peduli badanku yang basah
kuyup karena hujan. Mungkin hanya hujan yang tau perasaanku saat ini. Aku terus
berlari menuju apartemen Lisa. Aku ingin menjelaskan semuanya kepada Lisa.
Kalau pun persahabatanku dengan Lisa akan hancur, aku tak peduli. Aku tak mau
Lisa menjadi korban laki-laki yang setia. Setia dengan selingkuhannya.
Aku ragu mengetuk pintu di depanku
yang bernomor 108, apartemen milik Lisa yang ia tinggali sendirian. Mungkin
Lisa akan kasian padaku dan memaafkan apa yang aku lakukan. Atau dia akan
kecewa dan mengutukku. Aku mengembuskan nafas panjang dan menghapus air mataku
sebelum mengetuk pintu apartemen Lisa.
Tak ada jawaban dari dalam apartemen
Lisa. Aku baru sadar dia ada janji dengan kliennya. Hatiku sedikit lega, paling
tidak ada waktu untuk merangkai kata-kata saat nanti bertemu Lisa.
Kakiku mulai mundur hendak
meninggalkan apartemen Lisa tapi tiba-tiba gagang pintu apartemen Lisa
berputar. Jantungku mulai berpacu kembali. ”Kamu harus jujur Femy!” kataku
dalam hati. Saat pintu terbuka, mataku terbelalak melihat seseorang di depanku.
Bukan Lisa yang membukakan pintu, tapi laki-laki memakai kemeja yang semua
kancingnya terbuka.
”Siapa yang
datang sayang?” teriak Lisa dari dalam apartemennya.
”Ezi!”
teriakanku menggema di sepanjang lorong apartemen.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar