“AAAAA!!”
Dog… dog… dog…
“Bangun! Banguuun!”
Dog… dog… dog…
Ku
lihat angka yang ditunjuk jarum di benda bulat yang tergantung di salah satu
dinding kamarku. Lima. Jam lima pagi udah ada yang
gedor-gedor pintu kamar orang.
Dengan muka yang cocok sebagai bintang iklan sakit
kepala, aku bangun dan beranjak dari tempat tidurku. Bukan untuk meminum obat
sakit kepala dan tiba-tiba tersenyum lebar. Karena tidak mungkin juga bintang
iklan obat sakit kepala pipinya penuh sama jigong. Tapi apapun jenis tidurnya
kalau dibangunkan secara terpaksa emang bikin serangan pusing mendadak. Sama
kaya dosen yang tiba-tiba ngadain kuis dadakan.
”Kenapa
sih teriak-teriak?!” dengan mata setengah merem aku mencari orang yang sepagi
ini udah teriak kesetanan.
”Feby...
Feby... Febyyyy!” orang itu Dinda yang sekarang teriak manggil-manggil namaku
dan di depan mukaku. Dinda temen sekostku ini emang hobinya teriak-teriak. Saat
ada kecoa, tugas yang banyak, baju kotor sedikit, bahkan hanya karena ada cowo
cakep yang liat dia walau hanya sepintas sekilas Dinda pasti teriak. Mungkin
saat dia lahir bukan nangis tapi teriak.
”Kasurku
Feb, kasurku!”
”Kenapa?”
”Basah!”
”Ya
terus apa urusanku kalau kasur kamu basah? Hah!”
Dinda
memang anak yang sangat dermawan. Dia suka memberi apa yang dia punya ke orang
lain. Termasuk masalah. Dan bodohnya aku selalu menerima pemberian Dinda.
Termasuk masalah. Aku yakin sebenarnya teriakan Dinda tadi bisa membangunkan
satu RT. Tapi yang beranjak dari tempat tidur hanya aku. Yang lain pasti
langsung menutup telinganya dengan bantal kalau sudah tau Dinda yang teriak.
”Boneka
kamu yang di kamarku juga basah.”
”Ko’
bisa basah sih?”
”Ngga
tau. Coba aja kamu liat sendiri kalau ga percaya.”
Kamar
Dinda ada di lantai satu dengan ukuran 3x4, ukuran yang sama dengan kamarku dan
kamar lainnya di kost ini. Bedanya kamarku ada di lantai dua. Kost Seruni ini
ada sepuluh kamar, dua kamar mandi, satu ruang tamu, satu ruang tivi, satu
dapur, dan balkon kecil tempat jemuran sekaligus tempat nongkrong kalau sore
nunggu matahari tenggelam.
Tidak
ada kamar kosong di Kost Seruni, itu artinya ada sepuluh manusia dengan sepuluh
keunikan masing-masing. Memang diantara kami tidak ada yang sama seratus
persen. Kami berasal dari daerah yang berbeda. Kuliah kami pun jurusannya dan
tahun angkatannya berbeda. Hanya dua
kesamaan kami, sama-sama perempuan dan ngekost di Kost Seruni.
Kamar
Dinda berbeda dengan kamarku. Rak buku, meja belajar, meja rias, lemari,
dispenser, tivi dan barang-barang lainnya tertata dengan rapi. Itu kenapa
banyak yang betah kumpul di kamar Dinda, termasuk tadi malam. Sebelum tidur
aku, Dinda, dan Viola kumpul di kamar Dinda. Dari ngegosip, nonton tivi, sampai
nguping Dinda yang telepon-teleponan sama pacarnya, Arif namanya. Sebenarnya Arif
sedang sibuk membantu temannya yang akan menikah hari ini. Dan kami bertiga
juga ikutan membantu lewat telepon atau sebenarnya sih malahan nggangguin. Saking
asiknya aku sampai lupa meninggalkan Moli boneka beruangku. Boneka yang aku
terima saat aku ulang tahun yang ke-17 dari pacar pertamaku.
Saat
aku masuk ke kamar Dinda, ada Viola yang semalam ketiduran di kamar Dinda. Tempat
tidur Dinda memang tidak besar tapi ada dua kasur. Kasur atas dan bawah. Kasur
bawah seperti laci bisa ditarik keluar kalau mau dipakai. Dan dimasukkan lagi
kalau sudah selesai dipakai.
”Mana
yang basah?”
”Itu,”
Viola menunjuk kasur atas yang warnanya berubah pink lebih tua dari warna asli
spreinya karena basah.
”Kenapa
bisa basah sih?”
”Atapnya
bocor kayaknya,” Viola mendongakan kepalanya mencari-cari atap yang bocor.
Aku
mengambil Moli yang menggigil di atas bagian kasur yang basah. Aku mengelus
bulu-bulu Moli yang lembut untuk memastikan bagian mana saja yang basah. Tapi
tidak hanya sekedar basah yang aku rasakan di kaki Moli. Ada semacam bau yang
sudah lama tidak mampir di hidungku tapi rasanya tidak asing lagi. Pesing. Bau
itu terakhir aku cium saat aku masih kelas 1 SD.
”Ini
bukan basah karena bocor tapi ompol. Baunya pesing banget!”
”Hah?!
Kamu ngompol Vi?” Dinda langsung menuduh Viola yang semalam tidur di kasur
atas.
”Emmm,”
Viola memegang pantatnya dan salah tingkah.
”Violaaaa!!”
lagi, Dinda berteriak.
Semalam
Viola belum makan malam dan Dinda berjanji akan menemani makan setelah dia
selesai menelepon pacarnya. Tapi selesai telepon bukannya pergi cari makan
malahan hujan deras. Sambil menunggu hujan reda Viola minum air putih untuk
menahan lapar. Hujan tak kunjung reda dan Viola tertidur di kamar Dinda.
Kost
kami terletak di lereng sebuah gunung. Itu membuat daerah kami termasuk paling
lama mengalami musim penghujan dibandingkan dengan daerah lain. Dan selalu ada
kisah di setiap butir air yang turun ke bumi.
”Lagian
ini kan kamar bawah, kalau bocor berarti kamar atas banjir dong.”
”Ow,
iya yah. Hehehe,” Viola memasang muka tak bersalahnya walaupun dia sudah
tertangkap basah bersalah, sebasah ompolnya.
”Vioo...,”
aku menyumpel mulut Dinda yang akan berteriak lagi dengan Moli.
”Diam!
Ngga usah teriak lagi. Viola bener kamar kamu emang bocor tapi yang bocor bukan
genteng. Hemmp,” aku berusaha menahan tawa bercampur sebel.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar