Ijo Lumut. Sebuah papan nama terbuat dari sterofom
tertempel di depan rumah dua lantai, menunjukkan kalau kost ini bernama Ijo
Lumut. Dulu waktu baru masuk kost aku sempet tanya ke bapak kost.
”Kan singkatan Ikatan Jomblo
Lucu Imut. Hahaha,” jawab bapak kost sambil tertawa memperlihatkan giginya yang
sudah jarang.
Apa maksudnya? Mau nyumpahin
anak kost jadi jomblo? Tapi ternyata tidak, bapak kost suka sama warna ijo. Dia
punya tiga kost, semua kostnya dinamai dengan kata ijo. Ijo Daun, mungkin bapak kost berharap kost-kostannya berfotosintesis. Ijo Permai, kostan yang paling banyak kamarnya, mungkin sebenarnya bapak kost pengin
mendirikan perumahan tapi tidak kesampaian. Dan terakhir Ijo Lumut, kalau bapak
kost berharap kami semua jomblo itu salah besar. Bapak kost sendiri juga sampai
heran kenapa anak kostnya malahan ngga ada yang jomblo.
Di dalam kost
Ijo Lumut ini ada dua belas kamar, berpenghuni tiga belas orang karena ada satu
kamar yang diisi dua orang. Bangunan kost ini memang aneh, susunan kamarnya tidak
beraturan. Ada satu kamar yang nyempil di antara tangga, membuat penghuni
kamarnya susah memilih mau ikut anak atas atau anak bawah. Ada kamar yang di
lorong sempit membuat kamar tersebut bernuansa horor. Ada juga kamar yang
segilima dan lemari pakaian yang masuk ke dinding.
Selain itu
ada dua kamar mandi dan dua ruang tivi, lantai atas dan bawah masing-masing
satu. Satu ruang tamu, satu dapur dan satu garasi. Ada juga dua balkon, satu di
belakang kost untuk menjemur cucian dan satu lagi di depan. Dan kolam ikan yang
dihuni puluhan lele.
Siang hari yang terik dan
sangat panas. Keringatku bercucuran sekujur tubuhku. Aku yang setiap hari
kuliah dengan sepeda tidak mungkin menghindari panasnya matahari. Tidak panas
saja aku sudah berkeringat. Aku pulang ke kostku setelah dari pagi kuliah.
Kostku berada di gang kecil di lereng gunung ternama di tanah Jawa.
Aku kuliah di salah satu universitas di kota ini. Di daerah pegunungan seperti
ini memang seharusnya berhawa dingin dan sejuk. Tapi siang ini mungkin neraka
sudah pindah.
Saat aku pulang, anak kost
ternyata banyak yang di kostan. Siapa juga yang mau memanggang dirinya di luar
kost? Mba Ratih dan Mba Tika sedang makan siang sambil menonton tivi di ruang
tivi bawah. Mereka berdua satu kamar, kemana-mana juga berdua. Aku melihat Monic,
Tami dan Lia berkumpul di kamar Monic yang pintunya terbuka. Mereka bertiga
baru masuk kuliah tahun ini dan masih uring-uringan dengan berbagai kegiatan
mahasiswa baru. Mereka satu angkatan tapi beda jurusan. Sedangkan aku sudah
semester tiga, jadi masa-masa itu sudah lewat.
”Mba Je, kok siang-siang pake
baju tidur?”
Aku berpapasan dengan Mba
Jelita di dekat tangga dengan pakaian tidur. Rupanya dia baru saja dari kamar
mandi.
”Ya mau tidur siang lah masa
tidur malam,” Mba Je menjawab dengan tatapan ’kamu bodoh ya?’.
”Oww,” aku menanggapi sambil
berlalu masih dengan muka bodohku.
Di ruang tivi atas Fani juga
sedang menonton tivi dengan acara yang sama seperti yang ditonton Mba Ratih dan
Mba Tika. Harusnya mereka bertiga menonton bersama saja jadi tidak buang-buang
listrik. Ah, sudahlah. Toh aku juga tidak mau menasehati
mereka karena itu tak ada gunanya. Fani sangat pendiam, senyum saja tidak
pernah. Namanya yang Fani tidak lantas membuatnya lucu. Aku berpikir mungkin
dari lahir mulutnya sudah di lakban. Mba Ratih dan Mba Tika senior di kost ini,
jadi aku harus mengingat pasal pertama ’senior selalu benar’.
Sebelum masuk kamarku, aku
melihat Mba Yani yang kamarnya depan kamarku persis sedang berkumpul bersama dua
teman kuliahnya.
”Hai, baru pulang, Bel?”
”Iya, Mba. Di luar panas
banget, kulitku sampai gosong nih.”
”Idih sante aja kali. Kamu kan
udah item,” Mba Yani menanggapiku sambil cengengesan. Aku melirik sinis ke dia.
Tapi dia malahan ketawa. Dan dua temannya pun ikut tertawa.
Aku masuk ke kamarku yang
berantakan dan langsung menyalakan kipas angin. Ku letakkan tasku di meja
belajar. Aku melihat wajahku di cermin, kucel dan kumel seperti cucian yang
sudah berhari-hari di ember. Kuliah tadi dengan Pak Edi membuatku lelah. Dia
senang membuat kuis dadakan atau mencatat materinya berlembar-lembar.
Setelah berganti pakaian aku
memutuskan untuk merebahkan badanku di kasur dengan kipas angin yang terarah ke
badanku yang kepanasan. Rasanya seperti baru bernafas. Dengan angin sepoi-sepoi
mataku lama-lama terpejam membawaku ke alam mimpi.
***
Entah berapa lama aku tertidur
sampai badanku sekarang kedinginan karena kipas angin yang berjam-jam berputar
di samping tempat tidurku, mungkin sudah sore. Dari ruang tivi di samping
kamarku aku mendengar anak-anak kost sedang ngobrol dan mengeraskan volume
tivi. Biasanya kalau sudah sore mereka memang berkumpul di ruang tivi atas yang
lebih luas untuk menonton drama korea. Aku jarang ikut karena kalau sore aku
ada kegiatan di kampus, bekerja part timer atau mending tidur aja deh.
Tapi kali ini beda, biasanya
mereka anteng menontonnya. Kenapa sekarang berisik? Aku tidak mendengar begitu
jelas apa yang mereka ributkan. Dengan setengah sadar aku membuka pintu
kamarku.
Kamar Mba Yani terkunci,
mungkin dia pergi bersama teman-temannya. Di ruang tivi ada Mba Je yang masih
pakai baju tidur, Siti dan Tina yang tidak pernah nonton tivi
pun tiba-tiba ada di depan tivi, Mba Tika, Mba Ratih, Fani, dan satu lagi Sekar anak yang jarang sekali ada di kost juga tiba-tiba muncul di depan tivi.
Tidak ada Monic, Tami dan Lia mungkin dia ada kegiatan, maklum mahasiswa baru.
Satu lagi penghuni kost yang tidak ada, Mba Donna dia sedang penelitian di luar
kota.
”Ada apa sih kok ribut-ribut?”
aku bertanya sambil mengucek-ngucek mataku.
Tujuh pasang mata yang dari
tadi menatap layar tivi dengan sekejap memindahkan objek pandangannya ke
sesosok yang kucel dan bau iler. Suara ribut yang tadi aku dengar dari dalam
kamar tiba-tiba menghilang di telan bumi. Sekar yang tadi ngomong
sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan heboh seketika mematung.
Kedatanganku seperti tombol mute di remot tivi.
”Kenapa malahan pada diem?” aku
tak tahu apa salahku sampai semua orang berubah seketika seperti itu.
”Kamu baru bangun tidur, Bel?”
pertanyaan Mba Ratih memecahkan keheningan.
”Iya,” aku menjawab dengan
tampang tak berdosa.
”Apa?!!!” Mba Je, Mba Tika,
Mba Ratih, dan Sekar kompak berteriak.
”Emang kenapa?” aku masih
tidak tau apa salahku. Apa yang salah dengan tidur siang? Mba Je juga tadi
tidur siang.
Semua orang diam dengan mulut
menganga dan mata melotot. Bahkan Siti terlihat menahan nafas.
”Abel, tadi ada gempa,” suara Fani
yang tidak pernah terdengar tiba-tiba memunculkan wujudnya.
”Hah?! Gempa?!” sekarang giliran aku yang kaget.
”Ya ampun, Abel!”
“Astagfirulloh, Abel!”
“Kamu tidur apa mati sih?”
”Kok bisa sih kamu ngga bangun?”
”Padahal tadi aku
teriak-teriak ’gempa!gempa!’”
”Semua orang keluar kostan
loh.”
”Tadi di jalan juga rame orang
pada keluar rumah.”
”Aku yang masih pake baju
tidur aja keluar.”
”Aku juga lagi makan tek
tinggal pergi makanannya.”
”Gempanya berkali-kali loh.”
”Yang terakhir malahan lama.”
”Kepalaku tadi juga sempet
pusing.”
Mba Ratih, Mba Je, Mba Tika, Sekar, Fani, Siti dan Tina semuanya mencecar aku tidak ada yang mau
mengalah. Aku hanya diam dan masih menganggap aku tidak bersalah dengan
tanggapan ”Ow.”
”Tuh liat di tivi aja semuanya
nyiarin gempa,” Mba Tika nunjuk ke tivi yang sedang menyiarkan gempa.
Aku melihat ke layar tivi, ada
orang berlari-lari mencari perlindungan. Pohon-pohon yang bergoyang-goyang.
Beberapa bangunan retak bahkan ada yang runtuh. Seorang presenter cantik
berambut sebahu menyiarkan lima belas menit yang lalu telah terjadi gempa di
Tasikmalaya. Untung tidak berpotensi tsunami seperti gempa Aceh dan
Pangandaran. Gempa terasa sampai Sumatra, Bali dan pulau di Indonesia lainnya. Tapi
sama sekali tidak terasa di kamarku. Lebih tepatnya di tempat tidurku. Satu kostanku heboh sampai sekarang bahkan mungkin seluruh Indonesia.
Kecuali aku!
”Untung ya kostan kita ngga
ambruk. Coba kalau sampai ambruk. Kamu udah jadi perkedel,” kata Mba Ratih
sambil menggelengkan kepalanya saking herannya sama aku.
Mba Ratih benar, kalau aku
terjebak di dalam kostan dalam keadaan tidur mungkin sekarang aku sudah tidak
benyawa lagi. Aku terduduk di depan tivi, bersyukur aku masih diberi kesempatan
untuk tetap bernafas.
”Kamar kamu ada apanya sih,
sampai gempa sebegitu gedenya ngga bangun?” Tina yang termasuk jarang ngobrol
sama aku pun tanya ke aku.
”Ada tempat tidur anti getar.”
”Hah? Masa?”
” Abel dipercaya. Dasar
dianya aja yang ngebo,” Mba Ratih ikut menyahut.
”Ish, udah lah. Yang udah ya
udah,” aku masih bersikap santai saja.
”Kamu tidur berapa lama sih?”
tanya Mba Je.
”Dari tadi siang.”
”Aku juga tidur tapi ngga
ngebo kaya kamu.”
”Emmm.”
”Gajah gidrog neng ambenmu, kowe yo ra bakalan tangi. Gajah ngamuk di
tempat tidurmu, kamu juga ngga akan bangun,” jurus medok Sekar keluar saking mangkelnya ke aku. Dia memang asli Jogja, jadi mau segaul apapun dia tetap saja medoknya akan keluar sewaktu-waktu.
”Kebo kalau lawan gajah,
menang kebo ya ternyata,” kata-kata Mba Je membuat semua anak tertawa.
”Terus aku kebonya gitu?”
mataku menyipit menyorot tajam Mba Je.
”Iya!” semua anak menjawab
kompak.
”Terus gajahnya siapa?” aku
melirik ke Mba Tika yang badannya paling besar diantara kami semua.
”Kalau aku gajahnya, aku ngga
mau mbangunin kamu. Tidur udah kaya bangkai,” jawab Mba Tika sinis.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar