Saturday, January 17, 2015

Aku Kamu dan Dia



“Mikooo, mikooo!” teriak Rafael dari depan rumah. Anak itu selalu saja membuat telingaku sakit. Tidak bisakah dia mendekat dan memanggilku dengan pelan.

“Miko, lihat ini. Lihat ini!” Rafael menunjukkan padaku selembar kertas penuh dengan warna. Sungguh mataku sakit melihatnya. Gambarnya biasa saja tapi ada angka 85 di pojok kanan bawah kertas. Mungkin gambar itu memang bukan seleraku. Itu terlalu ramai dan aku lebih suka dengan kesepian.

“Aku menggambar ini untukmu,” Rafael masih tersenyum lebar di depanku dengan seragam sekolahnya yang masih komplit. Tapi dia tidak tahu sebenarnya aku sedang memalingkan muka.

“Kamu suka kan?” Aku tidak menjawab apapun pertanyaan Rafael. Walau sesungguhnya aku ingin berteriak.

“Pasti kamu suka. Aku tahu itu,” Rafael masih tidak tahu kalau aku tidak suka. Aku berputar-putar bukan karena sedang menari kesenangan tapi ingin sekali rasanya menghindar dan pergi sejauh mungkin.


“Miko, tadi aku tunjukin gambar ini ke Chika. Dia bilang gambarku bagus. Aku bilang ini namanya Miko, dia sahabatku”, hehehe,” Rafael menunjuk gambarnya. Aku bisa melihat ada bentuk di gambarnya yang memang mirip denganku.

“Chika bilang, dia mau main sama kamu. Kamu mau ya? Nanti kita main bareng-bareng.”

“El, ganti baju dulu. Kalau pulang sekolah langsung ganti baju. Ayo, pinter,” kata Mba Lis. Dia yang merawat Rafael sejak Rafael baru lahir.

Akhirnya aku bisa menghembuskan napas. Rafael pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua. Dia anak tunggal dari keluarga yang bergelimpangan harta. Papahnya seorang pengusaha properti. Mamahnya bekerja di perusahaan multinasional ternama di Indonesia. Tidak perlu aku ceritakan lagi, kalian juga pasti sudah tahu kalau hidup Rafael sangat sepi. Hanya ada aku dan Mba Lis yang menemani, mendengarkan, dan bermain bersama Rafael.

Chika itu teman Rafael di sekolah. Aku belum pernah bertemu dengannya. Tapi Rafael selalu bercerita tentang Chika setiap hari. Rafael dan Chika masih terlalu kecil untuk berpacaran. Aku yakin mereka hanya berteman. Tapi kenapa Rafael hanya bercerita tentang Chika? Apakah temannya di sekolah hanya Chika?

Walaupun hanya Chika teman Rafael, itu saja sudah cukup lebih baik dari pada hidupku yang benar-benar sendiri. Bahkan saat Rafael menawarkan keramaian walau cuma gambar saja aku sudah muak melihatnya.

“Rafael, Rafael, El...”

Aku tak tahu dia siapa. Seorang anak seusia Rafael. Memakai celana pendek, rambutnya pendek seperti laki-laki. Tapi kenapa suaranya lembut ya? Dia masuk ke dalam rumah. Pandangannya memutar sepertinya mencari Rafael. Rumah Rafael sangat besar. Suara lembutnya tidak mungkin terdengar oleh Rafael. Aku bisa saja membantunya memanggilkan Rafael, dengan caraku sendiri. Tapi, entah kenapa aku malas melakukannya.

Selama aku berteman dengan Rafael, tidak ada seorang pun yang menjadi teman Rafael selain aku. Kenapa sekarang ada dia? Apa hebatnya dia dibanding aku? Apa dia bisa menghilangkan air mata Rafael saat dia menangis? Apa dia bisa menemani Rafael menunggu mamahnya pulang sampai larut malam? Cuma aku yang bisa tau.

Dia mendekat. Dia mendekati aku.

“Heh, kamu pasti Miko ya?” katanya dengan sombong, menunjuk-nunjuk aku. “Kamu jelek ya ternyata.”
“Apa? Kamu bilang aku jelek? Jelekan kamu tau! Mana ada cowo jadi-jadian kaya gitu cakep,” aku lompat-lompat siap menantangnya berantem.
“Oh, kamu nantangin? Rasain ini,” tiba-tiba Chika menyerangku.
Tapi aku kan memang lebih keren dari dia. Aku keluar dari sarangku, aku ludahi dia. Dan
“Prangggg!”

Tangan Chika berdarah. Aku tergeletak di bawah kakinya. Aku mengatur napas karena tadi terlalu bersemangat. Mendengar ada yang pecah seketika Rafael langsung berlari menghampiri kami.

“Ada apa Chika? Kenapa tanganmu berdarah?” tanya Rafael sambil menggenggam tangan Chika yang berdarah.
“Aku ngga tau, tiba-tiba dia menyerangku,” jawab Chika sambil menangis.
Oh, cengeng, “Air mata buaya!” teriakku.
“Dasar ikan jelek! Rasain ini!” Rafael menginjak-injak aku yang tergeletak tak berdaya.

Kamu sudah lupa, siapa yang menemanimu terjaga setiap malam kalau bukan aku. Bahkan aku bisa menemanimu 24 jam tanpa rasa ngantuk sedikitpun. Kamu lupa, saat kamu sedih mendengar papah mamahmu bertengkar. Siapa yang menyamarkan air matamu kalau bukan aku yang menyemprotkan air ke mukamu? Tapi sekarang, kamu memilih dia.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts