Wednesday, February 13, 2013

Please, jangan marah!

Senja sudah mulai menghilang. Kehidupan malam mulai datang. Kelelawar mulai keluar dari sarang. Angin malam mulai menusuk tulang. Kunang-kunang mulai berlarian diantara ilalang. Sudah lama aku di sini terduduk tenang. Bukan berada di tengah padang. Tetapi di tepi jalan yang ramai orang lalu lalang.

Aku sedang menunggu sepiring bakmie goreng. Bakmie goreng yang sudah aku tunggu semenjak senja itu pergi. Ya, ini menu makan malamku. Sepiring bakmie goreng. Aku seperti manusia pada umumnya. Yang perutnya meronta-ronta bila lapar itu tiba. Untungnya uangku cukup untuk membeli sepiring bakmie goreng. Aku juga seperti pembeli bakmie goreng pada umumnya. Yang ingin segera makan bakmie goreng agar laparku hilang. Aku seperti pelanggan bakmie Pak Sus pada umumnya. Yang ingin segera dibuatkan bakmie goreng, memakannya, membayarnya, lalu pulang dengan perut kenyang.

Saat kota ini mulai membangunkan malamnya. Saat itu juga Pak Sus mulai menghidupkan api kompornya yang khas. Bahkan sangat khas, sampai-sampai di kota yang penuh dengan hingar-bingar malamnya ini Pak Sus masih meniup-niup kompornya yang khas. Tangannya yang keriput, tua dan lelah masih tak mau berhenti menggerakkan kipas kepang bambunya yang mulai usang. Bara apinya mulai menyala. Aku mulai mencium bau yang khas itu. Bau yang sangat jauh dari kemewahan tapi tak mudah terlupakan.

Aku segera mendekati Pak Sus memesan bakmie goreng. Sepiring saja. Saat itu tak ada satupun orang di dekat gerobak yang sudah menahun menemani Pak Sus berjualan.
"Baru buka ini mba. Mau nunggu?" jawab Pak Sus yang masih sibuk menata dagangannya.
"Ya Pak, ngga apa apa".
"Tapi lama, ini udah banyak yang mesen".
"Ya Pak", ku jawab dengan memandang sekitar gerobak. Tak ada pemesan lain. Tebakanku yang memesan bakmie goreng Pak Sus paling hanya satu atau dua orang saja. Kalaupun lama mungkin karena kompor dan cara masak Pak Sus yang khas.

Waktu berlalu, aku memperhatikan cara memasak Pak Sus. Kobis, daun bawang, dan tomat dipotong-potong. Dia memberi sedikit minyak ke dalam wajan. Menyendok bumbu yang sudah disiapkan sebelumnya dan memasukkan ke dalam minyak yang sudah panas itu. Bau bumbu yang khas mulai menggoda indra penciuman ku. Aku tak mengelak. Tanganku sudah tak sabar menyendok bakmie goreng yang baru kucium bau bumbunya saja. Bumbu sudah hampir matang, Pak Sus segera mengocok telor dan mencampukannya dengan bumbu di wajan. Mulutku terasa tak berdaya menampung air liur ini.

Sayur yang tadi sudah dipotong-potong mulai dicampur dengan telor dan bumbu yang sudah masuk ke wajan terlebih dahulu. Pak Sus memberi sedikit air agar sayurnya matang. Saat Pak Sus berkonsentrasi mengipas-kipas kompornya, datang dua pelanggan memesan bakmie goreng. Seorang perempuan dan laki-laki berumur dua puluh tahunan. Sepertinya sepasang kekasih. Yang laki-laki tetap di atas motor bebek. Sementara si perempuan memesan bakmie goreng.
"Lama Mba. Udah banyak yang mesen."
"Banyak?" perempuan itu heran memandang sekeliling gerobak. Hanya ada aku yang tampak menunggu. Di matanya aku membaca pertanyaan "Perempuan sekurus ini pesen banyak? Dimakan sendiri? Rakus gitu?". Aku risih dengan tatapan seperti itu. Tatapan penuh heran yang tak tersampaikan.

Si perempuan menghapiri laki-lakinya. Si laki-laki segera menyalakan motornya. Mereka pergi tanda tak mau menunggu lama. Suara motor bebek itu belum hilang, sudah datang seorang laki-laki tambun dengan motor gedenya. Kali ini sedikit lebih keren. Motornya.

"Pak, satu ya."
"Lama Mas, udah banyak yang mesen."
"Oke," jawab laki-laki itu cuek sambil mengeluarkan gadgetnya dan duduk di bangku kosong sebelahku. Dan aku membayangkan kalo sekarang manusia di muka bumi ini belum tergila-gila dengan gadget, mungkin aku bisa berkenalan dengan laki-laki yang duduk disampingku sekarang. Atau minimal hanya ngobrol basa-basi saja.

Pak Sus sudah memasukkan bakmie ke dalam masakannya. Tangan kirinya memutar-mutar botol kecap dan tangan kanan mengoleh bakmie agar semua bahan tercampur. Suara penggorengan dan bau bakmie goreng yang sebentar lagi matang mengganggu semua panca inderaku ditambah cacing dalam perutku. Bakmie sudah matang, Pak Sus membungkusnya dalam kertas minyak terikat karet gelang. Laki-laki di sebelahku melirik seakan berkata "Tuh Mba pesenannya udah jadi". Aku pun dengan pede-nya siap-siap mengambil uang di dompetku untuk membayar bakmie pesenanku.

Pak Sus berjalan mendekatiku. Baru saja aku hendak berdiri tapi Pak Sus berjalan terus tidak berhenti di depan ku dan memberikan sebungkus bakmie goreng yang ada dalam genggamannya kepada ku. Dalam hatiku kecewa. Tak hanya hatiku, tapi seluruh tubuhku. Tangan yang tak sabar menyendok helai demi helai bakmie goreng. Mulut yang tak sanggup menampung air liur. Lidah yang ingin sekali mengecap setiap rasa rempah yang bercampur jadi satu.

Aku menyenderkan kembali badan ku. Ku lirik lagi laki-laki di sebelahku. Kali ini aku tak bisa membaca pikirannya. Mungkin dia menertawakan aku. Atau mungkin dia juga kesal. Karena ini pertanda dia pun akan semakin lama menunggu.

Pak Sus kembali memasak. Datang lagi pelanggan. Seorang wanita paruh baya dengan stelan baju masa kini, dandanan minimalis, rambut yang dibiarkan tergerai, dan dompet besar dalam genggaman tangannya. Dan lagi-lagi Pak Sus menolak pesanan pelanggannya.
"Emang udah berapa yang pesen Pak?" tanya wanita itu ketus.
"Kira-kira sudah ada sepuluh pesenan Bu."
"Makanya pake kompor gas dong, hari gini masih pake begituan," balas wanita itu sinis.
"Kalau tidak mau menunggu tidak jadi beli juga tidak apa-apa, Bu," Pak Sus meneruskan memasaknya.

Bakmie goreng berikutnya selesai dimasak. Kali ini aku tidak mau berharap banyak. Paling-paling bukan buatku lagi. Pak Sus berjalan ke arahku. Aku tetap duduk diam tak berkutik.
"Ini mba," Pak Sus memberikan bakmienya kepadaku.
"Beneran ini buat saya, Pak?" aku tidak percaya kalau bakmie itu buatku.
"Mba pesen kan? Ini buat mba."
"Makasih ya, Pak," aku tersenyum lebar menerima sebungkus bakmie goreng dari Pak Sus.
Aku mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar sebungkus bakmie goreng yang sudah dibuat Pak Sus.

Sabar. Itu pelajaran hari ini. Kata orang 'pelanggan adalah raja'. Benar, tapi sekuat apapun seorang raja dia juga harus mendengarkan rakyatnya bukan. Jadi, kita juga harus menghormati penjual. Walaupun kita memiliki uang banyak, uang tidak bisa membeli rasa. Pak Sus akan tetap dengan ciri khas dia walaupun pelanggannya pergi.

4 comments:

  1. hmm... bakmienya pasti enak, ya... :))
    Kisah yang bagus! :D
    Terus semangat berkarya! :)))

    ReplyDelete
  2. Dimana mbak bakmie'ny jadi pengen nyoba penjual yang khas itu mudah"an letak'ny di Jakarta ya...balas email'ku ya abib.kurniawan@gmail.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. yg sya ceritakan itu di cilacap mas.kalau di jakarta sya kurang tau.yg msh bnyak dipinggir jalan itu di jogja. :)

      Delete

Terimakasih sudah membaca, silahkan berkomentar

Translate

Popular Posts