“Mikooo, mikooo!” teriak Rafael dari depan rumah. Anak itu selalu
saja membuat telingaku sakit. Tidak bisakah dia mendekat dan memanggilku dengan
pelan.
“Miko, lihat ini. Lihat ini!” Rafael menunjukkan padaku selembar
kertas penuh dengan warna. Sungguh mataku sakit melihatnya. Gambarnya biasa
saja tapi ada angka 85 di pojok kanan bawah kertas. Mungkin gambar itu memang
bukan seleraku. Itu terlalu ramai dan aku lebih suka dengan kesepian.
“Aku menggambar ini untukmu,” Rafael masih tersenyum lebar di depanku
dengan seragam sekolahnya yang masih komplit. Tapi dia tidak tahu sebenarnya
aku sedang memalingkan muka.
“Kamu suka kan?” Aku tidak menjawab apapun pertanyaan Rafael. Walau
sesungguhnya aku ingin berteriak.
“Pasti kamu suka. Aku tahu itu,” Rafael masih tidak tahu kalau aku
tidak suka. Aku berputar-putar bukan karena sedang menari kesenangan tapi ingin
sekali rasanya menghindar dan pergi sejauh mungkin.
“Miko, tadi aku tunjukin gambar ini ke Chika. Dia bilang gambarku
bagus. Aku bilang “ini namanya Miko, dia
sahabatku”, hehehe,” Rafael menunjuk gambarnya. Aku
bisa melihat ada bentuk di gambarnya yang memang mirip denganku.
“Chika bilang, dia mau main sama kamu. Kamu mau ya? Nanti kita main
bareng-bareng.”
“El, ganti baju dulu. Kalau pulang sekolah langsung ganti baju. Ayo,
pinter,” kata Mba Lis. Dia yang merawat Rafael sejak Rafael baru lahir.
Akhirnya aku bisa menghembuskan napas. Rafael pergi ke kamarnya yang
berada di lantai dua. Dia anak tunggal dari keluarga yang bergelimpangan harta. Papahnya
seorang pengusaha properti. Mamahnya bekerja di perusahaan multinasional
ternama di Indonesia. Tidak perlu aku ceritakan lagi, kalian juga pasti sudah
tahu kalau hidup Rafael sangat sepi. Hanya ada aku dan Mba Lis yang menemani,
mendengarkan, dan bermain bersama Rafael.
Chika itu teman Rafael di sekolah. Aku belum pernah bertemu
dengannya. Tapi Rafael selalu bercerita tentang Chika setiap hari. Rafael dan
Chika masih terlalu kecil untuk berpacaran. Aku yakin mereka hanya berteman.
Tapi kenapa Rafael hanya bercerita tentang Chika? Apakah temannya di sekolah
hanya Chika?
Walaupun hanya Chika teman Rafael, itu saja sudah cukup lebih baik
dari pada hidupku yang benar-benar sendiri. Bahkan saat Rafael menawarkan
keramaian walau cuma gambar saja aku sudah muak melihatnya.
“Rafael, Rafael, El...”
Aku tak tahu dia siapa. Seorang anak seusia
Rafael. Memakai celana pendek, rambutnya pendek seperti laki-laki. Tapi kenapa
suaranya lembut ya? Dia masuk ke dalam rumah. Pandangannya memutar sepertinya
mencari Rafael. Rumah Rafael sangat besar. Suara lembutnya tidak mungkin
terdengar oleh Rafael. Aku bisa saja membantunya memanggilkan Rafael, dengan
caraku sendiri. Tapi, entah kenapa aku malas melakukannya.
Selama aku berteman dengan Rafael, tidak ada
seorang pun yang menjadi teman Rafael selain aku. Kenapa sekarang ada dia? Apa
hebatnya dia dibanding aku? Apa dia bisa menghilangkan air mata Rafael saat dia
menangis? Apa dia bisa menemani Rafael menunggu mamahnya pulang sampai larut
malam? Cuma aku yang bisa tau.
Dia mendekat. Dia mendekati aku.
“Heh, kamu pasti Miko ya?” katanya dengan sombong,
menunjuk-nunjuk aku. “Kamu jelek ya ternyata.”
“Apa? Kamu bilang aku jelek? Jelekan kamu tau! Mana
ada cowo jadi-jadian kaya gitu cakep,” aku lompat-lompat siap menantangnya
berantem.
“Oh, kamu nantangin? Rasain ini,” tiba-tiba Chika menyerangku.
Tapi aku kan memang lebih keren dari dia. Aku keluar
dari sarangku, aku ludahi dia. Dan
“Prangggg!”
Tangan Chika berdarah. Aku tergeletak di bawah
kakinya. Aku mengatur napas karena tadi terlalu bersemangat. Mendengar ada yang
pecah seketika Rafael langsung berlari menghampiri kami.
“Ada apa Chika? Kenapa tanganmu berdarah?” tanya
Rafael sambil menggenggam tangan Chika yang berdarah.
“Aku ngga tau, tiba-tiba dia menyerangku,” jawab
Chika sambil menangis.
Oh, cengeng, “Air mata buaya!” teriakku.
“Dasar ikan jelek! Rasain ini!” Rafael
menginjak-injak aku yang tergeletak tak berdaya.
Kamu sudah lupa, siapa yang menemanimu terjaga
setiap malam kalau bukan aku. Bahkan aku bisa menemanimu 24 jam tanpa rasa
ngantuk sedikitpun. Kamu lupa, saat kamu sedih mendengar papah mamahmu
bertengkar. Siapa yang menyamarkan air matamu kalau bukan aku yang
menyemprotkan air ke mukamu? Tapi sekarang, kamu memilih dia.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar