Friday, January 23, 2015

Selang Seling, Selingkuh



Segelas es krim coklat vanilla di depanku sudah setengah meleleh. Aku hanya berpura-pura menyendoknya dan aku masukkan ke bibir mungilku. Tak banyak yang aku lakukan semenjak satu jam yang lalu di salah satu pojok kafe ini. Sesekali aku melihat handphoneku mengecek pesan masuk. Tak ada kabar darinya. Walaupun menunggu itu menyebalkan, aku menikmatinya. Ini salah satu kehebatanku. Aku mampu menunggu walau yang ditunggu hanya memberi harapan semu.
Sepasang kekasih bercanda mesra persis di depanku. Hatiku meleleh, lebih meleleh dari segelas es krim coklat vanillaku. Mereka tak asing bagiku. Yang perempuan adalah sahabatku dari SMA. Lisa, dia cantik, ramah dan populer. Karena kami sangat dekat, keluarga Lisa berarti keluargaku juga, begitu juga sebaliknya. Yang laki-laki Yoga. Yoga sudah pacaran dengan Lisa dari kelas 2 SMA. Yoga juga yang memiliki kafe ini. Semenjak SMA Yoga sama populernya dengan Lisa. Bedanya Yoga lebih pendiam dan sedikit misterius.
Why everybody so serious, acting so damn misterious~
Handphone milik Lisa berdering dengan lagu Jessie J, “Hallo. Oke, aku kesitu sekarang,” Lisa menutup teleponnya.
       ”Honey, maaf aku pergi dulu ya. Ada klien yang harus segera aku tangani.”
       ”Yah, ngga ada orang lain yang bisa gantiin kamu apa? Kita kan jarang ketemu,” tanya Yoga dengan muka kesal. Aku melihat sudut sudut mata Yoga melirik ke arahku.
       ”Soalnya dari proyek yang pertama aku yang nanganin, jadi dia cuma percayanya sama aku,” jawab Lisa sambil mengambil kunci mobilnya di atas meja.
        ”Ya udah kalo gitu aku anter kamu sampai mobil,” Yoga berdiri dengan enggan.
      ”Fem, aku tinggal dulu ya,” Lisa berpamitan kepadaku sambil berdiri dan meninggalkanku. Aku hanya membalas dengan senyuman dan lambaian tangan.

           Lisa bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Sedangkan Yoga baru menyelesaikan S2-nya di New York. Walaupun LDR, aku pikir mereka cukup bisa mempertahankan hubungan mereka. Yoga baru pulang 2 minggu yang lalu tapi mereka berdua baru bertemu dua kali ini. Saat pertemuan pertama, Lisa hanya menjemput dari bandara dan mengantar Yoga sampai kafe ini yang sekaligus tempat tinggal Yoga. Setelah itu Lisa sibuk dengan pekerjaannya. Jangankan Yoga, aku sahabatnya yang dari dulu di Jakarta aja jarang banget ketemu Lisa. Paling sebulan dua kali, itu juga kalau ada moment yang mengharuskan kami ketemu.
Terdengar suara mobil Lisa pergi menjauhi kafe. Aku melihat Yoga berjalan masuk ke dalam kafe. Dari tadi aku masih sibuk dengan es krim coklat vanilla di depanku. Menusuk-nusuknya dengan sendok dan membiarkannya mencair. Sambil sesekali melihat keadaan di luar kafe dari jendela di sebelahku, ada senja yang sempurna di sana. Tiba-tiba handphoneku bergetar, satu pesan masuk. ”Sayang, aku tunggu kamu di atas kaya biasa”, isi pesan singkat dari orang yang sudah membuatku menunggu lama sampai es krim coklat vanillaku mencair.
Aku setengah berlari menaiki tangga yang ada di kafe ini. Terlalu semangatnya sampai suara kakiku membuat pelanggan lain di kafe ini menoleh penasaran. Rasanya tidak sabar ingin bertemu dengan dia yang membuatku selalu menunggu. Tapi entah mengapa semakin lama menunggu dia malahan mampu membuatku semakin cinta dia. Cinta ini semakin besar saat bermain-main dengan rindu.
Ku buka pintu dengan semangatnya. Di dalam ruang kerja sekaligus kamar ini aku lihat laki-laki bertubuh atletis sedang menghadap jendela menikmati pemandangan di luar jendela. Aku berlari ke arahnya, dengan erat aku peluk tubuhnya dari belakang.
        ”Aku kangen kamu”, bisikku manja.
        Dia melepas pelukanku dan berbalik badan, ”Aku juga kangen kamu”.
Tangannya melingkar di pinggangku. Ia membungkukkan badannya sedikit. Sekarang matanya hanya berjarak lima senti dari mataku. Semakin dekat. Tanganku segera mendorong bibirnya.
        ”Ada bekas lipstik Lisa”, keluhku.
      ”Jangan dibersihin pake tangan kamu, aku maunya...”, jawab Yoga yang terus mendorongkan kepalanya hingga bibir mungilku menghapus bekas lipstik Lisa.
***
            Dua minggu yang lalu, saat Lisa memilih pekerjaannya dan meninggalkan Yoga. Awalnya aku hanya datang ke kafe sebagai pelanggan biasa. Tapi melihat Yoga yang kerepotan membereskan kamarnya sendirian aku tak tega. Dan aku pun membantunya hanya sebatas teman. Kamar Yoga terbagi menjadi dua, yang satu untuk ruang kerjanya. Karena Yoga juga seorang arsitek, ruang kerjanya dipenuhi alat-alat untuk membuat desain bangunan. Ruang sebelahnya sama seperti kamar pada umumnya, tempat tidur dan lemari pakaian.
Setelah kamar Yoga rapi, Yoga membuatkanku es krim coklat vanilla kesukaanku. Kami berdua mengobrol di balkon dekat kamar Yoga. Duduk di samping Yoga membuat ku merasa seperti liliput karena tertutup badan Yoga yang tinggi, berisi dan atletis.
           Yoga bercerita tentang pengalamannya menjadi mahasiswa di luar negeri. Dia harus beradaptasi dengan tempat baru. Jauh dari keluarga dan juga Lisa. Sedangkan aku bercerita tentang aku yang baru saja putus. Mantanku Ezi, laki-laki yang tidak tau diri itu tega memilih selingkuhannya dari pada aku. Aku yang pertama tetapi perempuan lain yang kedua justru dipertamakan. Aku tak mau tau siapa selingkuhannya. Saat Ezi jujur pada ku bahwa dia berselingkuh hatiku panas. Panas sekali, mungkin lebih panas dari neraka sekalipun. Yoga pun mendengarkan semua luapan kemarahanku.
        ”Udah dimakan dulu tuh es krimnya biar hati kamu adem,” Yoga mencoba menenangkanku. Tapi aku yang masih terbakar karena mengingat saat Ezi berkata jujur, menyendok es krim dengan cepat dan tak beraturan.
       ”Yah, belepotan,” es krim coklat vanillaku tercecer di sekitar mulutku.
       ”Kamu sih makannya sambil emosi.”
       ”Habisnya dia nyebelin banget. Aku benci. Aku benci laki-laki yang suka selingkuh,” jawabku yang masih menggebu-gebu oleh kemarahan.
       ”Sini aku bersihin,” Yoga menarik kepalaku.
            Hatiku yang tadinya seperti gunung api yang meletus menyemburkan larvanya kemana-mana seketika menjadi dingin. Dingin dengan usapan bibir Yoga yang membersihkan es krim coklat vanillaku dan larva panas di hatiku. Yang aku pikirkan saat itu menjadi orang kedua justru dipertamakan. Seperti Ezi yang lebih memilih selingkuhannya daripada aku.
***
Hujan sore ini menemani aku yang terjebak macet. Ku dengarkan setiap tetes air hujan yang membasahi kaca mobilku, bergemericik memberi nada rindu. Secangkir coklat panas di tambah pelukan Yoga sepertinya cukup menghangatkan tubuh mungilku. Aku segera mencari handphoneku dan menelepon salah satu nomor.
        ”Ya, sayang,” jawab orang yang aku telepon dengan ceria
        ”Hallo, Lis. Kamu udah pulang kerja belum?”
        ”Udah, tapi aku mau ketemu klien lagi nih.”
       ”Yah, sibuk banget sih. Aku mau ngajakin kamu nongkrong di kafenya Yoga,” balasku dengan nada kesal.
        ”Besok deh. Aku udah janji sama klien soalnya.”
        ”Beneran loh ya?”
        ”Iya.”
        ”Ya udah, see you.”
        “See you too.”
Aku tutup handphoneku dengan senyuman. Lampu sudah berubah menjadi hijau. Aku genggam dengan erat setir mobilku dan menginjak gas dengan semangatnya.
***
Aku setengah berlari memasuki kafenya Yoga.
       ”Mbaaa!” panggil salah satu pelayan kafe seperti hendak mengingatkanku.
       ”Sante aja, Lisa lagi ketemu kliennya,” jawabku tak peduli dan terus menaiki tangga menuju kamar Yoga.
            Aku buka pintu kamar Yoga dengan semangatnya. Ingin rasanya segera melepas rindu ini walaupun baru beberapa jam saja kami tak bertemu. Tapi... .
      ”Kurang ajar kamu, Ga!” Tubuhku seketika membeku. Jantungku berdetak begitu cepat. ”Berani-beraninya kamu selingkuhin aku dengan perempuan murahan itu!”
      ”Sadar diri dong. Kamu juga selingkuhan!” balas Yoga yang tetap memeluk seorang perempuan berambut panjang terurai, memakai T-shirt putih dan rok mini coklat muda.
***
            Aku tak peduli badanku yang basah kuyup karena hujan. Mungkin hanya hujan yang tau perasaanku saat ini. Aku terus berlari menuju apartemen Lisa. Aku ingin menjelaskan semuanya kepada Lisa. Kalau pun persahabatanku dengan Lisa akan hancur, aku tak peduli. Aku tak mau Lisa menjadi korban laki-laki yang setia. Setia dengan selingkuhannya.
            Aku ragu mengetuk pintu di depanku yang bernomor 108, apartemen milik Lisa yang ia tinggali sendirian. Mungkin Lisa akan kasian padaku dan memaafkan apa yang aku lakukan. Atau dia akan kecewa dan mengutukku. Aku mengembuskan nafas panjang dan menghapus air mataku sebelum mengetuk pintu apartemen Lisa.
            Tak ada jawaban dari dalam apartemen Lisa. Aku baru sadar dia ada janji dengan kliennya. Hatiku sedikit lega, paling tidak ada waktu untuk merangkai kata-kata saat nanti bertemu Lisa.
            Kakiku mulai mundur hendak meninggalkan apartemen Lisa tapi tiba-tiba gagang pintu apartemen Lisa berputar. Jantungku mulai berpacu kembali. ”Kamu harus jujur Femy!” kataku dalam hati. Saat pintu terbuka, mataku terbelalak melihat seseorang di depanku. Bukan Lisa yang membukakan pintu, tapi laki-laki memakai kemeja yang semua kancingnya terbuka.
       ”Siapa yang datang sayang?” teriak Lisa dari dalam apartemennya.
       ”Ezi!” teriakanku menggema di sepanjang lorong apartemen.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts