Sunday, January 11, 2015

Kebo Versus Gajah



Ijo Lumut. Sebuah papan nama terbuat dari sterofom tertempel di depan rumah dua lantai, menunjukkan kalau kost ini bernama Ijo Lumut. Dulu waktu baru masuk kost aku sempet tanya ke bapak kost.

”Kan singkatan Ikatan Jomblo Lucu Imut. Hahaha,” jawab bapak kost sambil tertawa memperlihatkan giginya yang sudah jarang.

Apa maksudnya? Mau nyumpahin anak kost jadi jomblo? Tapi ternyata tidak, bapak kost suka sama warna ijo. Dia punya tiga kost, semua kostnya dinamai dengan kata ijo. Ijo Daun, mungkin bapak kost berharap kost-kostannya berfotosintesis. Ijo Permai, kostan yang paling banyak kamarnya, mungkin sebenarnya bapak kost pengin mendirikan perumahan tapi tidak kesampaian. Dan terakhir Ijo Lumut, kalau bapak kost berharap kami semua jomblo itu salah besar. Bapak kost sendiri juga sampai heran kenapa anak kostnya malahan ngga ada yang jomblo.


Di dalam kost Ijo Lumut ini ada dua belas kamar, berpenghuni tiga belas orang karena ada satu kamar yang diisi dua orang. Bangunan kost ini memang aneh, susunan kamarnya tidak beraturan. Ada satu kamar yang nyempil di antara tangga, membuat penghuni kamarnya susah memilih mau ikut anak atas atau anak bawah. Ada kamar yang di lorong sempit membuat kamar tersebut bernuansa horor. Ada juga kamar yang segilima dan lemari pakaian yang masuk ke dinding. 

Selain itu ada dua kamar mandi dan dua ruang tivi, lantai atas dan bawah masing-masing satu. Satu ruang tamu, satu dapur dan satu garasi. Ada juga dua balkon, satu di belakang kost untuk menjemur cucian dan satu lagi di depan. Dan kolam ikan yang dihuni puluhan lele.

Siang hari yang terik dan sangat panas. Keringatku bercucuran sekujur tubuhku. Aku yang setiap hari kuliah dengan sepeda tidak mungkin menghindari panasnya matahari. Tidak panas saja aku sudah berkeringat. Aku pulang ke kostku setelah dari pagi kuliah. Kostku berada di gang kecil di lereng gunung ternama di tanah Jawa. Aku kuliah di salah satu universitas di kota ini. Di daerah pegunungan seperti ini memang seharusnya berhawa dingin dan sejuk. Tapi siang ini mungkin neraka sudah pindah.

Saat aku pulang, anak kost ternyata banyak yang di kostan. Siapa juga yang mau memanggang dirinya di luar kost? Mba Ratih dan Mba Tika sedang makan siang sambil menonton tivi di ruang tivi bawah. Mereka berdua satu kamar, kemana-mana juga berdua. Aku melihat Monic, Tami dan Lia berkumpul di kamar Monic yang pintunya terbuka. Mereka bertiga baru masuk kuliah tahun ini dan masih uring-uringan dengan berbagai kegiatan mahasiswa baru. Mereka satu angkatan tapi beda jurusan. Sedangkan aku sudah semester tiga, jadi masa-masa itu sudah lewat.

”Mba Je, kok siang-siang pake baju tidur?”
Aku berpapasan dengan Mba Jelita di dekat tangga dengan pakaian tidur. Rupanya dia baru saja dari kamar mandi.
”Ya mau tidur siang lah masa tidur malam,” Mba Je menjawab dengan tatapan ’kamu bodoh ya?’.
”Oww,” aku menanggapi sambil berlalu masih dengan muka bodohku.

Di ruang tivi atas Fani juga sedang menonton tivi dengan acara yang sama seperti yang ditonton Mba Ratih dan Mba Tika. Harusnya mereka bertiga menonton bersama saja jadi tidak buang-buang listrik. Ah, sudahlah. Toh aku juga tidak mau menasehati mereka karena itu tak ada gunanya. Fani sangat pendiam, senyum saja tidak pernah. Namanya yang Fani tidak lantas membuatnya lucu. Aku berpikir mungkin dari lahir mulutnya sudah di lakban. Mba Ratih dan Mba Tika senior di kost ini, jadi aku harus mengingat pasal pertama ’senior selalu benar’.

Sebelum masuk kamarku, aku melihat Mba Yani yang kamarnya depan kamarku persis sedang berkumpul bersama dua teman kuliahnya.
”Hai, baru pulang, Bel?”
”Iya, Mba. Di luar panas banget, kulitku sampai gosong nih.”
”Idih sante aja kali. Kamu kan udah item,” Mba Yani menanggapiku sambil cengengesan. Aku melirik sinis ke dia. Tapi dia malahan ketawa. Dan dua temannya pun ikut tertawa.

Aku masuk ke kamarku yang berantakan dan langsung menyalakan kipas angin. Ku letakkan tasku di meja belajar. Aku melihat wajahku di cermin, kucel dan kumel seperti cucian yang sudah berhari-hari di ember. Kuliah tadi dengan Pak Edi membuatku lelah. Dia senang membuat kuis dadakan atau mencatat materinya berlembar-lembar. 

Setelah berganti pakaian aku memutuskan untuk merebahkan badanku di kasur dengan kipas angin yang terarah ke badanku yang kepanasan. Rasanya seperti baru bernafas. Dengan angin sepoi-sepoi mataku lama-lama terpejam membawaku ke alam mimpi.

***
Entah berapa lama aku tertidur sampai badanku sekarang kedinginan karena kipas angin yang berjam-jam berputar di samping tempat tidurku, mungkin sudah sore. Dari ruang tivi di samping kamarku aku mendengar anak-anak kost sedang ngobrol dan mengeraskan volume tivi. Biasanya kalau sudah sore mereka memang berkumpul di ruang tivi atas yang lebih luas untuk menonton drama korea. Aku jarang ikut karena kalau sore aku ada kegiatan di kampus, bekerja part timer atau mending tidur aja deh.

Tapi kali ini beda, biasanya mereka anteng menontonnya. Kenapa sekarang berisik? Aku tidak mendengar begitu jelas apa yang mereka ributkan. Dengan setengah sadar aku membuka pintu kamarku.

Kamar Mba Yani terkunci, mungkin dia pergi bersama teman-temannya. Di ruang tivi ada Mba Je yang masih pakai baju tidur, Siti dan Tina yang tidak pernah nonton tivi pun tiba-tiba ada di depan tivi, Mba Tika, Mba Ratih, Fani, dan satu lagi Sekar anak yang jarang sekali ada di kost juga tiba-tiba muncul di depan tivi. Tidak ada Monic, Tami dan Lia mungkin dia ada kegiatan, maklum mahasiswa baru. Satu lagi penghuni kost yang tidak ada, Mba Donna dia sedang penelitian di luar kota.

”Ada apa sih kok ribut-ribut?” aku bertanya sambil mengucek-ngucek mataku.
Tujuh pasang mata yang dari tadi menatap layar tivi dengan sekejap memindahkan objek pandangannya ke sesosok yang kucel dan bau iler. Suara ribut yang tadi aku dengar dari dalam kamar tiba-tiba menghilang di telan bumi. Sekar yang tadi ngomong sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan heboh seketika mematung. Kedatanganku seperti tombol mute di remot tivi.
”Kenapa malahan pada diem?” aku tak tahu apa salahku sampai semua orang berubah seketika seperti itu.
”Kamu baru bangun tidur, Bel?” pertanyaan Mba Ratih memecahkan keheningan.
”Iya,” aku menjawab dengan tampang tak berdosa.
”Apa?!!!” Mba Je, Mba Tika, Mba Ratih, dan Sekar kompak berteriak.
”Emang kenapa?” aku masih tidak tau apa salahku. Apa yang salah dengan tidur siang? Mba Je juga tadi tidur siang.
Semua orang diam dengan mulut menganga dan mata melotot. Bahkan Siti terlihat menahan nafas.
”Abel, tadi ada gempa,” suara Fani yang tidak pernah terdengar tiba-tiba memunculkan wujudnya.
”Hah?! Gempa?!” sekarang giliran aku yang kaget.
”Ya ampun, Abel!”
“Astagfirulloh, Abel!”
“Kamu tidur apa mati sih?”
”Kok bisa sih kamu ngga bangun?”
”Padahal tadi aku teriak-teriak ’gempa!gempa!’”
”Semua orang keluar kostan loh.”
”Tadi di jalan juga rame orang pada keluar rumah.”
”Aku yang masih pake baju tidur aja keluar.”
”Aku juga lagi makan tek tinggal pergi makanannya.”
”Gempanya berkali-kali loh.”
”Yang terakhir malahan lama.”
”Kepalaku tadi juga sempet pusing.”
Mba Ratih, Mba Je, Mba Tika, Sekar, Fani, Siti dan Tina semuanya mencecar aku tidak ada yang mau mengalah. Aku hanya diam dan masih menganggap aku tidak bersalah dengan tanggapan ”Ow.”
”Tuh liat di tivi aja semuanya nyiarin gempa,” Mba Tika nunjuk ke tivi yang sedang menyiarkan gempa. 

Aku melihat ke layar tivi, ada orang berlari-lari mencari perlindungan. Pohon-pohon yang bergoyang-goyang. Beberapa bangunan retak bahkan ada yang runtuh. Seorang presenter cantik berambut sebahu menyiarkan lima belas menit yang lalu telah terjadi gempa di Tasikmalaya. Untung tidak berpotensi tsunami seperti gempa Aceh dan Pangandaran. Gempa terasa sampai Sumatra, Bali dan pulau di Indonesia lainnya. Tapi sama sekali tidak terasa di kamarku. Lebih tepatnya di tempat tidurku. Satu kostanku heboh sampai sekarang bahkan mungkin seluruh Indonesia. Kecuali aku!

”Untung ya kostan kita ngga ambruk. Coba kalau sampai ambruk. Kamu udah jadi perkedel,” kata Mba Ratih sambil menggelengkan kepalanya saking herannya sama aku.
Mba Ratih benar, kalau aku terjebak di dalam kostan dalam keadaan tidur mungkin sekarang aku sudah tidak benyawa lagi. Aku terduduk di depan tivi, bersyukur aku masih diberi kesempatan untuk tetap bernafas.
”Kamar kamu ada apanya sih, sampai gempa sebegitu gedenya ngga bangun?” Tina yang termasuk jarang ngobrol sama aku pun tanya ke aku.
”Ada tempat tidur anti getar.”
”Hah? Masa?”
Abel dipercaya. Dasar dianya aja yang ngebo,” Mba Ratih ikut menyahut.
”Ish, udah lah. Yang udah ya udah,” aku masih bersikap santai saja.
”Kamu tidur berapa lama sih?” tanya Mba Je.
”Dari tadi siang.”
”Aku juga tidur tapi ngga ngebo kaya kamu.”
”Emmm.”
Gajah gidrog neng ambenmu, kowe yo ra bakalan tangi. Gajah ngamuk di tempat tidurmu, kamu juga ngga akan bangun,” jurus medok Sekar keluar saking mangkelnya ke aku. Dia memang asli Jogja, jadi mau segaul apapun dia tetap saja medoknya akan keluar sewaktu-waktu.
”Kebo kalau lawan gajah, menang kebo ya ternyata,” kata-kata Mba Je membuat semua anak tertawa.
”Terus aku kebonya gitu?” mataku menyipit menyorot tajam Mba Je.
”Iya!” semua anak menjawab kompak.
”Terus gajahnya siapa?” aku melirik ke Mba Tika yang badannya paling besar diantara kami semua.
”Kalau aku gajahnya, aku ngga mau mbangunin kamu. Tidur udah kaya bangkai,” jawab Mba Tika sinis.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts