Friday, January 16, 2015

Bocor



      “AAAAA!!”
      Dog… dog… dog…
      “Bangun! Banguuun!”
      Dog… dog… dog…
      Ku lihat angka yang ditunjuk jarum di benda bulat yang tergantung di salah satu dinding kamarku. Lima. Jam lima pagi udah ada yang gedor-gedor pintu kamar orang.
      Dengan muka yang cocok sebagai bintang iklan sakit kepala, aku bangun dan beranjak dari tempat tidurku. Bukan untuk meminum obat sakit kepala dan tiba-tiba tersenyum lebar. Karena tidak mungkin juga bintang iklan obat sakit kepala pipinya penuh sama jigong. Tapi apapun jenis tidurnya kalau dibangunkan secara terpaksa emang bikin serangan pusing mendadak. Sama kaya dosen yang tiba-tiba ngadain kuis dadakan.
      ”Kenapa sih teriak-teriak?!” dengan mata setengah merem aku mencari orang yang sepagi ini udah teriak kesetanan.
      ”Feby... Feby... Febyyyy!” orang itu Dinda yang sekarang teriak manggil-manggil namaku dan di depan mukaku. Dinda temen sekostku ini emang hobinya teriak-teriak. Saat ada kecoa, tugas yang banyak, baju kotor sedikit, bahkan hanya karena ada cowo cakep yang liat dia walau hanya sepintas sekilas Dinda pasti teriak. Mungkin saat dia lahir bukan nangis tapi teriak.
     
”Hmmm.”
      ”Kasurku Feb, kasurku!”
      ”Kenapa?”
      ”Basah!”
      ”Ya terus apa urusanku kalau kasur kamu basah? Hah!”
      Dinda memang anak yang sangat dermawan. Dia suka memberi apa yang dia punya ke orang lain. Termasuk masalah. Dan bodohnya aku selalu menerima pemberian Dinda. Termasuk masalah. Aku yakin sebenarnya teriakan Dinda tadi bisa membangunkan satu RT. Tapi yang beranjak dari tempat tidur hanya aku. Yang lain pasti langsung menutup telinganya dengan bantal kalau sudah tau Dinda yang teriak.
      ”Boneka kamu yang di kamarku juga basah.”
      ”Ko’ bisa basah sih?”
      ”Ngga tau. Coba aja kamu liat sendiri kalau ga percaya.”
      Kamar Dinda ada di lantai satu dengan ukuran 3x4, ukuran yang sama dengan kamarku dan kamar lainnya di kost ini. Bedanya kamarku ada di lantai dua. Kost Seruni ini ada sepuluh kamar, dua kamar mandi, satu ruang tamu, satu ruang tivi, satu dapur, dan balkon kecil tempat jemuran sekaligus tempat nongkrong kalau sore nunggu matahari tenggelam.
      Tidak ada kamar kosong di Kost Seruni, itu artinya ada sepuluh manusia dengan sepuluh keunikan masing-masing. Memang diantara kami tidak ada yang sama seratus persen. Kami berasal dari daerah yang berbeda. Kuliah kami pun jurusannya dan tahun angkatannya  berbeda. Hanya dua kesamaan kami, sama-sama perempuan dan ngekost di Kost Seruni.
         Kamar Dinda berbeda dengan kamarku. Rak buku, meja belajar, meja rias, lemari, dispenser, tivi dan barang-barang lainnya tertata dengan rapi. Itu kenapa banyak yang betah kumpul di kamar Dinda, termasuk tadi malam. Sebelum tidur aku, Dinda, dan Viola kumpul di kamar Dinda. Dari ngegosip, nonton tivi, sampai nguping Dinda yang telepon-teleponan sama pacarnya, Arif namanya. Sebenarnya Arif sedang sibuk membantu temannya yang akan menikah hari ini. Dan kami bertiga juga ikutan membantu lewat telepon atau sebenarnya sih malahan nggangguin. Saking asiknya aku sampai lupa meninggalkan Moli boneka beruangku. Boneka yang aku terima saat aku ulang tahun yang ke-17 dari pacar pertamaku.
      Saat aku masuk ke kamar Dinda, ada Viola yang semalam ketiduran di kamar Dinda. Tempat tidur Dinda memang tidak besar tapi ada dua kasur. Kasur atas dan bawah. Kasur bawah seperti laci bisa ditarik keluar kalau mau dipakai. Dan dimasukkan lagi kalau sudah selesai dipakai.
      ”Mana yang basah?”
      ”Itu,” Viola menunjuk kasur atas yang warnanya berubah pink lebih tua dari warna asli spreinya karena basah.
      ”Kenapa bisa basah sih?”
      ”Atapnya bocor kayaknya,” Viola mendongakan kepalanya mencari-cari atap yang bocor.
      Aku mengambil Moli yang menggigil di atas bagian kasur yang basah. Aku mengelus bulu-bulu Moli yang lembut untuk memastikan bagian mana saja yang basah. Tapi tidak hanya sekedar basah yang aku rasakan di kaki Moli. Ada semacam bau yang sudah lama tidak mampir di hidungku tapi rasanya tidak asing lagi. Pesing. Bau itu terakhir aku cium saat aku masih kelas 1 SD.
      ”Ini bukan basah karena bocor tapi ompol. Baunya pesing banget!”
      ”Hah?! Kamu ngompol Vi?” Dinda langsung menuduh Viola yang semalam tidur di kasur atas.
      ”Emmm,” Viola memegang pantatnya dan salah tingkah.
      ”Violaaaa!!” lagi, Dinda berteriak.
      Semalam Viola belum makan malam dan Dinda berjanji akan menemani makan setelah dia selesai menelepon pacarnya. Tapi selesai telepon bukannya pergi cari makan malahan hujan deras. Sambil menunggu hujan reda Viola minum air putih untuk menahan lapar. Hujan tak kunjung reda dan Viola tertidur di kamar Dinda.
      Kost kami terletak di lereng sebuah gunung. Itu membuat daerah kami termasuk paling lama mengalami musim penghujan dibandingkan dengan daerah lain. Dan selalu ada kisah di setiap butir air yang turun ke bumi.
      ”Lagian ini kan kamar bawah, kalau bocor berarti kamar atas banjir dong.”
      ”Ow, iya yah. Hehehe,” Viola memasang muka tak bersalahnya walaupun dia sudah tertangkap basah bersalah, sebasah ompolnya.
      ”Vioo...,” aku menyumpel mulut Dinda yang akan berteriak lagi dengan Moli.
      ”Diam! Ngga usah teriak lagi. Viola bener kamar kamu emang bocor tapi yang bocor bukan genteng. Hemmp,” aku berusaha menahan tawa bercampur sebel.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts